Published On: Fri, Aug 12th, 2016

Jasa Kaigun dan Laksamana Muda Maeda Menjelang Proklamasi

Rumah Laksamana Muda Maeda di Jalan Imam Bonjol, tempat perumusan Teks Proklamasi

Rumah Laksamana Muda Maeda di Jalan Imam Bonjol, tempat perumusan Teks Proklamasi

MNOL, Jakarta – Masuknya Jepang ke Indonesia tahun 1942 menyertakan pemerintahan militer dibawah Komando Angkatan Laut (Kaigun) ke-16 yang berpusat di Makassar. Adapun di Jakarta hanya ditempatkan kantor penghubung Kaigun.

Melihat defisit pelaut pada masa itu dan kebutuhan SDM perang Jepang dalam menghadapi Sekutu, Kaigun kemudian membangun Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) dan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) oleh Jepang.

Misi dari sekolah ini hanya satu yaitu merekrut pemuda-pemuda Indonesia sebanyak-banykanya agar dapat dididik pelayaran yang bisa membantu Jepang dalam menghadapi perang laut melawan Sekutu. Tidak sedikit pula pemuda Indonesia yang sebelumnya mengenyam pendidikan pelayaran di masa Belanda bahkan dilatih oleh Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) ikut bergabung kembali di sekolah ini.

Di antara nama-nama besar yang mengenyam pendidikan disini dan kelak menjadi pimpinan ALRI ialah RE Martadinata, Sudomo, Mas Pardi, Adam, Ali Sadikin, dan lain-lain. Selama setahun mereka dididik, kemudian diamanatkan menjadi guru bantu di SPT-SPT yang dibangun Jepang di beberapa daerah seperti Asahan, Sibolga, Tegal, Juwana, Pasuruan, dan Surabaya.

Selain itu, beberapa lulusan SPT juga sudah diamanatkan untuk memimpin kapal (nahkoda) dan ABK oleh Jepang, meskipun hanya kapal pengangkut. Namun ada beberapa yang telah diikutkan mengikuti perang di Laut Jawa antara Jepang dengan Sekutu.

Saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lulusan SPT yang bergabung dengan barisan-barisan pemuda lainnya turut mengamankan jalannya pembacaan teks Proklamasi di rumah Bung Karno jalan Pegangsaan No.56, Menteng, Jakarta.

Peran Laksamana Muda Maeda

Seorang perwira penghubung Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Jakarta yang namanya sering disebut-sebut di seputar Proklamasi Kemerdekaan menjadi hal menarik dari jiwa seorang Kaigun. Dia lah Laksamana Muda Tadashi Maeda, ekspatriat asal Jepang yang berbaik hati dalam membantu perjuangan Indonesia.

Tak salah bila perannya menjelang 17 Agustus 1945 menjadi sangat penting pada saat dirinya menjadi jaminan dari keamanan perumusan teks Proklamasi di rumahnya kepada Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.

Sebenarnya jauh sebelum malam 17 Agustus 1945 itu, Maeda telah memiliki hubungan kedekatan dengan pemimpin bangsa Indonesia. Sebut saja Achmad Subardjo, Bung Karno, Bung Hatta dan Muhammad Yamin. Dirinya merupakan cermin pelaut sejati yang humanis dan ksatria, yang juga menguasai ilmu intelijen.

Setelah menjadi Atase di Den Haag dan Berlin di tahun 1930-an, Maeda dipanggil pulang ke Jepang oleh pemerintahnya dan siap menerima tugas baru. Ternyata pimpinan AL Jepang menganggap Maeda figur yang banyak tahu tentang Indonesia setelah menjadi Atase di Den Haag. Dugaan itu tidak meleset sedikit pun. Di Den Haag, Maeda kerap berkomunikasi dengan pelajar Indonesia di Belanda seperti Nazir Pamuntjak, Achmad Subardjo, Hatta dan AA Maramis.

Sudah menjadi hal lumrah bila suatu negara ingin mengekspansi suatu negara lain, maka peranan intelijen sebelumnya dikedepankan. Maeda lah orang yang diutus untuk mempelajari pergerakan Indonesia selama kurang lebih 10 tahun. Setelah Maeda turut memberikan laporan tentang Indonesia maka mulailah peperangan Asia Timur Raya yang disusul dengan menyerang pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

Hingga akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dalam perjanjian Kalijati, Subang, 8 Maret 1942. Peristiwa itu yang memunculkan babak baru di Indonesia setelah 350 tahun diduduki oleh Hindia Belanda.

