Pengurus PB HMI (Foto: DokPribadi)

MNOL, Jakarta – Polemik PT. Freeport Indonesia (PTFI), tanpa disadari telah menyertai kegagalan pembaharuan agraria dan ketidakadilan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, seruan untuk segera hengkang dari bumi pertiwi seakan menjadi gerakan sosial yang muncul dari berbagai kalangan.

Organisasi Hijau Hitam, Himpunan Mahasisiwa Islam (HMI) melalui siaran persnya yang dikeluarkan oleh Ketua Bidang Agraria dan Kemaritiman Pengurus Besar (PB) HMI, Mahyudin Rumata, menegaskan bahwa PTFI telah menjadi problem historis yang harus dituntaskan oleh bangsa Indonesia.

“Apresiasi kepada Negara melalui Kementerian ESDM yang menekan PTFI untuk tidak meributkan regulasi terkait perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK. Karena kewajiban bagi siapapun yang berinvestasi dalam negeri untuk mematuhi hukum nasional Indonesia,” ujar Mahyudin dalam siaran persnya yang diterima redaksi di Jakarta, (22/2).

Lanjut pria asal Maluku tersebut, PTFI semestinya tahu diri bahwa kurang lebih 25 tahun beroperasi di Indonesia dengan kontribusi yang tidak signifikan untuk Indonesia seharusnya mengikuti apa yang menjadi keinginan Indonesia.

“Karena sejak menambang emas di Indonesia berdasarkan KK perpanjangan pada tahun 1991, Freeport hanya membayar royalti emas kepada indonesia sebesar 1 persen hingga kini, padahal jika mengacu pada PP No.45 Tahun 2003 Tentang PNBP, seharusnya sebesar 3,75,” tandasnya.
Bahkan sejak masuk ke tanah Papua berdasarkan KK generasi pertama tahun 1967, Freeport melaporkan pihaknya hanya menambang tembaga. Padahal pada tahun 1978, Freeport ketahuan selain mengekspor tembaga juga mengekspor emas.

Masih kata Mahyudin, jika menggunakan rumus probabilitas, membandingkan royalti emas 1 persen dengan royalti emas 3,75 persen sejak 2003 hingga 2010. Kerugian negara mencapai $256.179.405,00.

“Kerugian negara tersebut didapat dari total royalti emas 3,75 persen (2003-2010) dikurangi total royalti 1 persen (2003-2010). Sehingga pada akhirnya sumberdaya agraria ini sama sekali tidak memiliki manfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua,” beber Mahyudin.

Selain negara dirugikan, kehadiran Freeport menjadi salah satu biang konflik agraria dan sumber masalah di Indonesia. Potensi konflik akibat dari penguasaan tanah untuk kepentingan pertambangan, tak hanya melibatkan beberapa pihak namun telah masuk ke sendi-sendi kehidupan sosial lainnya.

Problem lain yang hingga kini belum selesai dengan kehadiran PTFI adalah masyarakat adat setempat (Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Ekari dan Nduga) tidak mengetahui persis tapal batas wilayah konsesi PTFI.

Hal ini telah menyebabkan terjadinya sengketa antara masyarakat yang sedang berburu di wilayah adat yang menjadi basis klaim PTFI. Namun juga diklaim oleh Freeport sebagai wilayah konsesinya.

“Daripada kehadirannya menambah panjang problem keagrariaan, alangkah baiknya PT.Freeport Indonesia segera angkat kaki dari Indonesia,” pungkasnya. (An/MN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *