Peringati Hari Nelayan, Ini Pandangan APMI terhadap Nasib Nelayan
MNOL, Jakarta – Nelayan merupakan ujung tombak sekaligus parameter keberhasilan pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut jelas dapat dilihat bahwa nelayan merupakan entitas yang langsung berhubungan dengan laut, sekaligus melakukan segala aktivitasnya di laut dan pesisir. Demikian ungkapan yang disampaikan oleh Sekjen Assosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) Ahlan Zulfakhri saat mengikuti rangkaian acara Hari Nelayan yang jatuh pada hari ini, 6 April 2016.
“Tentunya dalam rangka memperingati Hari Nelayan yang jatuh pada 6 April ini, pemerintah perlu memperhatikan benar bagaimana nasib dan kondisi nelayan kita saat ini,” tandas Ahlan.
Dengan visi poros maritim dunia yang didengungkan oleh Presiden Jokowi, seharusnya nelayan berada dalam kondisi yang jauh berbeda. Sambung Ahlan, kondisi nelayan merupakan cermin bagaimana kebijakan pemerintah mengatur dan mengelola masyarakat pesisir.
“Jika kita coba lihat bagaimana kondisi ekonomi nelayan saat ini nampaknya cukup memprihatinkan, 25% penduduk miskin adalah nelayan. Angka ini belum bergeser cukup signifikan tampaknya,” selorohnya.
Menurutnya, kebijakan 2 tahun Pemerintahan Jokowi belum dikatakan berhasil jika melihat dari sudut pandang kesejahteraan nelayan. Meskipum berbagai instrumen telah dikeluarkan mulai dari Kartu Nelayan, BPJS untuk nelayan bahkan sampai rencana bantuan kapal, nampaknya hal itu belum berarti apa-apa terhadap kesejahteraan nelayan saat ini.
“Perlu ada perubahan strategi yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus mampu mengubah perspektif nelayan bukan lagi sebagai entitas yang perlu diberikan bantuan, namun sebagai sebuah profesi yang perlu diatur bagaimana kesejahteraanya,” ulasnya,
“Perlu diingat nelayan memiliki ladang pekerjaan sangat luas, yaitu 2/3 wilayah Indonesia yang berupa lautan, nampaknya ada yang salah jika nelayan masih dalam kondisi penuh kemiskinan,” tambah dia.
Masih kata Ahlan, pemerintah perlu sebuah terobosan agar ke depan bukan lagi bantuan yang diberikan namun lebih kepada pemberdayaan agar substansi untuk menaikan derajat nelayan semakin terbuka.
“Jika kita orientasinya adalah bantuan sudah dipastikan apapun yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Ini menjadi evaluasi bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan,” tegas lulusan Perkapalan Undip tersebut.
Selanjutnya, Ahlan menuturkan tatanan sosial nelayan perlu ditingkatkan. Hal ini terkait dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh nelayan, yang menurutnya masih jauh panggang dari pada api dengan visi poros maritim dunia.
“Saat ini jika kita bicara nelayan sudah pasti yang ada di bayangan kita adalah memiliki segala fasilitas untuk melakukan aktivitas melaut, sayangnya tidak demikian. Jarang sekali nelayan yang memiliki peralatan sendiri. Rata-rata, mereka adalah buruh nelayan yakni orang yang melaut dengan menggunakan kapal orang lain,” bebernya.
Itu disaksikan oleh mata kepalanya sendiri saat mengunjungi beberapa daerah pesisir dengan kondisi nelayan demikian. Sehingga APMI berani mengambil kesimpulan bahwa daerah-daerah tersebut bisa merepresentasikan kehidupan nelayan di seluruh Indonesia.
APMI mendorong timbulnya unit usaha kecil yang berbentuk koperasi di masing-masing wilayah untuk dapat berperan serta mendukung keterbutuhan nelayan. Dengan seperti itu, secara otomatis kemandirian masyarakat pesisir khususnya nelayan akan mampu terbangun.
“Bukan berarti dengan kondisi nelayan tidak memiliki kapal kemudian pemerintah menurunkan bantuan. Justru dengan kondisi itu pemerintah harus mengoptimalkan unit-unit usaha kecil milik nelayan,” cetusnya.
APMI berharap, dengan momentum Hari Nelayan ini pemerintah bersama para stakeholder dapat melihat nelayan dengan perspektif yang lebih kompleks, yakni dengan tujuan mewujudkan kemandirian bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan.
“Pemerintah harus gandeng semua elemen dan stakeholder untuk meningkatkan taraf hidup nelayan,” pungkasnya. (TAN)