
MNOL, Jakarta – DKI Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kelapa dibawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran merupakan pelabuhan utama yang ramai disinggahi dan diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Dari Portugis, Belanda hingga Demak dan Mataram pun mengincar daerah ini.
Sunda Kelapa yang akhirnya direbut oleh Fatahillah dalam pertempuran dengan Portugis akhirnya berubah nama menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Kemudian berubah lagi menjadi Batavia pada 1618 setelah J.P Coen dari VOC menaklukan Inggris di Muara Sungai Ciliwung. Akhirnya Batavia menjadi pusat pemerintahan VOC di Nusantara karena letaknya yang strtaegis di antara Selat Sunda dan Selat Malaka (kini ALKI I), yang menghubungkan dengan Laut Jawa hingga wilayah timur Nusantara.
Posisi strategis itulah yang membuat Jakarta menyandang sebagai Kota Maritim sejak dulu dan jauh sebelum Singapura. Sehingga tidak salah jika di lambang DKI Jakarta terpampang gambar jangkar dan ombak yang menandakan maritim sebagai karakteristiknya.
Kini, menjelang perhelatan Pilgub 2017, Jakarta memerlukan sosok pemimpin yang tegas dan bervisi maritim. Kesuksesan Jakarta pernah terjadi saat dipimpin oleh Ali Sadikin yang merupakan Perwira Tinggi Korps Marinir TNI AL (dulu KKO), kemudian dilanjutkan oleh Tjokropranolo yang merupakan mantan ajudan Jenderal Soedirman sewaktu Perang Gerilya tahun 1948-1949, hingga Soerjadi Soedirja dan Sutiyoso (kini Kepala BIN).
Itulah deretan nama-nama militer yang pernah memimpin Jakarta dari masa ke masa dan dengan karakteristiknya masing-masing. Menanggapi hal itu, Sekretaris Tim Laskar Muda Sjafrie Sjamsoedin, Syurya M Nur kepada maritimnews mengungkapkan bahwa sosok Sjafrie merupakan figur yang tepat ketika melihat kriteria pemimpin Jakarta dari sudut pandang sejarah.
Menurutnya, Jakarta sebagai kota maritim yang strategis perlu dipimpin oleh pemimpin yang mengerti strategi baik kemiliteran maupun secara geopolitik. “Sebagai seorang militer, Sjafrie pernah menjabat berbagai jabatan strategis dari Kasdam Jaya, Pangdam Jaya dan Kapuspen TNI. Sikapnya yang tegas dan merakyat juga menjadi nilai lebihnya dan cocok untuk memimpin DKI Jakarta ke depan,” ujar Syurya.
Kendati berasal dari Matra Darat, namun wawasan maritim dan geopolitiknya tidak diragukan lagi. Terlihat saat menduduki sebagai Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie kerap menjadi perwakilan Indonesia saat simposium bertaraf internasional seperti Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) pada 2014 lalu.
“Di situ dia sering menyampaikan peran strategis Indonesia dalam keamanan kawasan dan internasional. Hal itu bukti bahwa Sjafrie mengerti betul soal kedudukan strategis Indonesia yang disimbolkan oleh Jakarta,” terangnya.
Masih kata Syurya, hingga menjadi Wamenhan pun Sjafrie kerap dekat dengan kalangan mahasiswa dan berbagai lapisan, apalagi dengan para awak media. Karakternya yang dibawa sejak menjabat sebagai Pangdam Jaya dalam situasi Reformasi 1998 saat itu dan tentunya sebagai Kapuspen TNI.
“Sosok Sjarie yang familiar dan rendah diri tentu akan dicintai oleh penduduk Jakarta yang heterogen. Kesantunan itu yang saya rasa tidak dimiliki oleh kandidat lainnya,” ungkapnya.
Dalam era keterbukaan seperti sekarang, Sjafrie yang sudah dikenal dekat dengan awak media tentu menjadi jawaban untuk membangun budaya maritim bangsa Indonesia pada umumnya, dan warga Jakarta pada khususnya. Budaya maritim memiliki ciri inklusif di tengah keragaman suku, budaya, ras dan agama dan tetap menjunjung tinggi kedisiplinan serta ketegasan dalam kehidupannya.
“Kalau karakter itu sudah dipegang maka akan menjunjung tinggi reward dan punishment yang objektif dalam porsi the right man in the right place. Bukan sebaliknya budaya yang subjektif, nepotisme dan mementingkan golongan tertentu,” pungkasnya. (Tan)






