Momentum Kebangkitan Nasional, Belum Diikuti Bangkitnya Keselamatan Pelayaran
MNOL, Jakarta – Tepat 109 tahun lalu, organisasi pergerakan yang bernama Budi Utomo didirikan pada 20 Mei 1908. Organisasi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan kaum pribumi itu diprakarsai oleh dr Wahidin Sudirohusodo dan diketuai oleh dr Sutomo.
Alhasil oleh Presiden Sukarno pada tahun 1948, hari berdirinya organisasi itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional agar terkenang terus momentum kebangkitan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.
Namun kini di hari bersejarah itu, lagi-lagi dunia kemaritiman Indonesia dikagetkan dengan peristiwa tragis yang menimpa Kapal Motor (KM) Mutiara Sentosa 1, dengan rute Surabaya–Balikpapan di Perairan Masalembo, Jawa Timur (19/5).
Kapal yang mengangkut 178 orang dengan rincian 44 ABK dan 134 penumpang tersebut terbakar di koordinat 05°33.01 S – 114° 34.25 E atau 3 NM timur laut Kepulauan Masalembo. Akibatnya keselamatan pelayaran Indonesia kembali menjadi sorotan di tengah berjalannya visi Poros Maritim Dunia.
Keberadaan Tim SAR hingga kini masih mengevakuasi para penumpang di perairan itu. Berdasarkan informasi yang dihimpum dari Kemenhub, seluruh penumpang berhasil dievakuasi ke kapal lain yang melintas di perairan tersebut.
Menurut pengamat maritim dari The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, kejadian ini sungguh menyakitkan hati mengingat perbaikan sistem dalam dunia pelayaran Indonesia tak kunjung terjadi.
“Dari informasi yang saya terima kapal itu sudah terkatung-katung beberapa hari di tengah laut. Kapal itu kehabisan BBM lalu kemudian ditarik ke pelabuhan dan sekarang malah terbakar, Ini kemana pihak syahbandarnya,” ujar Siswanto dengan geram di Jakarta (19/5).
Tak hanya itu, ia pun menuntut agar Dirjen Hubla yang kini dijabat oleh A. Tony Budiono segera mundur. Pasalnya kejadian ini terus berulang ke sekian kalinya. Bahkan publik pun masih segar ingatannya dengan kasus terbakarnya KM Zahro Express di Muara Angke awal tahun 2017 ini yang merengut nyawa hingga 48 orang.
“Dirjen Hubla sebaiknya mundur, mau berapa kecelakaan lagi agar Hubla sadar?” tegasnya.
Ia pun menganalisa jika masih satu atap antara fungsi keselamatan dan penegakan hukum, tidak akan ada check and balances.
“Menurut UU Pelayaran, Syahbandar mengurusi keselamatan pelayaran. Sementara otoritas pelabuhan mengurusi bisnis kepelahuhanan,lalu kalau digabung jadi apa?” tandasnya.
Kemudian ketika terjadi kebakaran di titik koordinat itu, tim penyelamat baik yang terdiri dari KPLP, Polair, TNI AL, Bakamla, Basarnas dan sebagainya juga menjadi sorotan Siswanto. “Tim penyelamat juga selalu terlambat dalam mengantisipasi kejadian di laut,” pungkasnya.
Di perairan yang sama, pada tahun 1981, kecelakaan laut terbesar di Indonesia yang memakan korban hingga 431 dialami oleh KM Tampomas II. Kapal milik PT Pelni ini memiliki rute Padang-Jakarta-Ujung Pandang.
Tentunya dengan terbakarnya KM Mutiara Sentosa-1 ini menambah daftar hitam kecelakaan laut atau kapal terbakar dalam sejarah pelayaran nasional. Hal ini pula yang menandakan bahwa keselamatan pelayaran nasional masih belum bangkit dari tidurnya kendati beberapa instansi telah mengemban amanah ini.
(Adit/MN)




















