Program Hilirisasi Nikel Berpotensi Rugikan Negara
Jakarta (Maritimnews) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, minta Pemerintah segera evaluasi total program hilirisasi nikel yang berlangsung selama ini. Mulyanto menduga program ini hanya menguntungkan investor asing tapi merugikan negara.
Pasalnya, produk smelter berupa Nilai Pembayaran Indonesia (NPI) ini mendapat banyak insentif. Mulai dari pembelian bijih nikel yang jauh di bawah harga internasional; bebas pajak PPN; mendapat tax holiday bebas PPH badan; bebas bea keluar atau pajak ekspor; kemudahan mendatangkan peralatan-mesin termasuk barang bekas pakai; kemudahan mendatangkan TKA, dan lain-lain,” kata Mulyanto dalam keterangannya kepada media, Rabu (21/6).
“Pemerintah harus mengevaluasi program hilirisasi nikel secara habis-habisan agar program ini tidak sekedar menguras sumber daya mineral kita. Lalu hanya menyisakan ampasnya untuk rakyat. Sementara yang menikmati keuntungan adalah pihak investor asing,” lanjut kader PKS tersebut.
Ia menambahkan Pemerintah harus dapat menjelaskan dengan gamblang berapa besar keuntungan penerimaan negara dari ekspor nikel setengah jadi seperti NPI dan Feronikel kepada masyarakat dan negara.
“Jangan-jangan kita malah nombok. Apalagi devisa yang dihasilkan juga ditengarai tidak masuk ke Indonesia tetapi di parkir di luar negeri dalam bentuk dolar,” tegasnya.
Sementara Pemerintah tidak terbuka terhadap data-data penerimaan negara atas hilirisasi nikel ini. “Coba bandingkan dengan penerimaan negara dari bea keluar ekspor bijih nikel saat sebelum dilarang. Bisa jadi kita nombok,” tegasnya lagi.
Lanjut dia, yang lebih mengenaskan lagi devisa (bukan penerimaan negara) dari ekspor tersebut ternyata tidak balik ke Indonesia, tetapi malah di-parkir di luar negeri dalam bentuk dolar. “Kalau demikian, maka ini bukan untung malah buntung,” jelasnya.
Karena itu, menurut Mulyanto, model kerja sama Indonesia-China dalam pengolahan nikel harus dievaluasi secara sungguh-sungguh dan transparan.
“Siapa sebenarnya yang lebih diuntungkan. Paling tidak kan harus win-win,” imbuhnya.
Dengan model kerjasama seperti sekarang, Mulyanto memperkirakan secara ekonomi negara nombok, karena terlalu banyak insentif yang diberikan. Belum lagi ekses sosial-politik keberadaan TKA dari Cina ini.
“Kasus bentrok antara TKA dan pekerja lokal yang menewaskan beberapa orang pekerja beberapa waktu lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita,” tandasnya. (*)