Catatan Redaksi

MN– Semangat Hari Pahlawan 2016 ini meninggalkan makna yang mendalam bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia. Pasalnya, dalam satu bulan terakhir bangsa yang terlahir pada 28 Oktober 1928 ini sedang mengalami goncangan hebat menghadapi kasus penistaan agama. Tentunya hal itu menjadi ujian besar terhadap kita semua terutama pada pemerintah yang kini sedang menjalankan visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Dengan visi luhur itu, seharusnya pemerintah memiliki kekuatan yang positif untuk menjunjung tinggi hukum di negeri ini, yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena sejatinya, maritim memancarkan getaran energi positif yang sarat dengan nilai-nilai keillahian.
Itulah bahan refleksi kita dalam memperingati Hari Pahlawan ini. Pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.
Secara etimologi kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “pahala dan wan”, yang bermakna orang yang menghasilkan suatu pahala atau kebaikan. Sehingga secara epistemologi, pahlawan merupakan orang yang berbuat baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan.
Pahlawan adalah seseorang yang berpahala yang perbuatannya berhasil bagi kepentingan orang banyak. Perbuatannya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain, karena dinilai mulia dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat bangsa atau umat manusia.
Atas dasar itulah pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memperingati suatu hari agar mengenang perjuangan para pahlawan terdahulu. Dengan Keppres No 252 tahun 1960, Presiden Sukarno saat itu menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Itu pun mendapat kesepakatan dari seluruh anak bangsa ini.
Meskipun terjadi di Surabaya, Pertempuran 10 November 1945 bukan hanya dilakukan oleh arek-arek suroboyo saja, melainkan putera-putera terbaik bangsa Indonesia dari Aceh, Jawa Barat, Kalimantan, Makassar, Bali, NTB, Maluku dan daerah-daerah lainnya ikut bertempur di kota pelabuhan Majapahit tersebut.
Dengan korban jiwa hingga ratusan ribu pejuang gugur dalam pertempuran yang memakan waktu hingga 30 November 1945 itu dan menyebabkan daerah-daerah lainnya juga berkecamuk, menjadikan 10 November sebagai hari keramat untuk merepresentasikan perjuangan para pahlawan dari pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.
Dengan mengenang dan memperingati perjuangan pahlawan, maka guratan energi cinta tanah air akan tersalurkan bagi kita yang hidup saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam tinjauan secara Islam, alasan itu dibenarkan oleh Al Qur’an Surat Ali Imron 169-170.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran: 169-170).
Syaikh al Sa’di rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya bahwa dalam ayat yang mulia ini terdapat keutamaan dan kemuliaan para syuhada’ serta karunia dan anugerah yang Allah berikan kepada mereka.
Dalam konteks ini, kita menyamakan makna syuhada dan pahlawan, yaitu orang-orang yang mendapat kemuliaan dari Tuhannya. Kemuliaan itu yang kemudian dapat menular di setiap lintas generasi melalui sebuah pembelajaran (hikmah) dalam bentuk pengenangan dan penghormatan.
Laut sebagai Sumber Energi
Bagi orang-orang Nusantara dulu, laut dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menghasilkan suatu energi yang besar. Ketika kita korelasikan dengan ayat tadi, di laut Nusantara pernah menjadi ajang pertempuran antara para syuhada dengan penjajah.
Sebelum kemerdekaan, mantan Danseskoal Laksda TNI Herry Setianegara mencatat dalam bukunya berjudul “Strategi Maritim: Dalam Perang Laut Nusantara dan Poros Maritim Dunia”, terdapat 5 perang laut besar yang pernah terjadi era kesultanan.
Antara lain perang Pati Unus di Selat Malaka, Pertempuran Fatahillah di Sunda Kelapa, Pertempuran Sultan Ageng Tirtayasa di Laut Banten, Pertempuran Hasanuddin di Perairan Gowa dan Pertempuran Pattimura di Saparua. Itu pun belum termasuk perang-perang laut lainnya di Nusantara dari Sabang hingga Merauke di kurun waktu yang sama yang tidak dicatat di buku itu.
Setelah kemerdekaan, juga terjadi perang laut antara para pahlawan dengan Belanda. Sebut saja Pasukan M di Selat Bali, Pertempuran Laut Aru, Pertempuran KRI Gajah Mada di Cirebon dan masih banyak lagi.
Dari situ, selain menghasilkan energi dalam bentuk migas, tambang, dan kekayaan alam lainnya, laut Indonesia seperti tanahnya juga menghasilkan energi perjuangan yang dapat membawa pengaruh luar biasa buat kejayaan bangsanya.
Selamat Hari Pahlawan 10 November 2016, Mari Bersama Mewujudkan Poros Maritim Dunia…
Jalesveva Jayamahe!!!






