Published On: Wed, Dec 14th, 2016

The Power of Map

Oleh: Laksda TNI Dr Surya Wiranto SH, MH*

Peta Perairan Natuna yang masuk klaim Nin Dashed Line RRC. (Gambar: Dok Laksda TNI Surya Wiranto)

Peta Perairan Natuna yang masuk klaim Nin Dashed Line RRC. (Gambar: Dok Laksda TNI Surya Wiranto)

MN – Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selain menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta batas batasnya, juga memberikan informasi spasial bagi publik tentang wilayahnya dan menggambarkan pencapaian hasil berbagai perundingan bilateral, trilateral maupun multilateral sejak Deklarasi Djuanda sampai sekarang. Peta NKRI mencantumkan nama-nama geografis pulau-pulau terluar milik Indonesia yang berada di sebelah dalam garis pangkal kepulauan Indonesia, serta  menggambarkan letak Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peta NKRI bersifat dinamis dan harus selalu di-update sesuai dengan perkembangan.

Perundang-undangan  nasional terkait dengan penetapan koordinat batas wilayah NKRI adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat  Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia  yang telah diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2008, yang merupakan tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982. Hal itu diawali dengan penerbitan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dilanjutkan penguatan hukum dengan UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dan UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan.

Landasan hukum tersebut telah memagari wilayah perairan Indonesia. Sehingga bagi Indonesia, UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah digagas sejak tahun 1957.

Permasalahan yang akhir-akhir ini muncul terkait pencantuman daftar koordinat geografis wilayah laut adalah pada  sengketa Laut China Selatan (LCS) yang semakin hari kian memanas, di mana negara Republik Rakyat China (RRC)  beranggapan bahwa LCS merupakan wilayah kedaulatannya. Klaim atas wilayah darat dan laut di LCS disampaikan secara eksplisit  oleh China dengan mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan LCS.

Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena merupakan sembilan sekmen garis putus-putus. China mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan yang konon menurut sejarah China merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi China (Traditional Fishing Ground). Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.

Dari uraian di atas nampak bahwa pemerintah RRC telah mengoptimalkan klaim wilayah maritimnya menggunakan “The Power of Map”. Peta dan klaim sembilan garis putus ini tidak saja digambarkan di peta kartografinya, namun diperkuat juga dengan  membuat perundang-undangan nasionalnya (Order of the President of the People Republic of China Nomor 55 Tahun 1992 tentang “Law of the People’s Republic of China on the Territorial Sea and the Contiguous Zone), dan mendepositkannya ke Sekjen PBB pada tahun 2009.

Peta tersebut juga dicetak pada paspor RRC sebagai penegasan tentang penguasaan wilayahnya di LCS. Pada saat sidang di Permanent Court of Arbitrase Den Haag, Belanda, peta wilayah sengketa yang digunakan masih peta lama yang menggambarkan Perairan Natuna hingga ke Selat Karimata masih menjadi bagian dari LCS. Kekuatan peta inilah yang dipertahankan oleh RRC hingga saat ini dalam menghadapi Claimant State lainnya.

Langkah RRC yang menerbitkan peta pada tahun 1947 dan  memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan LCS tersebut telah menimbulkan protes keras negara-negara pengklaim lainnya (Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei). Indonesia walaupun bukan negara pengklaim, turut melayangkan protes dengan Nota Diplomatik Pemerintah Indonesia pada tahun 1993, 2009 dan 2010, karena klaim tersebut telah memotong sebagian perairan yurisdiksi Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) di Utara Kepulauan Natuna seluas 83.315,62 km2.

Namun semua protes tersebut tidak satu pun yang ditanggapi. Pemerintah RRC bahkan unjuk kekuatan dengan menggelar kapal-kapal ikan (China’s Maritime Militia/Komponen Pendukung Kekuatan Pertahanan RRC) yang menjaga batas terluar klaim sembilan garis putus tersebut, sambil mengeksplorasi ikan di laut.

