Published On: Thu, Aug 29th, 2019

Menyoal Kinerja Pelindo II dan Pemogokan di Pelabuhan

Defiyan Cori

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Visi Kemaritiman Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam mewujudkan konsolidasi perekonomian dan biaya logistik yang wajar (murah) mungkin tidak akan berhasil. Pasalnya adalah perangkat dan Sumberdaya yang mendukung kebijakan ke arah sasaran tujuan itu tidak cukup mendukung upaya pembangunan strategis kemaritimam tersebut.

Contoh kasus, adalah kegiatan pelayanan pemanduan di salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang mengalami gangguan operasional. Penyebabnya adalah, pelayaan kepelabuhan di Terminal Tanjung Priok yang dikelola oleh PT Jasa Armada Indonesia (JAI) Tbk tersebut terhenti oleh aksi seluruh kru kapal mulai dari Anak Buah Kapal (ABK) hingga nakhoda kapal pandu di terminal tersebut melakukan aksi stop operasi, pada Hari Rabu (10/7/2019) di Kantor Kepanduan Pelabuhan Tanjung Priok.

Aksi stop operasi ini jelas mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di Terminal paling besar dan sibuk di Indonesia dalam rangka melayani pengangkutan logistik hajat hidup orang banyak, baik yang diekspor maupun impor berbagai komponen produk-produk industri yang dibutuhkan produsen di dalam negeri. Lalu kemanakah Direktur Utama PT (Persero) Pelabuhan Indomesia II (Pelindo) Elvyn G Masassya saat itu, kenapa masalah sederhana ini sampai berbuntut pemogokan?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Sedangkan ayat 48 menyatakan bahwa Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

Dengan adanya aksi stop operasi oleh seluruh kru kapal pandu tersebut, maka sesuai UU No. 17 Tahun 2008 tersebut jelas akan berakibat pada kelancaran pemberian informasi, saran pemanduan kapal untuk ketertiban, kelancaran dan keselamatan kapal dan lingkungan di area pelabuhan. Dampaknya, tentu saja akan mengganggu stabilitas kegiatan perekonomian nasional mencapai pertumbuhan ekonomi dalam suatu periode, apalagi jika aksi ini sampai terjadi di pelabuhan lainnya di Indonesia.

Mengacu pada data yang dipublikasikan Asosiasi Tenaga Pemanduan Kapal Indonesia (Indonesia Maritime Pilots Association/Inampa), kalau 200 kapal bisa dipandu di pelabuhan atau selat di perairan laut Indonesia bisa mengantongi pendapatan Rp 1,4 Triliun per tahun atau Rp 116 Milyar per bulan dan hasil harian kurang lebih mencapai Rp 464 Juta. Apa konsekuensi kehilangan potensi pendapatan ini terhadap Dewan Manajemen Pelindo II, bukankah dalam ilmu manajemen dikenal penghargaan dan hukuman (reward and punishment)?

Pengelolaan pemanduan kapal seharusnya terus didukung dan dikembangkan oleh manajemen perusahaan serta pemangku kepentingan yangmana pemerintah telah memberikan wewenang penyelenggaraanya kepada Pelindo I, II, III, dan IV serta Institusi terkait lainnya terutama yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

Oleh karena itu, akar permasalahan aksi stop operasi pemanduan tersebut harus segera diselesaikan oleh manajemen PT. JAI dengan membahas secara kekeluargaan tuntutan yang disampaikan oleh para kru dimaksud. Jika hal ini tak mampu diselesaikan, maka pihak manajemen dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dapat dianggap melalaikan kewajiban melindungi kegiatan kepemanduan yang harus diberikan di Pelabuhan Tanjung Priok, serta Direksinya dapat dinyatakan tidak profesional.

Padahal tuntuan yang diajukan tidaklah terlalu rumit, yaitu ketidaksepakatan pekerja atas pengalihan manajemen dari PT JAI Tbk yang merupakan Anak Usaha BUMN Pelindo II kepada vendor atau swasta.

Pengalihan manajemen kepada pihak swasta ini harus diperiksa oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika terdapat indikasi insider trading dan atau korupsi. Sebab, sebagaimana diketahui oleh pemangku kepentingan (stakeholders) kepemanduan dan pelabuhan, bahwa Elvyn G Masassya sang Dirut Pelindo II, lebih banyak “plesiran” ke luar negeri tanpa tujuan yang jelas dengan memakai fasilitas korporasi.

Contoh yang lain adalah, soal remunerasi Direktur Utama Pelindo II (IPC) yang lalu, yaitu RJ Lino berdasar pernyataannya mendapatkan gaji tinggi untuk mencegah para pegawainya melakukan praktik korupsi atau penyimpangan lainnya., bahkan mencapai Rp 5 Miliar per tahun. Lalu dengan gaji yang sedemikian besar, ditambah seringnya Dirut Pelindo II dan Sekretaris Perusahaan (Coorporate Secretary) beserta stafnya ke luar negeri serta hanya menghasilkan PEMOGOKAN ini, maka pertanyaannya adalah, layakkah Elvyn G Masassya dipertahankan sebagai pimpinan?

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

alterntif text
Connect with us on social networks
Recommend on Google
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com