Babak baru di Indonesia itu pun dimulai dengan bercokolnya pemerintahan militer Jepang. Selanjutnya, Maeda mendapat tugas sebagai kepala Penghubung Kaigun yang berpusat di Makassar dengan Tentara Angkatan Darat di Jakarta. Dalam tugasnya itu, Maeda pun mempekerjakan Subardjo, orang Indonesia yang telah dikenalnya lama sejak di Belanda.

Maeda dan Angkatan Laut pada umumnya lebih memiliki sisi humanisme ketimbang Angkatan Darat Jepang yang jauh lebih kejam terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, tidak jarang Maeda membantu Sukarno dan Hatta ketika berdebat debat dengan Angkatan Darat Jepang saat menyelesaikan beberapa sengketa soal nasib rakyat Indonesia.

Pasca Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, maka tanda-tanda kekalahan Jepang telah terlihat. Pada 14 Agustus 1945, Angkatan Perang Jepang berkewajiban untuk tunduk kepada segala perintah komandan Angkatan Perang Sekutu, khususnya untuk mempertahankan status quo, yang berarti tidak boleh merubah keadaan sedikit pun di wilayah Indonesia yang didudukinya selama Perang Pasifik.

Jepang juga tidak boleh bertindak di bidang administrasi maupun di bidang politik. Tugas utama dari Balatentara Jepang hanyalah menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Pasang Badan

Berdasarkan pengakuan Achmad Subardjo, akibat dari ketentuan itu bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu peristiwa yang bertentangan dengan status quo yang berlaku semenjak 14 Agustus 1945. Pada saat itu, pihak Kaigun, yaitu Angkatan Laut Jepang yang dipimpin oleh Laksamana Shibata, atas desakan Maeda, mengambil kebijaksanaan yang menyimpang dari status quo.

Maeda pula yang menjamin rapat PPKI pada tanggal 16 Agustus 1945 dilangsungkan. Namun, sebelum rapat itu dimulai dikabarkan Sukarno dan Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI menghilang. Baru kemudian diketahui, keduanya dibawa ke Rengasdengklok oleh pemuda dengan maksud diamankan dari Jepang.

Subardjo yang menjemput keduanya memberikan jaminan bahwa kemerdekaan akan segera diproklamirkan. Hal itu mengingat karena Subardjo telah memiliki keyakinan bahwa AL Jepang dibawah komando Maeda akan mendukung pelaksanaan itu.

Replika Perumusan naskah Proklamasi di Rumah Maeda

Replika Perumusan naskah Proklamasi di Rumah Maeda

Malam 17 Agustus pukul 23.00, para anggota PPKI telah berkumpul di rumah Maeda di JL Teji Mejidori No.1 (saat ini Jalan Imam Bonjol). Maeda mempersilahkan rumahnya dipakai untuk rapat PPKI. Setelah Sukarno, Hatta, dan Subardjo tiba yang disambut Maeda seraya mengucapkan selamat dan meyakinkan tentang jaminan keamanan untuk proklamasi, ketiganya bergegas ke ruang tengah untuk menyusun teks Proklamasi.

Tepat pukul 03.00, teks itu rampung diketik dan disepakati oleh seluruh anggota PPKI. Pukul 10.00 paginya, status Indonesia sebagai bangsa terjajah resmi berubah menjadi bangsa merdeka setelah dibacakan teks Proklamasi itu oleh Sukarno dan Hatta. Maeda pun bangga atas keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaannya.

Maeda pula yang menjamin tuntutan Kempetai (Pasukan Rahasia Jepang) untuk mencabut kembali proklamasi yang telah dibacakan Sukarno-Hatta.

Setelah kedatangan Sekutu pada 2 September 1945, Maeda termasuk perwira yang dieksodus ke Jepang. Pada 13 Desember 1977, Maeda menghembuskan nafas terakhir. Subardjo menuliskan dalam memoarnya, “Dengan wafatnya Laksamana Maeda, Indonesia kehilangan seorang setiakawan yang besar jasanya dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia. Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia yakni: INDONESIA MERDEKA”.

Jasa-jasa Maeda tetap terkenang bagi bangsa Indonesia hingga saat ini, seorang ekspatriat yang dengan tulus membantu kemerdekaan Indonesia dan sebagai seorang Angkatan Laut yang harum namanya selama Negara Indonesia berdiri.

 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com