Published On: Thu, Feb 17th, 2022

Peran TKBM dan Inefisiensi Logistik

TKBM Pelabuhan (foto: Tempo)

Oleh: Karnali Faisal – Pengamat Dunia Logistik & Kemaritiman

Menurut Bank Dunia (2018), biaya logistik Indonesia masih yang tertinggi di Asia. Bank Dunia menghitung biaya logistik Indonesia masih berkisar di angka 24% Dari total PDB. Bandingkan dengan Vietnam (20%), Thailand (15%), Tiongkok (14%). Malaysia, Filipina dan India masing-masing 13%. Jepang terendah dengan hanya 8% dari PDB.

Ketertinggalan infrastruktur yang selama ini dianggap sebagai penyebab mulai diperhatikan pemerintah sejak 10 tahun terakhir. Pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara dan fasilitas infrastruktur lainnya dilakukan secara masif.

Tak hanya hard infra, pemerintah juga mempercepat proses soft infra di jalur-jalur transportasi yang menjadi tulang punggung logistik. Di sektor transportasi laut, digitalisasi pelabuhan terus diperluas jangkauannya.

Pemerintah pun terus berupaya menekan berbagai praktik yang menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi. Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) merilis sejumlah rekomendasi kepada kementerian, lembaga pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya untuk mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi.

TKBM
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 35 Tahun 2007 tentang Pedoman Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat Barang Dari Dan Ke Kapal Di Pelabuban, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkat muat di pelabuhan.

Mengacu pada regulasi yang sama, upah untuk TKBM disepakati  antara asosiasi perusahaan bongkat muat dengan koperasi sebagai pengelola TKBM.

Eksistensi koperasi dibentuk berdasarkan Instruksi Bersama 2 Menteri yaitu Menteri Perhubungan (IM 2/HK. 601/PHB/1989) dan Menteri Tenaga Kerja (IMB 03/MEN/1989) tentang Pembentukan Koperasi di Pelabuhan Pengganti Yayasan Usaha Karya (YUKA).

Instruksi 2 Menteri  tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Koperasi TKBM melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Dirjen dan Satu Deputi, yaitu Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Norma Kerja, Kementerian Tenaga Kerja, dan Deputi Bina Lembaga Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM, sebagai pelaksanaan Inpres Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.

Selanjutnya, SKB ini diperkuat dengan terbitnya SKB 2 Dirjen dan 1 Deputi yaitu Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Pembinaan dan Pengawasasan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja, serta Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi, Kementerian Koperasi, tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan tanggal 27 Agustus 2002.

Tahun 2012, lembaga yang sama menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pembinaan dan Penataan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKM) di pelabuhan, yang  bertujuan meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja bongkar muat.

Sebagai tenaga kerja dengan status buruh harian lepas (no work no pay), upah yang diterima TKBM ditetapkan secara harian. Seperti ditulis di atas, besaran upah tersebut mengacu pada kesepakatan antara asosiasi perusahaan bongkar muat, koperasi TKBM dan serikat pekerja.

Di Pelabuhan Tanjung Priok, penetapan upah harian TKBM biasanya mengacu pada besaran UMP DKI Jakarta dibagi 21 hari kerja (libur Sabtu Minggu). Sebagai contoh, upah harian TKBM tahun 2021 sebesar Rp 224.000.

Perusahaan Bongkar Muat (PBM) sebagai pengguna jasa masih harus mengeluarkan biaya lainnya yang sebenarnya merupakan hak normatif TKBM.

Biaya-biaya tersebut meliputi Kesejahteraan (Seragam kerja, THR, Diklat dan Tunjangan Perumahan), Asuransi (Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, dan Jaminan Kesehatan) serta administrasi koperasi.

Sejatinya unsur Kesejahteraan dan Asuransi yang dibayarkan PBM kepada TKBM sama dengan yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja di perusahaan-perusahaan lainnya.

Biasanya selain menerima gaji bulanan, seorang pekerja di perusahaan juga memperoleh seragam kerja,  THR dan jaminan asuransi baik BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan.