Kapal-kapal ikan tersebut dikawal oleh Coast Guard China (Komponen Cadangan Kekuatan Pertahanan RRC). Apabila aparat keamanan Indonesia akan menangkap kapal ikan tersebut, maka kapal Coast Guard tersebut segera datang membantu dengan melakukan tindakan hostile intent dan hostile act terhadap aparat keamanan laut RI.

Mengingat perairan yurisdiksi ZEEI merupakan bagian dari kepentingan nasional Indonesia (“the vital national interest of the state”) yang harus dijaga dan dipertahankan, maka beberapa tindakan perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:

Ke Luar:

  • Penyelesaian sengketa tersebut perlu dilakukan melalui berbagai forum dengan first and second track diplomacy, seperti workshops “Managing Conflics in the South China Sea” yang digagas tiap tahun oleh Indonesia.
  • Pemerintah perlu segera menyelesaikan batas ZEEI dengan Malaysia dan Vietnam di Utara Kepulauan Natuna untuk memperkuat posisi Indonesia tehadap klaim sembilan garis putus RRC.
  • Pemerintah segera menginisiasi penyelesaian CoC (Code of Conduct) dan membuat CUES (Code Unintended Encounter at Sea) sebagai pedoman unsur-unsur keamanan laut yang beroperasi di LCS.
  • Mengingat peliknya masalah sengketa ini, maka disarankan penyelesaiannya dengan perundingan secara intensif menggunakan formula 6+4+2 atau 6+4+1+1, yaitu; 6 ASEAN Non Claimant  (Indonesia, Singapura, Kamboja, Laos, Thailand dan Myanmar) + 4 ASEAN Claimant (Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei Darussalam) + RRC dan Taiwan.

Ke Dalam:

  • Peta Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengatur Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPPNRI), yang ada titik-titik koordinat batasnya, perlu dijadikan rujukan untuk menambahkan koordinat pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEEI dan peta NKRI, agar mempunyai kekuatan hukum yang positif.
  • Pemerintah perlu membuat titik koordinat pada setiap batas zonasi perairan Indonesia dan perairan yurisdiksi Indonesia, menggambarkannya pada peta NKRI (The Power of Map) dan semua perundang-undangan maritim Indonesia, serta mendepositkan peta serta perundang-undangan tersebut ke UN-DOALOS dan Sekjen PBB, berdasarkan pasal 16, 47, 53, 75, 76, 84 UNCLOS tahun 1982. Hal ini sebagai penguatan hukum
    positif terhadap kepemilikan wilayah yurisdiksi Indonesia.
  • Pemerintah segera meresmikan penamaan baru LCS yang berada di Utara Kepulauan Natuna, dengan nama Laut Natuna Utara sebagai penguatan posisi klaim Indonesia di perairan LCS.
  • Perlu di lakukan Diplomasi Bendera berupa kehadiran Kapal-kapal perang (Gun Boat Diplomacy), kapal pemerintah, dan kapal ikan Indonesia serta penempatan Rig pengeboran minyak dan gas bumi di wilayah yang disengketakan sebagai bagian state practice dan positif occupation terhadap wilayah ZEEI.
  • Pemerintah perlu membuat aturan pelibatan RoE (Rules of Engagement) di masa damai untuk wilayah LCS yang akan digunakan bagi unsur-unsur patroli keamanan laut.
  • Mengingat masalah ini berkaitan dengan kepentingan vital nasional, maka masalah ini haruslah diselesaikan secara menyeluruh dan integral, melibatkan seluruh komponen bangsa baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh rakyat Indonesia termasuk TNI.

Kesimpulan

Klaim ZEEI bersifat unilateral sehingga kurang dipahami dan tidak diakui oleh publik Internasional. Karena sifatnya unilateral dan belum dicatat atau dibukukan/dilegalkan secara resmi, maka dapat dikatakan belum berlaku sebagai hukum positif nasional maupun internasional. Hal ini membuat ragu aparat kamla dalam melakukan tindakan law enforcement di wilayah ini.

Penggunaan upaya paksa berupa penembakan terhadap kapal-kapal asing yang menangkap ikan di wilayah tersebut juga perlu dipertimbangkan kembali.

 

 

*Penulis adalah Staf Ahli Menko Polhukam Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com