Published On: Mon, Jul 18th, 2022

Terminal Handling Cost vs Container Handling Charge 

Siswanto Rusdi

Oleh Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo (Persero) berencana menaikkan Container Handling Charge (CHC) di terminal-terminal peti kemas area pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Niat itu tengah dibahas oleh berbagai pihak yang menurut regulasi (PM Nomor 72/2017) harus dimintai persetujuannya sebelum tarif baru berlaku efektif. Sebut saja INSA, APBMI, ALFI, GINSI dan asosiasi lainnya.

Biasanya, karena melibatkan banyak pihak ketiga yang pada derajat tertentu memiliki kepentingan berbeda, persetujuan itu relatif lama diberikan. Aksi goreng-menggoreng jadi isu tak terhindarkan.

Mencermati berbagai laporan media, kebijakan menaikkan CHC dipilih karena sudah sekian lama pungutan tersebut tidak naik, sejak tahun 2008.

Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan oleh operator terminal peti kemas cenderung membengkak seiring dengan olah gerak perekonomian lokal dan internasional di mana gempuran terakhir berasal dari pandemi Covid-19.

Dalam kalimat lain, terminal peti kemas mengalami kondisi “besar pasar daripada tiang”. Pelindo menaikkan pos pemasukan ini, bisa jadi, karena itulah yang tersisa setelah pendapatan dari penumpukan atau storage dipangkas melalui kebijakan dwelling time.

Mantan petinggi salah satu operator pelabuhan pernah mengungkapkan, pendapatan terminal peti kemas 50% didapat dari aktivitas bongkar-muat dan 50% lainnya dari penumpukan.

Penumpukan di sini meliputi semua jenis kargo, termasuk peti kemas. Dengan adanya kebijakan nasional yang melarang penumpukan di container yard (CY) demi mengejar angka dwelling time yang kecil, pendapatan dari usaha penumpukan, dalam hal ini peti kemas, turun drastis, tinggal 20% saja. Jadi, utak-atik CHC jelas tak terhindarkan sebagai upaya bertahan hidup.

Dalam catatan saya, isu CHC muncul dalam bisnis terminal peti kemas nasional pada 2006. Saat itu, melalui Menteri Perhubungan (Hatta Rajasa) mengatur tarif CHC sebesar US$77 per peti kemas 20 kaki. Sementara tarif terminal handling cost atau THC sebesar US$95 per peti kemas 20 kaki. Adapun biaya dokumen atau document fee sebesar Rp 100.000 per bill of lading.

Sebelum Hatta meluncurkan kebijakannya itu, tarif masing-masing pos sebesar US$93/20 kaki, US$ 120/20 kaki dan US$ 10/bill of lading. Dua tahun setelahnya, komposisi tarif-tarif tersebut seperti ini: CHC US$83/20 kaki dan THC US$95/20 kaki. Biaya dokumen atau BL tetap.

Ada hal yang menarik dari angka-angka itu. Ternyata CHC yang dipungut oleh terminal peti kemas yang beroperasi di pelabuhan Tanjung Priok hari ini lebih rendah dari tarif yang berlaku pada 2006. Makanya ketika petinggi INSA menyatakan, seperti yang dikutip oleh media, bahwa pihaknya bisa memahami rencana kenaikan tarif CHC di pelabuhan tersibuk di Indonesia ada benarnya.

Juga yang sama-sama menarik adalah keberadaan THC (Terminal Handling Cost). Barang ini selalu mengintili CHC, dan nilainya selalu lebih besar dari yang pertama.

Sekadar info, CHC adalah biaya yang dikenakan oleh pengelola terminal peti kemas kepada pengguna jasanya, yaitu shipping line. Sejak kapal sandar, membongkar muatan hingga menumpuk peti kemas di lapangan penumpukan atau stacking/container yard. Dalam pelaksanaannya, ketika membayar CHC kepada manajemen terminal peti kemas, pihak pelayaran menagihkan THC kepada shipper atau pemilik barang.