Sedangkan dana administrasi yang diterima Koperasi TKBM sebenarnya tak lebih dari Management Fee yang dibayarkan perusahaan pengguna jasa kepada perusahaan penyuplai tenaga kerja dalam sistem Outsourcing.

Dalam KM 35/2007, besaran dana administrasi (management fee) tersebut sebesar 7,5% dari upah yang diterima pekerja. Sebesar 1% dari angka tersebut dialokasikan untuk dana Serika Pekerja.

Sebagai pekerja dengan upah harian, pendapatan TKBM dalam satu bulan dihitung berdasarkan jumlah hari kerja (maindays) dikalikan upah.

Karena pembagian kerja yang tidak merata, TKBM Tanjung Priok hanya bekerja rata-rata 10 hari dalam 1 bulan. Itu artinya, pendapatan satu  orang TKBM rata-rata sebesar Rp. 2.240.000. Masih jauh di bawah UMP DKI yang sudah lebih dari 4 juta.

Seperti itulah gambaran penghasilan yang diterima TKBM. Adapun dana Kesejahteraan maupun Asuransi dititipkan kepada Koperasi untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk seragam kerja (helm, sepatu, pakaian dan rompi), uang THR maupun premi asuransi.

Jika mengacu pada hal tersebut, rasanya agak membingungkan jika ada yang beranggapan TKBM sebagai salah satu penyebab inefisiensi logistik.

Pertama, upah harian TKBM disepakati bersama antara asosiasi perusahaan bongkar muat, koperasi dan serikat pekerja. Koperasi TKBM tidak memiliki kapasitas memutuskan besaran upah. Keputusan naik tidaknya upah pun bahkan harus menunggu SK Gubernur tentang penetapan UMP.

Kedua, di luar upah yang diterima TKBM, perusahaan bongkar muat memang mengeluarkan komponen biaya lain untuk Kesejahteraan, Asuransi dan Biaya Administrasi. Ketiganya merupakan hak normatif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun KM 35/2007 yang menjadi dasar perhitungan upah.

Ketiga, isu pencabutan SKB 2 Dirjen dan 1 Deputi menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2021 terkesan bias. Sebab Peraturan Pemerintah tersebut jelas bertujuan memberdayakan koperasi dan UMKM. Ironisnya, jika benar isu tentang pencabutan SKB 2 Dirjen dan 1 Deputi, dengan sendirinya perlindungan terhadap koperasi patut dipertanyakan.

Sebab jika melihat sejarah awal,  SKB 2 Dirjen dan 1 Deputi tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Instruksi Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja Tentang Pembentukan Koperasi di Pelabuhan.

Saran
Tak bisa dinafikan, tata kelola Koperasi TKBM di pelabuhan-pelabuhan saat ini butuh penyempurnaan-penyempurnaan. Semangat digitalisasi yang kini digaungkan pemerintah seharusnya juga menjangkau tata kelola koperasi.

Pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok memang sudah merilis aplikasi Sistem Monitoring (Simon) TKBM. Mudah-mudahan tak hanya berhenti di situ.

Selanjutnya bagaimana agar kebutuhan penggunaan TKBM juga bisa  dilakukan melalui sistem aplikasi yang makin mengurangi pola-pola manual yang selama ini berlaku.

Selain itu, program rasionalisasi maupun peningkatan kompetensi TKBM juga perlu terus dilakukan. Dana-dana CSR mungkin bisa digunakan untuk menjalankan program tersebut.

Dengan cara tersebut, semangat pemberdayaan koperasi sebagaimana dimaksud PP No 7/2021 bisa terwujud. Di sisi lain, keberpihakan terhadap koperasi sebagai implementasi gagasan ekonomi konstitusional Pasal 33 UUD 1945.

Pada gilirannya, semangat menurunkan biaya logistik di satu sisi serta pemberdayaan koperasi (TKBM) di sisi lain bisa berjalan secara paralel.***

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com