MaritimNews, Jakarta – Pertemuan yang digelar antara Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) dan Anggota DPRD Jawa Tengah (Jateng) Riyono M,SI di Wisma Jawa Tengah, Jakarta beberapa hari lalu fokus membahas pembangunan maritim khususnya kesejahteraan nelayan di Jateng.
APMI yang dihadiri Sekjennya, Ahlan Zulfakhri dengan tegas menyampaikan bahwa tahun 2015 pembangunan maritim Indonesia masih banyak menyisakan catatan kelam di antaranya masalah keselamatan pelayaran, pertumbuhan industri galangan, nasib nelayan serta masalah pelabuhan. Menurutnya di tahun 2016 ini, catatan-catatan kelam itu bisa diperbaiki.
“Jika permasalahan implementasi kebijakan maritim tidak berjalan secara sistematis, maka beberapa kejadian seperti kecelakaan kapal masih kerap terjadi,” ujar Ahlan dilihat dalam sudut pandang pelayaran dan teknologi perkapalan.
Tentunya hal itu menjadi catatan penting melihat berbagai kecelakaan kapal mulai dari kapal tenggelam, kebakaran, karam dan lain sebagainya menjadi evaluasi tersendiri sebagai bentuk seriusnya pemerintah dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ini menjadi salah satu penyebab raport merah bagi implementasinya.
“Hal tersebut perlu kita garis bawahi bahwa selama ini pemerintah melakukan pengeboman kapal, terhadap kapal-kapal kecil. dari data yang kami dapat merupakan kapal-kapal lelangan yang berada di daerah sesuai investigasi kami,” selorohnya.
“Mengapa kami sampaikan demikian silahkan dicek status kapal-kapal tersebut, meskipun secara teatrikal KKP menunjukan performance luar biasa di mata publik terhadap ketegasan pemberantasan ilegal fishing, namun belum sampai pada substansinya yakni kapal-kapal tramper yang beroperasi di tengah laut,” tegasnya.
Lebih lanjut, lulusan perkapalan Undip itu mengungkapkan logika sederhana dengan luas lautan Indonesia 2/3 dan potensi ikan yang melimpah ruah apakah mungkin 1000 kapal yang sudah dibom oleh KKP dapat menghabiskan potensi ikan di Indonesia. Selanjutnya, mengenai rencana pembangunan 3500 kapal pada 2016 yang perlu harus dikawal secara substantif.
Hal tersebut dikarenakan penunjukan PT PAL yang merupakan galangan kapal dengan track record andal di pembangunan kapal tanker, kapal baja dan kapal perang, bukan berarti menjadi acuan pembangunan kapal nelayan ukuran dibawah 5GT – 30GT.
“Ada missing link di sini, seharusnya Nasdec (National Ship Design and Engineering Center-red) dapat berperan di sini sebagai pusat desain perkapalan di Indonesia,” usulnya.
Urgensi Nasdec
Mengenai kiprah Nasdec ke depan, Ahlan menyoroti secara kritis. Di mana seharusnya Nasdec menjadi pusat desain kapal nasional termasuk dalam pembangunan kapal bagi nelayan. Sehingga Nasdec merupakan wadah bagi para ahli teknologi perkapalan dalam merancang dan mengembangkan kapal untuk kebutuhan rakyat Indonesia
“Mereka yang memiliki kapasitas silahkan memberikan opini dan wacana agar project pengadaan kapal nelayan ini dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Masih kata Ahlan, dengan perbaikan di tubuh Nasdec dalam melakukan orientasi pembangunan kapal bukan berdasarkan orientasi ekonomi dan penyerapan anggaran, melainkan berdasarkan keterbutuhan nelayan di seluruh Indonesia. “Tentunya dengan melibatkan ahli design kapal dari seluruh indonesia, bukan hanya dikungkung oleh satu instansi saja,” kritiknya secara tajam.
Selama ini Nasdec dianggap sebagai wadah yang hanya didominasi oleh satu instansi saja. Padahal menurutnya Indonesia memiliki banyak Fakultas Perkapalan yang tersebar di seantero negeri.
Essensinya hal itu dapat berdampak pada kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan pelayaran termasuk para nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut dengan mencari ikan. Sehinga pekerjaan sebagai nelayan minim risiko dan semakin digeluti oleh banyak orang.
Ahlan juga menyarankan agar pemerintah perlu menempatkan nelayan pada ujung tombak parameter kesejahteraan. Selama ini paradigma nelayan yang merupakan pekerjaan dengan segmentasi penghasilan menengah kebawah atau bahkan masyarakat miskin, harus mampu di upgrade. Pemerintah perlu membuat profesi nelayan sebagai sebuah profesi yang menjanjikan bagi masa depan.
“Dengan lahan pekerjaan 2/3 wilayah Indonesia, ini tidak masuk akal jika nelayan miskin. Parameter kita bukan nelayan sejahtera, melainkan pekerjaan yang menjanjikan. Untuk itu profil nelayan harus diubah, tentunya dengan paramter dan tahapan yang rigit dan sistematis,” terangnya.
Masalah terakhir yang diulas oleh pria yang telah malang melintang di berbagai organisasi kampus maupun nasional itu ialah permasalahan Dwelling Time (DT) yang dalam tahun 2015 menjadi prioritas utama presiden, bahkan sampai membentuk satgas.
“Masyarakat perlu tahu sudah sampaimana capaian tersebut. Waktu 6 bulan yang diberikan oleh Presiden kepada Kemenko Maritim dan Sumberdaya perlu dievaluasi secara substantif,” paparnya.
Bagaimana capaian tersebut serta persenan penurunan DT di Indonesia menurut Ahlan jangan hanya terjebak pada konflik politik yang terjadi akibat Dirut Pelindo dengan JICT.
”Ini menjadi ironi, di tengah gagasan besar maritim kita tidak lagi substansi melainkan konflik politik yang berkecamuk di dalamnya. Harus kita akui pemerintah belum dapat bergerak ketataran implementasi kebijakan poros maritim secara substantif,” pungkasnya.






