Kapal Perang Indonesia di Masa Lalu

Kapal Perang Indonesia di Masa LaluMaritimnews – Jakarta, Indonesia di satu masa pernah menjadi salah satu negara yang meimiliki kekuatan militer yang cukup disegani di dunia. Bahkan , konon di masa tersebut Indonesia adalah negara terkuat di belahan bumi bagian selatan khususnya Asia. Masa tersebut ada pada periode 1959 hingga 1965, di mana terdapat dua konfrontasi besar yang sedang dijalani oleh Indonesia, yaitu konfrontasi perebutan Irian Barat dengan Belanda serta konfrontasi penolakan pementukan Federasi Malaysia.

Berbicara tentang perkembangan kekuatan alutsista laut Indonesia, tentu harus dirunut dari awal masa kemerdekaan. Dimulai pada periode awal kemerdekaan yang diwarnai dengan perang mempertahankan kemerdekaan, yatu pada rentang tahun 1945 hingga 1950. Pada masa ini alutsista yang dimiliki oleh Angkatan Laut Indonesia sangatlah terbatas kalau tidak bisa dibilang memprihatinkan. Banyak alutsista yang pada dasarnya bukan merupakan armada tempur dan hanya merupakan armada biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa demi mempertahankan kemerdekaan.

Tetapi dengan semangat yang tinggi dan keingian untuk merdeka terus bergelora ditambah kesiapan mengorbankan jiwa dan raga, serta rahmat dari yang Maha Kuasa, kesulitan tersebut mampu dilalui dan bahkan di beberapa pertempuran secara tidak terduga mampu memutarbalikan keadaaan.

Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Indonesia memperoleh beberapa unit armada tempur sebagai hibah dari kerajaan Belanda. Mulailah Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah perkembangan alutisistanya. Dari yang semula dengan memiliki armada tempur yang terkesan seadanya dan bahkan bisa dibilang “akal – akalan” menjadi lebih modern.

Beberapa tahun setalah KMB di mana kondisi hubungan Indonesia dan Belanda yang terus memanas terkait masalah Irian Barat yang tidak kunjung selesai serta memanasnya hubugan antara Indonesia dan Inggris terkait rencana pembentukan Federasi Malaysia, penambahan alutsista mutlak diperlukan.

Sejak dari KMB hingga kurun waktu awal tahun 1950-an, pengadaan alutsista RI difokuskan pada pembelian alutsista produksi negara – negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, selain tentunya hibah dari Kerajaan Belanda. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah saat itu yang menitikbertakan pengiriman tenaga – tenaga yang nantinya akan menjadi awak alutsista tersebut untuk menuntut ilmu ke Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa Barat.

Akan tetapi memasuki pertengahan 1950-an, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara – negara Eropa Barat tersebut memburuk. Hal ini merupakan implikasi langsung dari perseteruan antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda untuk masalah Irian Barat, di mana Indonesia merasa kesulitan untuk mendapatkan alutsista dari negara – negara tersebut.

Berbagai upaya diplomatik telah ditempuh untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, namun tak satu pun yang membuahkan hasil. Belanda terkesan mengulur waktu dan pada dasarnya memang tidak berniat mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai dengan kesepakatan KMB. Hingga pada akhirnya, Indonesia memilih jalan konfrontasi. Guna mengimbangi kekuatan militer Belanda di Irian Barat, Indonesia pada awalnya berusaha membeli alutsista dari negara – negara Eropa Barat dan amerika Serikat. Namun dikarenakan negara – negara tersebut terikat dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara / North Atlantic Treaty Organization(NATO), di mana Belanda merupakan salah satu anggotanya, Indonesia sulit untuk mendapatkan alutsista dari negara – negara tersebut. Hingga pada akhirnya Indonesia mengalihkan berbagai kebijakan luar negeri termasuk pembelian alutsista ke Uni Soviet dan negara – negara yang tergabung di dalam Pakta Warsawa. Hal ini menyebabkan pada kurun waktu akhir tahun 50-an hinggan pertengahan 60-an, sebagian besar kebutuhan pertahananan Indonesia dibeli dari Uni Soviet dan negara – negara yang tergabung di dalam Pakta Warsawa.

Pada kurun waktu 1959 hingga 1965, alutsista asal Uni Soviet dan negara – negara Pakta Warsawa tersebut secara bertahap tiba memperkuat armada tempur RI. Seperti 12 unit kapal selam dan 1 unit kapal penjelajah ringan. Kehadiran alutisista asal Uni Soviet tersebut secara langsung menjadikan Angkatan Laut Republik Indonesia telah memiliki kemampuan peperangan permukaan, bawah laut, darat, hingga udara. Pada bulan Desember 1959 dibentuklah Armada RI di tubuh ALRI dan mulailah babak baru dalam tubuh angkatan laut RI yang tumbuh sebagai angkatan laut terbesar di Asia Tenggara.

Alutsista modern yang dimiliki ALRI pada kurun waktu 1959-1965 sangat berperan dalam pelaksanaan operasi selama kampanye pembebasan Irian Barat Trikora (Tri Komando Rakyat) yang secara langsung berhasil memaksa Beanda ke meja perundingan hingga pada akhirnya bersedia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI. Mulai dari tahap unjuk kekuatan (show of force), infiltrasi hingga persiapan kampanye militer terbesar setelah perang dunia ke dua, Operasi Djajawidjaja.

Setelah permasalahan Irian Barat dengan Belanda selesai, kekuatan ALRI kembali dikerahkan saat operasi Dwikora untuk melawan Inggris sebagai reaksi atas pembentukan Federasi Malaysia. Saat itu armada tempur ALRI dikerahkan ke perbatasan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *