
Maritimnews, Gorontalo – Dalam pembekalan kepada pasukan Pengaman Perbatasan (Pamtas) RI- Malaysia, di Kalimantan Utara, (17/3/16), Pabandya-3/Gunkuat Spaban IV/Ops Sops Letkol Laut (P) Salim yang mendampingi Waasops Panglima TNI, Laksma TNI Harjo Susmoro menyatakan jika aku mati saat ini, maka 1000 musuhku harus mati di tanganku saat ini.
Pesan itu disampaikan guna meningkatkan spirit prajurit Pamtas RI-Malaysia agar doktrin mempertahankan NKRI jauh lebih penting dari pada jiwa dan raganya. Hal itu mengingat tingginya ancaman di daerah perbatasan baik oleh State Actor maupun Non State Actor rentan terjadi di wilayah itu.
“Sebagai prajurit yang siap mengorbankan seluruh jiwa raganya, kalian harus punya prinsip terhadap setiap musuhmu kill or to be kill. Oleh karenanya saya tekankan kepada kalian mana kala menghadapi situasi yang sangat kritis itu wajib dilakukan,” ungkap Salim di hadapan para prajurit Pamtas RI-Malaysia di Gorontalo.
Hal itu dilakukan apabila sudah tidak ada lagi cara untuk menyelamatkan diri, maka sebagai prajurit harus mati terhormat dengan prinsip “Jika aku harus mati saat ini, maka seribu musuhku harus mati ditangan ku saat ini juga”.
Hal itu pernah dilakukan oleh Prajurit Kopassus TNI AD, Pratu Suparlan saat melakukan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa Fretelin di Timor-Timur, pada 9 Januari 1983. Saat Tim Gabungan dari Sandi Yudha dan Kostrad terkepung oleh Pasukan Fretelin di tepi jurang Kompleks Liasidi, Timor-Timur, dengan gagah berani Pratu Suparlan menghadang gempuran itu seorang diri agar timnya berhasil lolos.
Alhasil, dengan bercucuran darah, Suparlan berhasil menyelamatkan timnya yang kemudian melakukan serangan balik ke Fretelin. Saat peluru habis, dengan pisau komandonya Suparlan menghadang belasan Fretelin itu.
Enam orang berhasil ditewaskan dalam pertarungan maut. Tak terhitung peluru Fretelin yang menembus tubuhnya. Hingga Suparlan jatuh terduduk nyaris kehabisan darah.
Pasukan Fretelin mencoba mendekati Suparlan yang tak mampu bergerak lagi. Mereka bersiap memberikan eksekusi terakhir kepada anggota Korps Baret Merah itu. Setelah puluhan musuh makin mendekat, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki, Suparlan mencabut pin dua buah granat di kantong celananya. Dia melompat ke arah kerumunan Fretelin dengan granat sambil berteriak keras, “Allahuakbar!!!”.
Kisah di atas merupakan sekelumit cerita para prajurit TNI yang memegang prinsip Jika aku harus mati saat ini, maka seribu musuhku harus mati ditangan ku saat ini juga”. Mungkin cerita seperti ini banyak terjadi ketika masa perang kemerdekaan, namun hanya saja tidak pernah di-expose.
Menurut penjelasan Letkkol Laut (P) Salim kepada para prajurit Pamtas RI-Malaysia, meningkatnya ketegangan antara RI-Malaysia telah terjadi sejak masa Dwikora tahun 1960-an yang kemudian dilanjutkan dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, hingga permasalahan Blok Ambalat dan terakhir masalah pergeseran patok di Tanjung Datuk, Kalimantan Barat.
“Apa pun yang terjadi, kepentingan bangsa dan negara adalah segalanya. Jagalah setiap jengkal tanah air kita yang merupakan amanat dan titipan dari para pendahulu kita,” beber Pamen TNI AL yang aktif menulis buku tersebut.
Sambung lulusan AAL tahun 1995 itu, jangan sekali-kali terlibat atau pun melibatkan diri dalam kegiatan illegal loging maupun kegiatan illegal lainnya termasuk ikut terlibat sebagai backing. Karena hal tersebut tak ubahnya seperti seorang pengkhianat yang hanya mengharapkan uang dengan rela mengorbankan kepentingan bangsa dan negaranya.
Pengalamannnya sebagai Komandan KRI, dirinya dan pasukannya pernah bersinggungan langsung dengan Tentara Laut Diraja Malaysia saat terjadi kasus sengketa Blok Ambalat. Pria kelahiran Surabaya 44 tahun silam itu mengaku meskipun Alutsista kita kalah jauh dari Malaysia namun semangat tidak pernah kalah.
Kenang Pengajar Seskoal itu, dia dan pasukannya sudah siap berkorban demi bangsa dan negara bila ada instruksi perang saat itu dari para pimpinan. Dengan prinsip yang diembannya itu, alhasil telah menjadikan TNI ditakuti oleh lawan-lawannya.
“Modal utama kita bukan ada di peralatan tetapi ada di keimanan dan ketaqwaan kita pada Tuhan YME dan sejauh mana kesetiaanmu terhadap tanah tumpah darahmu. Turut menjaga kedaulatan dan jatidiri bangsa di wilayah perbatasan bukanlah suatu tugas melainkan kehormatan sehingga kita harus bangga melaksanakannya,”pungkasnya. (TAN)






