Published On: Mon, Jul 31st, 2017

Atasi Krisis Garam, Perkuat Infrastruktur Produksi Garam Nasional

Infrastruktur tambak garam, perlu dibenahi

MN, Jakarta – Ada banyak alasan pemerintah diungkapkan kepada rakyat agar bisa meyakinkan bahwa impor garam itu sangat urgent sekali. Padahal tidak semestinya melakukan impor garam. Alias masih banyak cara lain untuk mengatasi krisis garam nasional yang tengah terjadi saat ini.

Polemik garam dalam dua bulan ini mengundang analisa para petani garam baik yang dianggap terdampak maupun tidak. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah pertama, mengapa harus impor? pertanyaan ini tergantung sikap pejabat negara dan kadar nasionalisme apabila memenuhi kebutuhan rakyat dengan impor maka kebanggaan kita terhadap garam nasional dipastikan tidak ada.

Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh pemerhati kelautan Rusdianto Samawa di Jakarta (31/7). Ia menjelaskan. Pola importir garam ini merupakan sistem yang sudah lama digeluti oleh para kartel asing yang bekerjasama dengan pejabat sebagai penyalurnya.

“Alasan paling mendasar untuk impor adalah cuaca ekstrem  yang menyebabkan kelangkaan garam. Padahal tidak seperti itu yang terjadi. Bukan karena cuaca namun keterbatasan regulasi kontrol pemerintah yang tegas terhadap para kartel pebisnis garam yang selama periode 4 bulan ini mereka menampung dan menumpuknya. Dengan mudahnya, menyalahkan alam karena matahari kurang sahabat dan hujan. Hal ini bukanlah suatu alasan yang tepat bagi pemerintah menyalahkan alam,” terang Rusdianto.

Seharusnya pemerintah, sambung dia, memperbaiki pola distribusi garam baik di tingkat petani maupun pasar. Pola distribusi ini yang sering membuat krisis garam karena pemerintah melalui KKP sendiri sering saling kontak dengan kartel garam.

Kedua, Rusdianto menyatakan Infrastruktur pengelolaan garam nasional belum memadai. Dari sejak 1942 hingga 1995 kondisi petani garam sangat susah untuk memodernisasi alat produksi garam maupun tempat penampungan garam di petani tambak.

“Kalau pemerintah komitmen mengembangkan pengelolaan dan memusatkan kerja pelayanan untuk bantuan pembangunan infrastruktur garam, maka harus ada alokasi infrastruktur garam nasional yang memadai, misalnya pembangunan tempat penampungan garam, alat produksi, mesin penyedot air atau penimba air tawar,” tandas Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI) tersebut.

Oleh karena itu, hematnya, pemerintah fokus memperbaiki infrastruktur garam nasional, perpendek pola distribusi garam yang tidak lagi melibatkan kartel asing. Sehingga petani garam nasional bisa memiliki kemandirian yang kuat dan bertahan serta stok garam selalu tersedia.

Ketiga, lanjut dia, berdasarkan pantauan, untuk garam satu bungkus isi 10 kotak garam, semula harga Rp 2500 kini naik menjadi Rp 7 ribu. Sedangkan untuk garam dapur, yang semula hanya seharga Rp 10 ribu kini melonjak hingga Rp 25 ribu.

“Kegagalan garam pada 2016 dan 2017 menjadi kambing hitam yang dipersalahkan pemerintah. Kelangkaan garam di sebuah negeri yang memiliki matahari, laut, dan garis pantai lebih banyak dibanding di sebagian besar negara dunia tentu amat mencengangkan. Karena itu, pasti ada yang tidak beres ihwal kebijakan pengelolaan komoditas yang proses produksinya sungguh sederhana ini, yaitu dengan cara menguapkan air laut,” bebernya.

Pria asal Sumbawa ini juga menyebut krisis ini seharusnya bisa diantisipasi jauh sebelumnya. Tanda akan terjadi darurat garam sudah terlihat jauh hari. Misalnya, sejak Lebaran, harga garam atau jerut nyaris tak pernah turun lagi. Sedangkan, di tingkat konsumen, harga melambung hingga empat kali lipat.

“Kebutuhan garam nasional setiap tahun sebesar 4,3 juta ton, mencakup garam industri dengan kadar Natrium Klorida (NaCl) di atas 97 persen dan garam konsumsi dengan kadar NaCl di bawahnya,” ulasnya.

Sebanyak 1,8 juta ton di antaranya dipasok dari dalam negeri, kebanyakan untuk garam konsumsi yang kini langka. Di tambak milik PT Garam di Sumenep, misalnya, produksi garam pada Mei-Juni hanya 50 ton, anjlok dibanding angka biasanya yang mencapai 2.500 ton. Produksi garam konsumsi tahun 2016 sebesar 144.000 ton tak cukup guna memenuhi kebutuhan nasional.

“Sebenarnya, impor garam tidak tergantung pada NaCl-nya. Metode ini sebetulnya sudah harus diketahui sebelum impor dilakukan. Yang jadi masalah pemerintah tidak mendahulukan kepentingan rakyat petani tambak garam. Seyogyanya terlebih dahulu melakukan distribusi kepada seluruh pasar tradisional sebagai pusat kebutuhan rakyat,” ungkap kader Muhammadyah itu.

Sambungnya, pemerintah juga harus lebih keras memotong mata rantai kartel garam yang selama ini menjadi penyakit bagi petani garam. Mata rantai kartel inilah yang membuat banyak daerah penghasil garam anjlok.

“Maka, kalau saja memiliki kemauan untuk merubah keadaan agar tidak menjadi lahan permainan kartel. Maka harus perkuat petani garam dengan kebijakan atau regulasi pemberdayaan dan pembangunan yang sustainable. Salah satu yang paling penting dibangun adalah alat distribusi garam, jalan kurang lebar, gudang tempat penampungan garam, serta alat-alat produksi garam. Semua itu harus diperbaiki, selain menata sistem distribusi dan alur garam,” bebernya lagi.

Jangan sampai pemerintah berniat mengimpor garam, lalu improvisasi kebijakannya dengan menyetir kartel untuk membeli, menampung dan mendistribusi serta merubah kadar NaCl-nya.

“Masukan petani garam bagi pemerintah harus segera dilaksanakan. Termasuk menghadirkan metode teknologi yang tinggi agar garam nasional dapat dipenuhi,” pungkas dia sebagai rekomendasi.

 

(Adit/MN)

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com