Published On: Wed, Sep 21st, 2016

Pembangunan Industri Pertahanan Maritim Masih Jauh dari Sasaran

Foto Bersama - Panitia dan pebicara Seminar “Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Nasional bidang Kemaritiman” yang diselenggarakan oleh Korwil II Jabodetabek Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) di Aula Nurcholish Majid, Universitas Paramadina, Jakarta (20/9/16).

Foto Bersama – Panitia dan pebicara Seminar “Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Nasional bidang Kemaritiman” yang diselenggarakan oleh Korwil II Jabodetabek Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) di Aula Nurcholish Majid, Universitas Paramadina, Jakarta (20/9/16).

MNOL, Jakarta – Seminar bertajuk “Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Nasional bidang Kemaritiman” yang diselenggarakan oleh Korwil II Jabodetabek Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) di Aula Nurcholish Majid, Universitas Paramadina, Jakarta (20/9/16) mengurai perjalanan industri pertahanan sejak bergulirnya visi poros maritim dunia.

Para pembicara seminar terdiri dari Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin; CEO PT Barata Indonesia, Silmy Karim; Direktur Imparsial, Al Araf; Akademisi  dan Pengamat Pertahanan Andi Widjajanto; dan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan RI, Laksda TNI Leonardi.

Para pemateri tersebut mengulas lebih jauh soal industri pertahanan dari berbagai sudut pandang. Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menerangkan soal anggaran industri pertahanan yang include dengan program Minimum Essensial Force (MEF).

Menurutnya, disahkannya MEF tersebut meskipun suatu politik anggaran yang bersifat minimum merupakan pencapaian luar biasa yang telah dirancang oleh Kementerian Pertahanan RI era Purnomo Yusgiantoro bersama Komisi DPR RI.

“Perjalanan MEF yang terbagi tiga tahap dari tahun 2010-2024 itu telah merubah paradigma kebutuhan alutsista kita yang sebelumnya tergantung dengan negara lain kepada kemandirian,” terang Hasanuddin.

Dalam perjalanan pertama, Komisi I DPR RI juga berhasil merumuskan UU No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Di mana kemandirian menjadi penekanan dalam undang-undang tersebut.

“Meskipun mengimpor alutsista, kita juga menekankan untuk adanya transfer teknologi agar ke depan kita bisa melakukan kemandirian,” tambah Anggota DPR RI asal Fraksi PDI-P tersebut.

Sementara itu, Silmy Karim yang merupakan mantan Dirut PT Pindad mengungkapkan perjalanan industri pertahanan yang diatur oleh UU No 16 tahun 2012 itu tidak semulus yang dikonsepkan.

“Adanya transfer teknologi dari negara maju kepada kita tidak semudah itu. Logikanya, mana ada negara yang mau mentransferkan teknologinya ke kita,” ujar Silmy.

Dia mencontohkan kasus kapal selam yang dipesan Indonesia melalui PT PAL Indonesia dengan Perusahaan galangan kapal Korea Selatan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co, juga tidak berjalan efektif.

Pasalnya transfer teknologi yang terjadi pada karyawan PT PAL Indonesia yang dikirim hanya menyangkut hal-hal teknis. Selanjutnya, soal infrastruktur PT PAL Indonesia sendiri juga masih belum mencukupi soal teknologinya.

“Ini terjadi bukan kali ini saja, sebelumnya pembuatan Kapal PKR (Perusak Kawal Rudal) juga mengalami kendala soal ornamen-ornamennya,” jelas dia.

Silmy juga mengimbau, untuk ke depannya dalam pembangunan industri pertahanan diperlukan kejujuran. Karena hal ini menyangkut kesejahteraan bangsa Indonesia.

“Pembangunan industri pertahanan itu hanya alat, intinya adalah mencapai kesejahteraan. Maka dari itu perlu kejujuran dan transparansi,” tegasnya.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Direktur Imparsial Al Araf dalam pemaparannya. Soal transparansi anggaran memang menjadi sorotan utamanya agar diketahui oleh publik

Sedangkan Laksda TNI Leonardi menjelaskan keoptimisannya dalam pembangunan industri pertahanan Indonesia yang sedang berjalan hingga tahun 2024 ini. Ungkapnya, saat ini masterplan itu telah setengahnya berjalan.

“Sampai tahun 2024 kita akan punya 9 kapal selam, belasan fregat dan kapal destroyer untuk memperkuat pertahanan poros maritim dunia,” papar Leonardi.

Kendati persoalan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri saat membangun kekuatan pertahanan terbilang cukup kompleks. Tentunya terkait anggaran yang juga mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional.

“Ya kita tahu, seperti PT PAL hingga saat ini masih terkendala oleh PMN (Penyertaan Modal Negara-red) sehingga pembangunan kapal selam dan alutsista lainnya jadi terlambat dari yang diprediksikan,” tuturnya.

Sedangkan akademisi dan pengamat pertahanan Andi Widjajanto yang juga merupakan Tim Sukses Jokowi-JK yang turut menggagas visi poros maritim dunia menyatakan ending dari berjalannya MEF ini ialah mencapai Blue Water Navy.

“Kalau meleset ya kita turunkan menjadi Green Water Navy. Kita juga harus banyak belajar dengan negara-negara maju soal visi maritimnya,” tandas Andi.

Terkait industri pertahanan, mantan Menseskab ini menjelaskan memang saat ini industri pertahanan nasional masih bersifat supply chain industry, yang berarti tidak semuanya murni dibuat di Indonesia.

“Jujur industri pertahanan kita masih bersifat supply chain industry, itu sangat jelas terlihat sekali dalam pembuatan kapal selam dengan Korea, baik diesel, propheler dan beberapa ornamennya tidak dibuat di Indonesia,” pungkasnya.

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com