Perlindungan Buruh Awak Kapal Perikanan Masih Lemah
Jakarta (Maritimnews) – Saat ini bisnis perikanan tangkap masih sulit menerapkan standar perlindungan yang peka terhadap Hak Asasi Manusia. Menurut statistik Organisasi Buruh Internasional atau ILO, setidaknya 24.000 orang meninggal dan 24 juta orang terluka setiap tahun di kapal penangkap ikan komersial.
Dalam konteks Indonesia, selain ancaman kesehatan dan keselamatan, pemenuhan aspek perlindungan ketenagakerjaan awak kapal perikanan secara holistik masih jauh dari memadai. Walaupun sejumlah aturan perlindungan awak kapal perikanan telah dikeluarkan oleh pemerintah tetapi konsistensi dan pengawasan pelaksanaan aturan tersebut masih jauh dari harapan.
Peringatan Hari Buruh Internasional yang diperingati tanggal 1 Mei ini sebaiknya menjadi momentum bagi pemerintah, pelaku usaha dan serikat buruh perikanan untuk melakukan refleksi dan perbaikan atau perubahan tata kelola awak kapal perikanan Indonesia baik yang bekerja di dalam negeri maupun migran.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa perbaikan tata kelola awak kapal perikanan perlu dilakukan pada empat titik rawan sekaligus.
“Perbaikan paling tidak dilakukan pada empat titik rawan dari rantai pekerjaan di kapal ikan yaitu rekrutmen dan penempatan, kondisi saat bekerja, sistem pengupahan, dan sertifikasi atau kompetensi,” kata Abdi kepada Maritimnews, Minggu (1/5).
Dalam konteks ABK migran Indonesia, industri perikanan tangkap global saat ini masih menghadapi tekanan dari dampak COVID-19. Hal ini menyebabkan masih banyak ABK Indonesia yang tertahan di luar negeri, bekerja tanpa kontrak dan upah serta menghadapi ancaman kekerasan.
“Taiwan yang merupakan salah satu negara penempatan ABK Indonesia saat ini belum membuka pintu bagi kedatangan ABK Indonesia karena faktor Covid,” jelasnya.
Sementara kondisi ABK domestik, walaupun pemerintah telah mengeluarkan ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 33/2021 tentang tata kelola Awak Kapal Perikanan, tapi terdapat sejumlah ketentuan yang tidak sinkron dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 36/2021 tentang Pengupahan.
Dalam ketentuan Permen KKP, aturan dan besaran upah Awak Kapal Perikanan dibayarkan dengan sistim gaji bulanan atau bagi hasil. Tapi sistim dan mekanisme bagi hasil seperti apa tidak detail diatur dan diserahkan sesuai kesepakatan pemberi kerja dan pekerja.
“Ini rawan dan merugikan awak kapal perikanan sebab relasi antara ABK dan pemilik kapal selalu dalam posisi yang tidak imbang,” tegasnya.
Dia juga menyoroti tentang ketentuan upah bulanan yang minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi namun banyak yang diberikan di bawah UMP.
“Ketentuan UMP di DKI Jakarta saat ini adalah Rp 4,6 juta/bulan, tapi masih ditemukan upah ABK hanya Rp 35.000/hari atau Rp 1.035.000/bulan,” bebernya.
“Pengawasan pemerintah terhadap sistem pengupahan bagi ABK sangat minim. Banyak praktik pengupahan ABK diberikan di bawah UMP, dan otoritas ketenagakerjaan jarang memproses memproses masalah ini,” tambahnya.
Koordinator Program DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mendorong pemerintah untuk memperbaiki standar rerkrutmen awak kapal perikanan.
“Khususnya bagi ABK domestik, ketentuan KKP hanya mengatur ABK yang akan naik kapal. Tapi dari mana asal ABK tersebut, bagaimana pemenuhan standar kompetensi dan sertifikasi masih menjadi wilayah yang gelap,” ucap Imam.
Belum ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan semua awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan domestik telah memilih sertifikat keselamatan dasar atau basic safety training.
“Padahal hal tersebut merupakan dokumen wajib awak kapal perikanan sebelum mereka bekerja di kapal ikan. Atas hal tersebut kami mengusulkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat program 100.000 sertifikat BST gratis bagi awak kapal perikanan domestik,” tutup Imam. (*)