Di luar itu, pelayaran pun mengenakan surcharge untuk setiap peti kemas, 20 kaki maupun 40 kaki. Boleh dikatakan THC adalah gabungan CHC dan surcharge.

Kendati mencantumkan kata terminal, THC sejatinya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan pengelola terminal petikemas. Pungutan ini dikutip oleh perusahaan pelayaran asing. Penggunaan istilah ini oleh pihak pelayaran asing sering mengakibatkan salah pengertian terhadap pengelola terminal. Shipper mengira ini kerjaannya manajemen terminal.

Mari sama-sama dicermati apakah persepsi ini akan mencuat atau dicuatkan dalam diskursus kenaikan CHC.

Salah satu alasan mengapa pihak pelayaran asing mengenakan THC kepada pemilik barang adalah sebagai biaya pengumpulan dan pengangkutan petikemas kosong dari dan ke pelabuhan muat (dikenal dengan istilah reposition of empty containers dan dalam bisnis pelayaran lazim dilafalkan repo).

Pelaksanaan pemungutan THC di Indonesia dijalankan oleh pelayaran nasional yang menjadi agen mereka di sini. Celakannya, pelayaran nasional itu tidak jarang menjalankan bisnisnya hanya sebagai pemungut THC ketimbang perusahaan pelayaran yang sebenarnya yang memiliki kapal.

THC juga dimaksudkan untuk menutupi biaya lain-lain yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran sebagai akibat, utamanya, kelalaian/kelambatan pemilik barang atau pengelola terminal. Dengan kata lain, THC merupakan biaya biaya tambahan yang pengenaannya tanpa ada pembicaraan dengan pemilik barang terlebih dahulu.

Dikenakannya THC oleh pelayaran asing sepertinya hanya akal-akalan semata. Akumulasi dari THC dapat amat sangat besar jumlahnya. Dari pengguna jasa mereka di Indonesia jumlahnya bisa trilyunan rupiah sejak tahun 2006.

Muncul pertanyaan, mengapa pelayaran asing tidak menaikkan saja tarif angkut untuk menutupi biaya-biaya mereka ketimbang mengenakan THC? Padahal seperti itulah seharusnya. Pelayaran mesti mendapatkan penghasilan dari freight, bukan dari lainnya. Alan Murphy, head of consultancy Sea Intelligence, pernah mengatakan bahwa sudah sepuluh tahun freight terakhir pelayaran peti kemas tidak naik.

Begitu pandemi, mulailah ongkos angkut naik. Menurut firma konsultasi Mckinsey, freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibanding awal 2019. Bersama kenaikan yang ada, pelayaran peti kemas membukukan keuntungan fantastis sepanjang eksistensi mereka.

Dilaporkan oleh berbagai media, pelayaran peti kemas membukukan pendapatan sekitar US$48,1 miliar hingga tri semester 2021 lalu.

Pencapaian sembilan kali lipat melebihi pendapatan yang diperoleh dalam periode sama pada tahun 2020 sebesar US$ 5,1 miliar. Perolehan spektakuler yang mengalahkan penghasilan FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google). Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sendiri sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer.

Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya. Diramalkan, bisnis pelayaran peti kemas akan tetap bersinar di tahun 2022.

Lantas, apa yang perlu kita di tengah wacana kenaikan CHC? Ada dua langkah yang bisa diupayakan. Langkah pertama, mendesak kalangan pelayaran asing untuk memasukkan THC ke dalam struktur biaya angkut mereka. Kedua, menerbitkan aturan nasional yang bisa mengekang perilaku eksploitatif pelayaran internasional.

Presiden Biden merupakan salah satu pihak yang telah mencoba “menertibkan” penerapan kebijakan tarif (terutama berbagai surcharge yang tidak reasonable oleh pelayaran internasional dengan mengesahkan Ocean Shipping Reform Act 2022. (**”)

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com