Penasehat DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA) Lukman Ladjoni
Penasehat DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA) Lukman Ladjoni

Maritimnews, Jakarta – Menteri Perhubungan seharusnya mencermati setiap dampak dari peraturan yang dibuat, salah satunya keberadaan PM No.11 tahun 2016 tentang Keagenan Kapal asing yang menimbulkan kontroversi di tingkat pelaku usaha pelayaran. Demikian ungkap Penasehat DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA) Lukman Ladjoni kepada maritimnews.com beberapa waktu lalu.

“Kementerian itu hebat bukan diukur dari banyaknya peraturan yang dibuat, tapi bagaimana melaksanakan dan memahami undang-undang secara benar,” kata Ladjoni.

Menurutnya, sejauh ini kebijakan yang banyak digulirkan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan kurang memperhatikan aspek priority, sehingga banyak persoalan yang seharusnya menjadi prioritas justru nyaris tidak tersentuh. Bahkan tidak jarang produk kebijakan dan program pilihan kementerian yang dikomandani oleh Menhub Ignasius Jonan itu justru dirasa menjadi ‘penghambat’ sektor pelayaran.

Lebih lanjut, Ladjoni mengutarakan penguatan visi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, khususnya sektor pelayaran banyak diterjemahkan sendiri oleh regulator tanpa membangun komunikasi bersama pelaku usaha pelayaran.

“Segudang problematika yang kami hadapi di lapangan nyaris tidak terwujud dalam kebijakan maupun program Kemenhub, karenanya kami tim penasehat DPP INSA melakukan kajian dan diskusi agar bisa keluar dari kondisi ambivalen ini. Tidak ada motif lain, kecuali memperbaiki kondisi menjadi lebih baik,” papar pria asal Parepare tersebut.

Seperti diketahui bersama, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Keagenan Kapal dan telah diterbitkan pada 28 Januari 2016 oleh Kementerian Hukum dan HAM. Padahal peraturan sebelumnya diterbitkan PM Nomor 45 tahun 2015, di mana masih belum tuntas validasinya.

“Rampungkanlah dulu validasi. Baru sekitar 500 kapal yang divalidasi terkait SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut-red),” terangnya.

Terbitnya PM Nomor 11 tahun 2016 menjadi kontroversi sebab memberi ruang sebesar-besarnya kepada perusahaan keagenan untuk lebih menguasai usaha keagenan kapal yang notabene selama ini kuncinya berada di perusahaan pelayaran pemegang Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL). Peraturan tersebut kian memperlemah posisi perusahaan pelayaran karena hampir 70% penghasilan perusahaan pelayaran berasal dari keagenan kapal.

“Saya yakin PM nomor 11 tahun 2016 akan banyak dimanfaatkan Negara asing, mereka memakai perusahaan pemegang Surat Izin Usaha Keagenan Kapal sebagai boneka saja. Kami tidak anti asing, seharusnya Menhub Ignasius Jonan mengacu kepada Nawacita poin satu dan Mukadimah UUD 1945, baru mengeluarkan peraturan,” tegasnya.

Di akhir penyampaiannya, Ladjoni menekankan agar pembuatan peraturan itu harus mengacu untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan sebaliknya malah menyulitkan orang kita sendiri.

“Roh undang-undang jelas untuk kepentingan bangsa dalam hal ini perusahaan nasional, bukan berdasarkan kepentingan asing,” pungkasnya. (Bayu/MN)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *