TPK Koja Pelabuhan Tanjung Priok

Jakarta (Maritimnews) – Setelah sekian lama masalah tuntutan Jasa Produksi (Jaspro) Pekerja KSO TPK Koja tak jua kunjung terselesaikan, Manajemen malah membabi buta menambah permasalahan baru. Bukannya bersepakat stop polemik Jaspro tersebut dan islah, realitanya semakin hari semakin gaduh dengan memaksakan “strategi demi strategi” berupa keputusan sepihak terhadap para Pekerja.

Ketua Majelis Perwakilan Pekerja (MPP) TPK Koja, Ujang Darmen mengatakan, strategi gaduh Manajemen diantaranya, instruksi aturan lembur nonstop (kerja pada jam istirahat) yang kesannya saat pelaksanaan di lapangan terasa ada semacam intervensi atau ancaman.

Selain itu terdapat ketidakjelasan proses jenjang karir/promosi yang mana dalam hal kegiatan seleksinya sangat bertentangan dengan isi PKB (Perjanjian Kerja Bersama) KSO TPK Koja pasal 89 ayat 1, 2a, 2b, 2c dan 2d.

Dan tidak kalah parahnya yakni, kebijakan sepihak melalui surat nomor 321/KSO-TPKK/GM/VII/2023 tanggal 07 Juli 2023 yang ditandatangani GM TPK Koja, soal layanan kesehatan yang terindikasi kuat mengalami penurunan drastis. Padahal di lain kesempatan Perusahaan pernah menyebutkan berhasil meningkatkan pendapatan/laba sebesar 23,19 %.

“Jaspro pekerja tidak sesuai dengan pendapatan perusahaan. Ini merupakan paradoks,” tegas Ujang Darmen kepada Maritimnews di Jakarta, Sabtu (22/7).

Ujang Darmen menambahkan, bahwa upaya pekerja bersama SP TPK Koja tak pernah surut memperjuangkan keberlanjutan usaha dan hak-hak pekerja, khususnya pada pelaksanaan PKB dan distribusi kesejahteraan yang adil dan transparan. Sayangnya semakin lama, justru diacuhkan para oknum di Manajemen yang tidak profesional dan merusak nama baik KSO TPK Koja dan pemilik modal TPK Koja.

Pelemahan sistematis makin terindikasi kuat, termasuk patut diduganya adanya union busting, agar perjuangan pekerja dan SP TPK Koja melemah. Adanya surat ajaib, nomor 321/KSO-TPKK/GM/VII/2023 terkait pelayanan kesehatan yang menurun drastis dibanding sebelumnya. Di satu sisi pekerja berkontribusi peningkatan laba/profit dituntut produktif, namun di sisi lain hak asasi berupa jaminan kesehatan yang diatur PKB malah terindikasi dikurangi dan dipersulit melalui mekanisme reumbustmen.

Menurutnya, yang tidak kalah menarik dalam hal penurunan fasilitas kesehatan dan penurunan nilai Jaspro para pekerja, apakah hal yang sama dapat dialami pula oleh para Manajemen? Apakah fasilitas kesehatan mereka serta Tantiem mereka turun? Marilah bersama hal itu dapat dipertanyakan bahkan direnungkan bersama.

Ujang pun mengingatkan, bahwa fasilitas layanan kesehatan adalah hak asasi para pekerja beserta keluarga yang harusnya ditingkatkan terlebih kondisi perusahaan sedang sangat baik. Bukan sebaliknya, sangat memprihatinkan yang seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak, termasuk Manajemen serta Pemilik Perusahaan.

“Sejatinya mereka (manajemen dan pemilik) wajib memperhatikan PKB melalui dialog sosial kepada SP TPK Koja. Kemudian peran Kementerian Ketenagakerjaan dan Suku Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi Kota Administrasi Jakarta Utara, kami masih mempertanyakan kehadirannya. Dimana fungsi pengawasan ketenagakerjaan dirasa masih abai atas pelanggaran norma dan syarat kerja,” pungkasnya.

(Bayu Jagadsea/MN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *