Oleh: Ziyad Falahi*

MN – Pada November 2016 ini, NKRI sedang dilanda tiga guncangan! Yang terbaru ialah bencana alam berupa gempa bumi di selatan Pulau Jawa yang terjadi dalam dua hari terakhir. Sebelumnya, gempa politik terjadi seiring dengan suasana tegang yang belum selesai menyoroti kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tak ketinggalan di sektor ekonomi, gempa menggoyang lantai bursa IHSG dalam pekan ini yang masih dilanda kecemasan pasca kemenangan Donald Trump.
Dari latar belakang tersebut, setidaknya terdapat tiga variabel yang memiliki korelasi, yakni ekonomi, politik dan bencana alam. Secara historis, runtuhnya beberapa peradaban dan kerajaan acapkali disebabkan guncangan dari ketiganya. Mesir dan Yunani merupakan contoh berakhirnya sebuah kedaulatan akibat gagal mengantisipasi pertanda zaman tersebut.
Oleh karenanya, sebuah langkah preventif perlu ditinjau secara interdisipliner. Sayang sekali, Presiden Jokowi melakukan simplifikasi bahwa ancaman keutuhan NKRI semata mata politik. Kunjungan ke intansi militer telah dilakukan berulang kali, tetapi di sisi lain tidak berkoordinasi dengan instansi keuangan dan penanggulangan bencana dapat dinilai sebagai mismanajemen yang berakibat fatal bagi NKRI.
Merujuk pada perintah presiden, maka secara langsung TNI memiliki keleluasaan untuk mengantisipasi segala potensi ancaman bagi NKRI termasuk masalah non traditional security. Salah satunya TNI dapat menggelar koordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga negara non kementerian yang memiliki tupoksi terkait ketahanan ekonomi, stabilitas politik dan disaster management. Dengan kata lain, sudah saatnya TNI melakukan ekstensifikasi kewenangan, tidak lagi sebatas merespons radikalisme agama.
Terdapat dua lembaga yang dapat dipertimbangkan sebagai mitra strategis TNI, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Khusus untuk BNPB, terdapat catatan terutama manajemen siklus anggaran yang sering menuai kritik dari DPR akibat digunakan mayoritas hanya pada akhir tahun. TNI dapat mendorong BNPB lebih memperhatikan aspek arms race, khususnya variasi teknologi yang mampu menstimulus bencana seperti tsunami, gempa bumi dan anomali cuaca. Sedangkan untuk KSSK, TNI perlu melakukan kajian dengan Menteri Keuangan selaku ketua komisioner.
Teringat buku Charles Kindleberger berjudul Mania, Panic and Crash, bahwa hampir semua negara yang mengalami krisis finansial didahului oleh fase mania, di saat segenap elit terbuai seolah segalanya baik baik saja. Namun di kala fase panic terjadi, bisa disebabkan politik atau bencana alam, maka crash akan mendorong suasana sebagaimana tahun 1998.
*Penulis adalah Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Redaktur Maritimnews






