Published On: Thu, Jun 15th, 2017

Menteri Susi Perjuangkan Pemberantasan IUU Fishing di PBB

Menteri Susi di dalam pertemuan dengan delegasi negara-negara anggota PBB

MN, New York – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan praktik illegal fishing sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir (transnational organized crime). Hal ini disampaikan Menteri Susi dalam Konferensi Kelautan PBB: Transnational Organized Crime in Fisheries Industry bersama Norwegia, The International Police Organization (Interpol), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), di New York, beberapa waktu lalu.

“Kita harus mengakui bahwa Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing ini terkait dengan kejahatan transnasional yang terorganisir. Operasinya sering didukung oleh kelompok terorganisir. Indonesia adalah saksi pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perdagangan manusia, perbudakan anak, hingga pelecehan fisik dan seksual yang terjadi di kapal penangkap ikan,” ungkap Susi.

“Tak jarang juga terjadi penyelundupan mulai dari bahan makanan seperti beras, bawang, pakaian, hingga obat-obatan terlarang, alkohol, dan narkotika. Mereka juga menyelundupkan satwa liar yang terancam punah, seperti burung beo, burung surga, dan armadillo,” tambahnya.

Menteri Susi menghimbau agar negara-negara anggota PPB tidak membiarkan praktik illegal fishing terjadi secara bebas di masing-masing negara. Menurutnya, praktik tersebut tak hanya berdampak pada berkurangnya stok ikan di lautan, tetapi juga telah mengancam punahnya beberapa spesies laut lainnya.

Menteri Susi menambahkan, praktik illegal fishing nantinya akan berdampak pada ekonomi dalam negeri, di mana barang atau spesies selundupan akan dijual dengan harga murah, sehingga memungkinkan terjadinya kompetisi yang tidak sehat.

Seruan Menteri Susi ini mendapat dukungan dari Presiden Sidang Majelis Umum PBB Peter Thompson. Peter mengatakan, dirinya menyambut baik upaya Indonesia dalam menjadikan illegal fishing sebagai kejahatan transnasional.

“Kami berusaha keras melalui konferensi laut (PBB) ini, tetapi ini (persetujuan) juga tergantung pada semua orang, bukan pribadi,” ujar Peter.

Dukungan juga datang dari Norwegia dan Interpol. Norwegia misalnya, menegaskan pentingnya aspek fisheries agriculture dalam memberantas praktik illegal fishing yang kerap terjadi. Permanent Representative of Norway to The United Nations, Geir O Pedersen, mengungkapkan, 40 persen tindakan kriminal sektor perikanan yang terjadi telah menghabiskan sumber daya ikan yang ada.

Oleh karena itu, Ia mengharapkan sektor perikanan mulai memperhatikan keberlanjutan agar sumber daya laut yang dinikmati sekarang juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

“Saya rasa, sangat penting untuk memerangi illegal fishing sebagai transnational organized crime demi masa depan kita bersama,” ungkap Geir.

Guna meyakinkan Dewan PBB, pada kesempatan tersebut, Menteri Susi juga menceritakan berkurangnya stok laut yang pernah terjadi di Indonesia akibat praktik illegal fishing.

“Sebelum menjadi menteri, saya memiliki pengalaman 30 tahun sebagai pedagang makanan laut di sebuah kota kecil di Jawa Barat, dekat Samudra Hindia. Selama tahun-tahun itu, saya menyaksikan dan mengalami langsung penurunan tangkapan ikan nelayan lokal akibat kapal-kapal penangkap ikan ilegal yang umumnya berasal dari negara lain,” ungkapnya.

Wanita asal Pangandaran tersebut menyaksikan sendiri saat di mana tangkapan lobster yang biasanya 2 ton per hari berkurang menjadi hanya 10-50 kg per hari.

“Jadi ketika saya ditunjuk sebagai Menteri pada 2014 lalu, saya langsung menetapkan perang melawan IUU Fishing sebagai prioritas untuk membangun kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia, dengan tiga pilar yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan,” tandasnya.

Untuk mencapai ketiga pilar tersebut, Menteri Susi juga menceritakan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya, di antaranya moratorium kapal perikanan eks-asing  untuk mempelajari pola dan modus operandi IUU Fishing; penenggelaman kapal perikanan illegal untuk memberikan efek jera dan larangan transshipment atau bongkar muat di tengah lautan karena umumnya kegiatan IUU Fishing terjadi di tengah lautan.

Tak hanya itu, larangan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut juga dibuatnya dalam suatu paket kebijakan. Selain itu, ia juga mempromosikan pengelolaan kelautan dan perikanan yang transparan dengan membuka akses kepada publik serta membuat regulasi terkait hak asasi manusia untuk melindungi nelayan dari kejahatan perdagangan manusia dan perbudakan.

“Kebijakan ini telah menunjukkan angka yang luar biasa selama dua tahun terakhir. Nelayan Indonesia dapat menikmati peningkatan daya beli dari 104,63 pada tahun 2014 menjadi 109,85 pada bulan Januari 2017,” papar Menteri Susi.

Lebih lanjut, pemilik maskapai Susi Air ini menerangkan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) naik dari 7,3 juta ton pada tahun 2015 menjadi 12,5 juta ton pada tahun 2017.

Ia mengutip hasil studi yang dilakukan oleh Universitas California Santa Barbara yang menunjukkan adanya penurunan eksploitasi 30-35% di Indonesia dalam satu tahun (2015-2016).

“Ikan semakin dekat ke pantai, dimana nelayan lokal kita sekarang bisa menangkap yellowfins, anchovy, dan king prawn,” selorohnya.

“Sekali lagi, saya meminta dukungan dan komitmen PBB untuk menetapkan IUU Fishing ini sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir. PBB diharapkan dapat memberikan pemahaman yang dapat kita sebarluaskan agar praktik IUU Fishing ini dapat diberantas secara luas, demi masa depan laut kita,” tutup dia.

(Anug/MN)

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com