Published On: Sat, Feb 18th, 2017

Tedjo Edhy: Berjalannya Poros Maritim Dunia butuh GBHN

Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno

MNOL, Jakarta – Mantan Kasal Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno mengemukakan dalam perjalanan visi Poros Maritim Dunia memerlukan suatu masterplan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

“Kita perlu GBHN untuk menjalankan Poros Maritim Dunia, agar dari rezim ke rezim tetap ada kesinambungan,” kata Tedjo saat dihubungi maritimnews di Jakarta, (18/2/17).

Pria yang pernah menjabat sebagai Menko Polhukam di awal Pemerintahan Jokowi-JK itu menjelaskan dengan adanya GBHN akan ada kesinambungan visi serta untuk menghindari adanya ego sektoral di setiap rezim dan kelembagaan. Dengan demikian, penyatuan visi dapat terarah hingga unit terkecil di bawahnya.

“Seperti contohnya antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah juga harus sinkron dan seirama, tidak boleh berbeda-beda,” tandasnya.

Lulusan Akabri Laut tahun 1975 ini menyatakan Dewan Maritim (Dekin) yang baru saja dibubarkan menyebabkan kebijakan maritim kerap tidak seragam. Hal tersebut terbukti dalam perjalanan aspek pilar pembangunan maritim. Di antaranya Budaya Maritim, Ekonomi Maritim, Infrastruktur dan Konektivitas, Diplomasi Maritim, dan Hankam bidang Maritim.

“Saat ini kan baru aspek pembangunan infrastruktur dan konektivitas saja yang menonjol, untuk mewujudkan terlaksananya tol laut. Aspek lain diharapkan bisa difokuskan pada periode yang akan datang, karena kita tahu bahwa untuk menjalankan visi pembangunan tidak cukup dalam waktu lima tahun,” terangnya.

Kendati saat ini pemerintah telah mengeluarkan Buku Putih yang berisikan masterplan Poros Maritim Dunia, namun kata Tedjo, kedudukannya tidak kuat. Hal ini yang membuat setiap lembaga pada akhirnya berjalan sendiri-sendiri dalam mengintepretasikan visi Poros Maritim Dunia.

GBHN merupakan amanat UUD 1945 di Pasal 3 sebelum diamandemen. GBHN merupakan produk dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Presiden pun selaku mandataris MPR wajib menjalankannya.

Namun setelah mengalami fase perubahan selama empat kali periode 1999-2002, UUD 1945 seakan kehilangan ruhnya. MPR diturunkan hanya sebagai Lembaga Tinggi Negara yang setara kedudukannya dengan Presiden. Sementara GBHN telah dihapus.

“Loh sekarang kalau ada GBHN yang dikeluarkan MPR apa Presiden mau menjalankan? Karena setiap Presiden dalam konstitusi yang telah diamandemen mempunyai visi dan misi sendiri yang dicantumkan dalam RPJP, RPJM dan Rencana Kerja Tahunan. Ini kan menjadi masalah,” seloroh Tedjo.

Maka dari itu ia menghendaki agar amandemen dikaji ulang. Jika perlu dikembalikan dulu kepada UUD 1945 yang asli, kemudian untuk Amandemen yang baik dimasukan di Pasal 37 dengan dalam bentuk Addendum.

“Merubah UUD itu tidak mudah. Kalau di masa Orde Baru perlu Referendum terlebih dahulu, artinya harus mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia,” bebernya.

Pada intinya, selaku Prajurit Sapta Marga dari Matra Laut, Tedjo menginginkan agar Poros Maritim Dunia itu berjalan terarah dan berkesinabungan. Sehingga kembali ke UUD 1945 naskah asli dengan memasukkan addendum di Pasal 37 menjadi satu-satunya cara menjalankan visi tersebut.

“GBHN harus dibuat oleh MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sehingga setiap Presiden, dari rezim satu ke rezim berikutnya wajib menjalankan itu. Untuk itu visi Poros Maritm Dunia harus termanivestasi di dalam GBHN,” pungkasnya. (An/MN)

 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com