Published On: Wed, May 31st, 2017

Upaya Atasi Perompak di Perairan Perbatasan Indonesia-Filipina (Bagian III)

Laksda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, SH MH.

Oleh: Laksda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, SH MH*

Lanjutan…dari Bagian I & II

MN – Seperti yang sudah diurai di bagian-bagian sebelumnya, banyak upaya yang dapat dilakukan oleh Filipina dan Indonesia dalam mengatasi perompakan. Upaya tersebut dapat meliputi beberapa aspek dan bagian sebagai berikut:

Menambah Jumlah Alokasi Alutsista yang Dilibatkan

1) Aspek Kuantitas

Alokasi unsur KRI yang dilibatkan dalam Patkor Philindo sangat minim yaitu hanya 1 KRI kelas Fast Patrol Boat (FPB) atau KRI Kelas Parchim. Demikian juga kapal perang Angkatan Laut Filipina  hanya melibatkan 1 kapal perangnya, padahal panjang perairan perbatasan Indonesia–Filipina mulai dari perbatasan sebelah Barat sekitar Pulau Tawi-tawi–P.Sulu sampai dengan sebelah Timur yaitu perairan perbatasan Pulau Miangas–Davao adalah sekitar 600 Nm. Dihadapkan dengan luas wilayah perbatasan Indonesia–Filipina  tersebut maka jumlah KRI yang digelar dalam Patkor adalah sbb:

Jumlah kapal yang dibutuhkan (JK) = Luas area : Kemampuan  kapal

Mencari kemampuan kapal patroli (AP) diasumsikan:

  1. Kemampuan deteksi radar (R) :  24 NM
  2. Kecepatan kapal patroli (VS)        :  16 Knot
  3. Kecepatan kapal sasaran (VW) :  10 Knot
  4. Panjang wilayah :  LP = 600 Nm
  5. Lebar wilayah : WP
  6. Kemampuan patroli :  AP

 

Kemampuan  kapal  patroli :

AP  =  Panjang wilayah x Lebar wilayah

LP  =  (VS/VM x R) + 2R

=  (16/10 x 24) + (2 x 24)

= 86,4 NM

 

Kemampuan patroli (AP) = Panjang wilayah x Lebar wilayah

AP = 86,4 NM x 48 NM

= 4.147,2 NM persegi

 

Jumlah kapal yang dibutuhkan (JK)

JK       =  Luas area : Puan kapal patroli

 

                        =   28.800 : 4.147,2

                        =   6,94  = 7 KRI

 

Unsur KRI yang dibutuhkan untuk melaksanakan patroli pengamanan perbatasan Indonesia–Filipina yang panjangnya sekitar 600 Nm adalah 7 KRI. Di dalam Patkor Philindo belum melibatkan pesawat udara untuk melaksanakan patroli maritim. Hal ini karena keterbatasan Pesud Patmar dari Angkatan Laut Filipina .

2) Aspek Kualitas

Secara umum, bila dibandingkan dengan kekuatan Filipina, maka kualitas KRI yang dilibatkan pada Patkor Pihilndo ini jauh lebih baik dari kapal perang Filipina. Sebagai contoh kondisi teknis kapal perang Filipina yang dilibatkan dalam Patkor Philindo 2015 yaitu BRP Cebu (PS-28), kondisinya sudah tua sehingga hanya mampu bermanuvra dengan kacepatan maksimal 10 knot pada kondisi laut tenang.

Hal tersebut sangat mempengaruhi KRI SRA-802 saat melaksanakan Patkor maupun konvoi untuk waktu lama karena spesifikasi mesin pendorong KRI SRA-802 tidak bisa kecepatan rendah dalam waktu lama.

Personel sebagai Pengawak Alutsista

Penentuan jumlah unsur yang dilibatkan dalam pengamanan perbatasan laut Indonesia–Filipina tidak ditentukan dengan jumlah personel, akan tetapi ditentukan berdasarkan jumlah unsur/KRI yang dibutuhkan dihadapkan dengan luas wilayah perairan perbatasan tersebut.

Pangkalan sebagai Unsur Pendukung

Pangkalan yang terdekat dengan wilayah perbatasan Indonesia–Filipina adalah Lanal Tahuna, Lanal Melonguane dan Lantamal Manado. Kebutuhan logistik cair khususnya HSD (solar) tidak dapat didukung di pangkalan Tahuna dan Melonguane karena 2 (dua) pangkalan tersebut sangat terbatas ketersediaan bahan bakar untuk mendukung KRI, sehingga bekal ulang bahan bakar dapat dilaksanakan di Bitung Sulawesi Utara. Tantangan kedepan, pembangunan sarana dan prasarana perbekalan untuk mendukung bekal ulang bahan bakar menjadi suatu prioritas tidak hanya bagi kepentingan TNI/TNI AL tetapi juga bagi kepentingan masyarakat setempat.

