Ilustrasi Foto: DFW Indonesia.

 

Jakarta (Maritimnews) – Upaya pengawasan laut berbasis masyarakat melalui sistim pengawasan berbasis masyarakat (Pokmaswas) yang didorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menjaga sumber daya laut Indonesia belum terlalu efektif.

Sistem pengawasan berbasis masyarakat belum mampu mendeteksi dan menangkal aktivitas kelautan dan perikanan yang merusak, eksploitatif dan pencurian ikan ilegal.

“Ketidakmampuan ini disebabkan karena jauhnya rentang kendali pengaduan, ketidakjelasan alur dan mekanisme pengaduan, lemahnya orientasi pengawasan berbasis masyarakat, dan minimnya anggaran pengawasan berbasis masyarakat yang tersedia,”ujar Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada media, Minggu (29/5).

Ia menambahkan hasil pemantauan yang dilakukan pihaknya pada beberapa wilayah konservasi di Papua dan Maluku, peran dan fungsi Pokmaswas belum berjalan secara efektif karena keterbatasan daya dukung dan lemahnya kapasitas.

“Dalam kawasan Suaka Alam Perairan Aru bagian Tenggara di Maluku banyak ditemukan indikasi eksploitasi penyu, hiu, pencurian ikan,  dan pelanggaran jalur oleh kapal ikan yang terjadi tanpa bisa dicegah karena ketidaktahuan masyarakat akan melaporkan kemana,” kata Abdi.

Masih kata, Abdi, hal yang sama terjadi pada wilayah perairan pulau Kolepon, Merauke. Penangkapan ikan oleh nelayan masih menyasar biota-biota yang dilindungi dan terancam punah seperti ikan Pari Gergaji, Pari Manta dan Arwana Papua.

“Padahal wilayah perairan pulau Kolepon saat ini oleh pemerintah provinsi Papua sedang diproses untuk menjadi kawasan konservasi laut daerah,” terang dia.

Dirinya meminta kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah provinsi Papua dan Maluku agar dapat merumuskan strategi yang lebih implementatif agar pengawasan laut berbasis masyarakat bisa lebih efektif.

“Perlu ada orientasi yang lebih jelas tentang peran dan fungsi kelompok pengawas serta bagaimana mereka melaporkan kejadian di wilayah perairan mereka. Petunjuk teknis yang ada saat ini sangat sentralistis dan terbukti tidak efektif mencegah kegiatan pelanggaran di laut,” jelasnya.

“Tidak masuk akal jika indikasi pelanggaran harus dilaporkan ke Jakarta, padahal laporan tersebut membutuhkan upaya penanganan dan respons cepat,” tegasnya.

Dirinya mengusulkan agar unit pengaduan masyarakat perlu tersedia pada tingkat desa atau kecamatan yang dikelola secara kolaborasi oleh unsur pengawas atau penegak hukum.

“Hotline pada tingkat lokal perlu disediakan untuk memudahkan pelaporan dan pengaduan kasus oleh masyarakat,” imbuh dia.

Sementara itu, Peneliti DFW Indonesia, Subhan Usman juga menyoroti jauhnya rentang kendali pengawasan sumber daya laut. Rentang kendali pengawasan saat ini terputus dari provinsi langsung ke kelompok masyarakat.

“Jarak Jayapura dan Merauke sangat jauh untuk melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, sehingga kebutuhan kelompok masyarakat sangat penting,” kata Subhan.

Problemnya adalah dibutuhkan ketersediaan anggaran untuk membentuk, melatih, menyediakan fasilitas dan mendukung kegiatan operasional kelompok pengawas masyarakat.

“Keterbatasan anggaran pengawasan laut berbasis masyarakat sebenarnya bisa diatasi melalui penyediaan dana desa atau dana otonomi khusus yang teralokasi di kampung-kampung,” ungkapnya.

Dalam rangka implementasi program penanggulangan Illegal, Unreported dan Unregulated Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 oleh DFW Indonesia dan UNDP ATSEA-2, upaya penyediaan dukungan dana desa ini berhasil dilakukan.

“Melalui pendekatan strategis, setidaknya 4 desa dan kampung di Merauke dan Kepulauan Aru telah berkomitmen menyediakan dana desa untuk kegiatan kelompok pengawas masyarakat,” tutup Subhan. (*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *