Oleh: Adil Mahfudz Firdaus, S.IK, M.Si*
Biaya tersebut memang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi untuk pembangunan energi terbarukan lainnya, namun lebih rendah dibandingkan investasi untuk energi geothermal. Asumsi biaya investasi (investment cost) pembangunan instalasi energi geothermal berkisar 2.400 – 5.500 USD/kW tahun 2010 dan 2.150– 3.600 USD/kW, sedangkan biaya operations and maintenance (O&M) sebesar 220 USD/kW tahun 2010 dan 136 USD/kW tahun 2050 (Mukhtasor, 2014).
Harga energi listrik yang dihasilkan dari konversi energi laut pun masih lebih tinggi dibandingkan dengan sumber energi konvensional saat ini. Tarif listrik yang bersumber dari konversi energi arus laut berdasarkan skenario kapasitas 3 MW saja diduga berkisar Rp. 924,04 per kWh dengan biaya produksi listrik sebesar Rp. 4.548,41 per kWh (Firdaus, 2014).
Perkiraan biaya lain berdasarkan kajian Luhur et al. (2013), tarif listrik tenaga arus laut adalah sebesar Rp. 1.268,00 per kWh, tenaga gelombang laut sebesar Rp. 1.709,00 per kWh, tenaga pasang surut sebesar Rp. 2.048,00 per kWh, dan OTEC sebesar Rp. 4.030,00 per kWh. Tarif listrik untuk energi laut masih relatif lebih tinggi dibandingkan tarif listrik yang bersumber dari energi konvensional. Hal ini diduga disebabkan subsidi biaya yang dilakukan pada energi konvensional tersebut.
Akan tetapi, menipisnya cadangan energi nasional yang bersumber dari energi konvensional (minyak bumi, batu bara, dan gas) merupakan poin penting untuk mendorong percepatan pembangunan instalasi energi laut. Selain itu, keterdesakan kebutuhan masyarakat, industri, ataupun aktivitas ekonomi lain yang tinggi terhadap energi.
Energi laut merupakan energi ramah lingkungan dan tanpa sisaan (zero waste), kontinuitas keberadaan sumber energinya pun mampu menghasilkan pasokan energi yang stabil. Pembangunan instalasi energi laut pun dapat menciptakan peluang lapangan kerja baru dan usaha-usaha mikro masyarakat.
Hal ini tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, prioritas kebijakan yang harus diambil pemerintah saat ini adalah pembangunan infrastruktur. Menurut Firdaus (2014), prioritas kebijakan pengembangan energi arus laut adalah pembangunan infrastruktur, yaitu pembangunan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL) dan tata ruang kawasan PLTAL.
Implementasi Percepatan Pembangunan Energi Laut
Pemerintah perlu membangun pilar-pilar pembangunan kelautan (budaya bahari, sumberdaya manusia kelautan dan RIPTEK, tata kelola kelautan, ekonomi kelautan, pertahanan keamanan dan keselamatan di laut, serta lingkungan laut). Pembangunan instalasi energi laut mampu menciptakan budaya bahari, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, riset dan teknologi, tata ruang kawasan pesisir dan laut, peningkatan ekonomi masyarakat dan negara, dan kelestarian lingkungan laut.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2015 telah melakukan beberapa program kerja diantaranya kajian aspek tekno ekonomi pemanfaatan energi laut dan kajian pemanfaatan teknologi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Kajian terkait tentang teknologi dan potensi energi laut telah dilakukan antara lain oleh Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika – BPPT dan Institut Teknologi Bandung, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
Akan tetapi, cakupan pengembangan energi laut yang dilakukan masih dalam tahap keilmuan, belum sampai pada tahapan implementasi seperti pembangunan instalasi energi laut untuk masyarakat. Hal ini perlu menjadi fokus pemerintah untuk tetap mendorong percepatan implementasi pembangunan instalasi energi laut.
Keterdesakan kebutuhan energi masyarakat Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan energi laut. Pemerintah saat ini memang telah menyiapkan pengembangan energi laut sebagai salah satu sumber energi alternatif. Hal ini ditunjukkan melalui program pengembangan model pembangunan infrastruktur energi dan listrik untuk cluster ekonomi maritim, sementara ini telah dibangun proyek percontohan di beberapa wilayah barat, tengah dan timur Indonesia, dan salah satunya yaitu Aceh. Pembangunan program ini terutama diperuntukan untuk wilayah pesisir dan juga pulau-pulau kecil dan terdepan. Oleh karena itu, keterpaduan antar stakeholder sangat diperlukan dalam percepatan pembangunan energi laut.
Sinergitas pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan demi berjalannya pembangunan energi laut di Indonesia, tidak ada kepentingan selain kepentingan untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa. Dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah menjadi hal penting, aturan perundang-undangan terkait energi laut sangat diperlukan.
Hal ini penting sebagai dasar hukum dalam percepatan pembangunan energi laut. Investasi energi laut yang cukup tinggi, namun dalam jangka panjang nilai investasi tersebut tentu akan tertutupi dengan keuntungan finansial pemanfaatan energi laut. Keekonomian energi laut tidak bisa dibandingkan apple-to-apple, karena energi baru terbarukan bukanlah alternatif, tetapi kebutuhan tak terelakkan (Mukhtasor 2014). Keterpaduan antar pihak-pihak terkait, dukungan kebijakan dan perundang-undangan, kemauan masyarakat, dan potensi sumber energi mempercepat pembangunan energi laut Indonesia.
*Penulis adalah Pengamat Sosial Ekonomi Kelautan
Centre for Marine Assessment and Economic Development
Sabang (Maritimnews) - Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan melalui Distrik Navigasi Tipe A Kelas…
Hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia telah mengalami berbagai metamorfosis yang kompleks dan bertingkat sedari…
Jakarta (Maritimnews) - Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di Indonesia yang mengalami…
Pontianak (Maritimnews) - IPC Terminal Petikemas (IPC TPK) Pontianak optimis meraih target yang diberikan Perusahaan…
Cilacap (Maritimnews) - Suasana duka menyelimuti Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, setelah terjadi bencana…
Jakarta (Maritimnews) - Terbatasnya fasilitas zona penyangga atau Buffer Area di area kerja pelabuhan Tanjung…