Area Operasi

Panjang garis batas perairan Indonesia–Filipina  adalah sekitar 600 Nm mulai dari sebelah Barat sekitar Pulau Tawi-tawi–P.Sulu sampai dengan sebelah Timur yaitu perairan perbatasan Pulau Miangas–Davao. Namun area operasi yang dilaksanakan dalam Patkor Philindo adalah hanya 1/5 (seperlima) saja atau sekitar 120 Nm. Hal ini sangat mempengaruhi sasaran yang dicapai dalam melaksanakan Patkor Philindo, belum mencakup pengamanan perbatasan di sekitar perairan yang sangat rawan perompakan  yaitu sekitar perairan Tawi-tawi–P.Sulu dan P. Basilan.

Standard Operating Procedure (SOP)

Belum adanya Standart Operating Prosedures (SOP) Patkor Philindo sehingga tidak ada panduan atau referensi yang pasti yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan Patkor. Selain itu bila belum memiliki SOP maka unsur Militer khususnya Angkatan Laut kedua negara yang digelar dalam pengamanan perairan perbatasan Indonesia–Filipina. Maka akan menimbulkan salah pengertian dalam hal-hal tertentu, seperti konsep komunikasi, aturan pelibatan (Rules of Engagement), pengejaran lintas batas (Cross border pursuit).

**

Kerjasama Patroli Terkoordinasi antara Indonesia–Filipina  (Philindo) yang dilaksanakan setiap tahun oleh TNI AL dengan Republic Philipine Navy (RPN)  mampu menjaga hubungan baik antara kedua negara. Perairan perbatasan Indonesia–Filipina –Malaysia khususnya di sekitar perairan Kepulauan Sulu masih rawan terhadap ancaman perompakan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayaf karena masih ada faktor keterbatasan yaitu;

  1. Alokasi kekuatan yang dilibatkan dalam pengamanan perbatasan Indonesia–Filipina bukan berdasarkan  seberapa besar jumlah personelnya, namun berdasarkan alokasi kapal perang (KRI) yang dihadapkan dengan panjang perairan perbatasan Indonesia–Filipina.
  2. Area Operasi yang dilaksanakan dalam Patkor Philindo saat ini sekitar 120 Nm (hanya 1/5 dari sekitar 600 Nm panjang perairan perbatasan kedua negara) belum meng-cover seluruh perairan perbatasan Indonesia–Filipina.
  3. Standard Operating Procedure–SOP sangat dibutuhkan bagi unsur pelaksana di lapangan, karena sebagai panduan dalam melaksanakan Patkor di perairan perbatasan Indonesia–Filipina.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi perompakan yang dilakukan oleh Kelompok Abu Sayyaf di Kepulauan Sulu tidak bisa hanya diatasi secara bilateral antara Indonesia  dan Filipina  saja, akan tetapi harus dilaksanakan secara bersama secara Trilateral karena lokasi basis perompak yaitu Abu Sayyaf Group berada di sekitar perbatasan Filipina–Malaysia–Indonesia.

Patroli bersama Indonesia-Filipina

Guna menjaga stabilitas kawasan maka perlu menghadirkan kekuatan Angkatan Laut tiga negara yaitu TNI AL–Tentera Laut Diraja Malaysia dan Republik Philipine Navy untuk melaksankan Patkor Malphindo yang didukung kekuatan Angkatan Udara dalam mengatasi perompakan di perairan Sulu yang merupakan basis kelompok Abu Sayyaf  dan  berada di sekitar perairan perbatasan tiga negara tersebut.

Untuk memperlancar pelaksanaan Patkor Bilateral Philindo maupun Patkor Trilateral Malphindo maka perlu menetapkan Standard Operating Procedure–SOP sebagai pedoman/panduan bagi unsur di lapangan dalam melaksanakan kerjasama bilateral yang sudah ada yaitu Patkor Philindo guna mengatasi kejahatan perompakan di perairan perbatasan kedua negara.

Perlu adanya penambahan kekuatan KRI yang dilibatkan dalam Patkor Philindo maupun Malphindo (Jika telah terbentuk) yang disesuaikan dengan luas area operasinya. Di mana perbatasan Indonesia–Filipina yang panjangnya sekitar 600 Nm membutuhkan jumlah kapal perang yang ideal adalah sebanyak 7 Kapal Perang serta durasi waktunya dalam Patkor tersebut adalah sepanjang tahun dengan tujuan untuk meminimalisir pelanggaran di laut.

 

 

*Penulis adalah lulusan AAL tahun 1982, pernah menjabat sebagai Wadanseskoal dan Kadispotmar Mabesal, kini Dosen Universitas Pertahanan 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com