Published On: Wed, Mar 23rd, 2016

Berikut Telaah KIARA terhadap RUU Minerba Menyangkut Kehidupan Masyarakat Pesisir

Tambang pasir

Tambang pasir

MNOL, Jakarta – Dirancangnya RUU Mineral dan Batu bara (Minerba) oleh pemerintah dan DPR saat ini mengundang reaksi tajam dari beberapa kalangan. Salah satunya dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Melalui Deputi Pengelolaan Pengetahuan-nya, KIARA selaku NGO yang terlibat aktif dalam permasalahan advokasi nelayan dan konservasi lingkungan itu mengeluarkan telaah kritisnya terhadap rancangan undang-undang tersebut.

“Permasalahannya RUU ini, jika aturan-aturan baru yang dirumuskan sarat dengan kepentingan politik dan kepentingan ekonomi, maka yang akan terjadi kehancuran kehidupan masyarakat,” ujar Ketua Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Parid Ridwanuddin di sela-sela Fokus Grup Diskusi (FGD) yang digelar IK2MI di Hotel Patra Jasa, Jakarta, (23/3/16).

Menurutnya, RUU ini penuh dengan muatan politik dan ekonomi dari segelintir orang bahkan kepentingan asing. Selebihnya, dia mengurai kaitan RUU ini dengan aturan-aturan sebelumnya seperti UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan yang berisi 31 Pasal dan UU No. 11 Tahun 1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang berisi 37 Pasal.

Kemudian UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara berisi 175 pasal, sedangkan revisi UU Minerba berisi 132 pasal. Ulasnya, paradigma hukum itu bersifat evolusi. Artinya aturan baru yang datang kemudian, menghapus dan mengganti aturan sebelumnya yang dianggap belum mengatur sejumlah permasalahan yang berkembang.

“Banyaknya gugatan ke MK atau Judicial Review terhadap UU menunjukkan bahwa peraturan perundangan-undangan dirumuskan bukan untuk kepentingan bersama, tetapi untuk segelintir orang. Dengan demikian, ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan,” tegas Parid.

Pasalnya, UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba itu banyak yang merugikan masyarakat. Dalam catatan KIARA, mulai dari 4 orang nelayan  dipanggil pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur atas laporan PT. Gora Gahana, perusahaan penambang pasir laut berbasis di Jakarta yang menuduh nelayan telah merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Setelah itu ada dikriminalisasinya 12 nelayan dan perempuan nelayan di Jepara, Jawa Tengah dan kriminalisasi nelayan di Surabaya. Selain itu, Parid menambahkan pemberian izin penambangan pasir besi berdampak terhadap perubahan tekstur pesisir disebabkan oleh aktivitas tambang ekstraktif, sehingga hilangnya wilayah tangkap nelayan.

Setidaknya ada 15 wilayah pesisir di Indonesia yang rusak karena pertambangan pasir.  Maka dari itu, praktik pertambangan yang selama ini ada di wilayah pesisir di Indonesia, lebih banyak memberikan kemudaratan dari pada kemaslahatan bagi masyarakat dan alam (wilayah pesisir).

Di akhir penjelasannya, Parid mengemukakan jika hukum merupakan alat untuk mendatangkan manfaat atau kebahagian yang setinggi-tingginya bagi individu, maka yang akan terjadi adalah “persaingan bebas” yang tidak menguntungkan bagi semua orang.

“Persaingan bebas ala Darwinian ini menyebabkan mereka-mereka yang belum beruntung jangan berharap akan dapat memperbaiki nasibnya. Lalu dengan aturan seperti ini masih mungkinkah kebahagian umum akan tercipta,” pungkasnya. (TAN)

 

 

 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com