Rencana Reklamasi Teluk Benoa
MNOL – Jakarta, Penolakan reklamasi yang terjadi di Bali akhir-akhir ini semakin berlipat ganda dan terus tumbuh. Deklarasi dari 36 Desa Adat dan pengibaran bendera secara serentak di Desa-Desa Adat di Bali sebagai bentuk penolakan rencana pemerintah dan investor untuk melakukan reklamasi Teluk Benoa.
Sejak 2014 hingga saat ini, Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 sedang mengancam kawasan perairan Teluk Benoa, Bali karena rencana reklamasi seluas 700 hektar. Teluk Benoa sendiri merupakan kawasan perairan dengan ekosistem pesisir yang sempurna yakni terdapat mangrove, padang lamun dan disisi luar teluknya terdapat terumbu karang. Di dalam jejaring konservasi perairan di Bali, ekosistem pesisir Teluk Benoa dan kawasan sekitarnya seperti Sanur, Serangan, Nusa Dua memiliki keterkaitan yang erat dengan kantong-kantong keanekaragaman hayati perairan pesisir Kawasan Candidasa dan Kawasan Nusa Penida.
Menanggapi perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Bali, “Jakarta ForBALI” sebuah aliansi antara individu, LSM, musisi, seniman, mahasiswa, pemuda, akademisi yang peduli dengan lingkungan hidup berbasis di Jakarta memutuskan untuk turut menggemakan suara masyarakat Bali di Jakarta sebagai pusat pembuatan kebijakan. Rudolf Dethu, Ketua Panitia “Gita Bumi” menyatakan, “Musik itu alat perlawanan. Seni adalah alat edukasi. Berkaca dari apa yang terjadi di Bali, musik telah menjadi bagian penting dari perlawanan. Hari ini, Jakarta tengah melakukan perluasan solidaritas tanpa batas dan melakukan edukasi publik melalui seni. Menyebarkan semangat perlawanan melalui seni.”
“Art therapy ini dilakukan dalam rangka bersuara menolak dengan cara yang bergembira. Acara yang diadakan di Jakarta hari ini membuktikan bahwa individu-individu, LSM, musisi yang ikut berteriak bersama untuk menolak reklamasi Teluk Benoa dan pesisir-pesisir lain. Kami berharap pola-pola perlawanan popular semacam ini dapat direplikasi di pesisir lain dan membangkitkan solidaritas pesisir dengan cara yang asyik dan bergembira”, tutur Agung Ngurah menjelaskan konsep acara Art Therapy Gita Bumi.
Saras Dewi dari ForBALI simpul Jakarta memaparkan, “Yang pasti, perlawanan ini tidak akan berhenti hingga Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 ini dicabut. Di konteks Bali, perlawanan ini berlipat ganda dan membawa semangat belapati Tanah Air yang terefleksi pada masif dan rutinnya pemberitaan mengenai pergerakan masyarakat Desa-Desa Adat di Bali”.
Menanggapi maraknya proyek-proyek serupa di berbagai daerah Indonesia, Saras Dewi menyatakan bahwa, “Mega Proyek Reklamasi ini tidak hanya terjadi di Bali saja, tetapi ada di banyak pesisir lain. Seperti Makassar, Palu, Jakarta, dan banyak pesisir lain. Perlawanan yang ada di pesisir lain juga mempertanyakan untuk siapa proyek-proyek tersebut, mengingat besarnya perampasan ruang hidup dan wilayah kelola rakyat.”, pungkasnya. (AN)
Ambon (Maritimnews) - Subholding Pelindo Terminal Petikemas Ambon memperkuat sinergi dengan Pemerintah Daerah melalui program…
Jakarta (Maritimnews) - Dalam rangka penerapan program K3 sekaligus membangkitkan kesadaran pekerja, Koperasi Karya Sejahtera…
Tanjung Redeb (Maritimnews) - Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi layanan kepelabuhanan, Kantor Unit Penyelenggara…
Catatan kecil dari Klinik Sentra Maritim Medika di Hari Pahlawan oleh: Wisnu Wardana (Kepala…
Jakarta (Maritimnews) - CMA CGM Foundation menunjukkan kepedulian terhadap masa depan anak Indonesia dengan melakukan…
Jakarta (Maritimnews) - Balai Kesehatan Kerja Pelayaran (BKKP) Kementerian Perhubungan meraih sertifikasi ISO 9001:2015 untuk…