AS Tambah Pangkalan Militer di Filipina, Peran Indonesia makin Diuji bersama AOIP
Jakarta (Maritimnews) – Ketegangan di kawasan Asia Tenggara kian menunjukan eskalasinya usai Amerika Serikat (AS) dan Filipina kembali bekerja sama dalam bentuk kesepakatan pangkalan militer. Kesepakatan yang dikenal dengan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) itu sejatinya sudah dilakukan sejak 2014.
Bahkan yang tadinya AS memiliki akses di lima pangkalan militer kini telah diperluas hingga sembilan pangkalan militer. Kendati perluasan itu mendapat pertentangan dari warga sipil, namun pemerintah Filipina tetap menegaskan bahwa kerja sama ini sangat menguntungkan kedua negara.
Tentu pembangunan kekuatan itu makin menjadi perimbangan kekuatan militer China di Laut China Selatan (LCS). Berbagai analisis mengarah bahwa apa yang dilakukan oleh AS dan Filipina memang tidak mengagetkan.
Pasalnya, pasca keluarnya Putusan Permanent Court of Arbitrase (PCA) pada 2016 lalu, negara-negara yang terlibat konflik di LCS memang mengharap adanya perimbangan kekuatan militer oleh AS di kawasan tersebut.
“Sebetulnya tindakan AS ini tidak begitu mengagetkan karena pada Februari lalu, Menhan AS Austin sudah meminta 3-4 pangkalan baru untuk militer AS pada kunjungannya ke Manila. Presiden Marcos Jr menyetujui dan kini Asia Tenggara sudah dikepung oleh begitu banyak pangkalan militer AS, mulai dari Filipina, Singapura, Vietnam, Darwin dan Diego Garcia,” ujar Profesor Hubungan Internasional Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Anak Agung Banyu Perwita kepada maritimnews, Selasa (9/5/23).
Prof. Banyu lebih lanjut menyampaikan bahwa tujuan AS memang untuk menangkal kampanye militer China baik di LCS maupun Taiwan.
“Tentunya ini akan mengganggu ASEAN ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality).Terlebih dengan semakin kokohnya AUKUS (Australia, United Kingdom, and United States) yang juga akan membahayakan Southeast Asia Nuclear Weapons Free Zone,” tambahnya.
Menyikapi tingginya eskalasi di Asia Tenggara itu menuntut Indonesia untuk proaktif dalam menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan. Menurut Prof. Banyu, Indonesia juga bisa memainkan peran AOIP (Asean Oulook on Indo-Pasifik) untuk mengurai ketegangan di kawasan.
“Peran RI sangat sentral sekali terkait keketuaan ASEAN dan mendorong implementasi AOIP. Sebaliknya apabila AOIP tidak dapat diimplementasikan sebagai regional builder antara AS-China di Asia Tenggara, maka sedikit demi sedikit, ASEAN kehilangan relevansinya,” ungkap dia.
“Sekaligus ini masih menandakan era kompetisi kekuatan (power competition) semakin nyata. Penting buat RI untuk memperhatikan siapa Presiden berikutnya agar bisa mendorong ASEAN untuk tetap relevan dan justru bukan perlombaan senjata yang juga semakin nyata. Great Power Politics akan makin mewarnai kawasan ini dan Indo-Pasifik dalam beberapa tahun ke depan,” ulasnya.
Namun di lain sisi, Prof. Banyu menyebut perlunya keberanian dari pemerintah RI untuk memainkan situasi kawasan. Misalnya dengan mengundang China dan Rusia di ASEAN dalam wadah AOIP.
“Pilar pertama AOIP itu kerja sama maritim, kita bisa mainkan juga keamanan maritim secara inklusif, berarti juga harus ada Rusia dan China. Itu supaya lebih fair,” pungkasnya. (*)