Perjuangan Panjang Deklarasi Djuanda dan Archipelagic Principal State
MNOL – Jakarta, Deklarasi Djuanda lahir dari rahim kegelisahan dan kebutuhan nasional untuk tetap mempertahankan NKRI dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945. Lahir dari desakan Nasional untuk sesegera mungkin menyusun suatu tata lautan nasional. Tata lautan nasional dengan tujuan melindungi kekayaan nasional serta melindungi rakyat Indonesia dari Belanda pada saat itu yang ingin menguasai kembali Republik Indonesia.
Tanggapan dan reaksi atas Deklarasi Djuanda dirasakan oleh dalam maupun luar negeri. Deklarasi Djuanda tidak mampu merebut perhatian rakyat di dalam negeri, tapi tidak di luar negeri. Deklarasi Djuanda sanggup menggemparkan terutama negara status quo dalam hal ini Blok Sekutu, seperti Belanda, Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Prof. Mochtar mengumpulkan berita surat kabar mengenai pergolakan politik dunia akibat Deklarasi Djuanda tersebut. Prof. Mochtar mendatangi dan melaporkan situasi politik dunia, begini tanggapan Menteri Veteran RI:
“ Nah, jika begitu, keputusan dan tindakan pemerintah betul-betul benar! Jika tindakan kita ditentang oleh Imperialis, itu tandanya suatu tindakan yang benar bagi tanah air”.
Protes dilontarkan berturut oleh negara-negara Sekutu mengenai Deklarasi Djuanda. Tanggal 30 Desember 1957 diterima nota diplomatik dari Amerika Serikat berisi “sesuai dengan long established principles of customary international law, Pemerintah Amerika Serikat tidak mengakui sahnya tuntutan akan laut teritorial yang lebarnya lebih dari 3 mil dan diukur tidak dari garis air rendah. Amerika Serikat memperingatkan Pemerintah Indonesia, bahwa sejak semula Amerika Serikat merasa terikat terhadap kewajibannya untuk selalu mempertahankan kebebasan pelayaran di lautan bebas”.
Menyusul nota diplomatik Inggris Raya pada tanggal 3 Januari 1958 yang dianggap tidak mengikat warga negaranya, kapal-kapalnya, dan kapal-kapal terbangnya. Setelah itu, 3 Januari 1958 nota diplomatik dilontarkan Australia. Lalu pada tanggal 7 Januari 1958 pihak Belanda mengeluarkan nota diplomatik memprotes Pengumuman Pemerintah RI 13 Desember 1957. Pemerintah Belanda beranggapan hal itu bertentangan dengan hukum internasional mengenai “de vrijheid van de zee” dan “de maximale omvang van territoriale en binnenwateren”. Selanjutnya, protes nota diplomatik tanggal 8 Januari 1958 oleh Perancis berisikan “revient a etendre la souverainete indonesienne sur une vaste superficie par aucun precedent historique et ne s’appuie sur aucune regle du droit international public”. Kemudian, tanggal 11 Januari 1958 datang nota diplomatik dari Selandia Baru. Pemerintah Selandia Baru tidak dapat menerima tuntutan Indonesia yang “would be contrary to the well-established principles of international law”.
Konferensi Hukum Laut PBB 1958
Pertarungan gagasan dan konsep tertuang dalam Konferensi Hukum Laut PBB pada bula Februari 1958 di Jenewa, Swiss. Secara resmi dan pertama kalinya, konsep archipelago principal state dikemukakan di sidang umum PBB. Namun pertentangan tak lepas dari pengaruh dari negara pemenang dari Perang Dunia II. Konferensi Hukum Laut 1958 tidak mendapat hasil seperti yang diharapkan. Lalu pada tahun 1973-1977 diselenggarakan kembali Konferensi Hukum Laut semacam itu.
Selama proses perdebatan, pertarungan politik dan dinamika politik global bercampur dan melebur mempengaruhi konsep negara kepulauan dalam Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda yang bermakna sebagai perombakan dan penyusunan kembali tata lautan nasional yang ikut mempengaruhi kondisi dan situasi politik di negara lainnya. Perdebatan konseptual mengenai Deklarasi Djuanda dan Ordonasi 1939 adalah mengenai:
(a) tata lautan Belanda didasarkan atas asas demi pulau, yang masing-masing memiliki laut teritorialnya sendiri dengan lebar 3 mil, dihitung dari titik ( tempat) garis air rendah. Dalam gambarannya secara plastis, pulau itu didirikan suatu “cerobong”, yang menjulang ke atas di udara dan ke dalam masuk lapisan bumi. Maka seluruh wilayah Indonesia akan membentuk “rumpun cerobong-cerobong” sebanyak pulau-pulau di Indonesia. Diantara cerobong=cerobong (pulau) terdapat jalur-jalur laut dan udara bebas, dimana kapal-kapal laut dan udara asing leluasa dapat beraktivitas.
(b) konsep arhipelagic principal state, memandang satu kesatuan utuh dengan laut teritorial sebesar 12 mil, yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar Indonesia. Dalam gambaran secara plastis, wilayah Indonesia didirikan “cerobong”. Maka akan membentuk “cerobong tunggal” menjulang ke atas di udara dan ke dalam masuk lapisan bumi. Dengan berdirinya “ cerobong tunggal, maka jalu-jalur laut dan udara di atasnya yang dahulu berstatus bebas sekarang berada sepenuhnya di bawah kedaulatan Indonesia.
Protes, keberatan, dan sumber perbedaan pendapat bersumber pada hak historis negara kolonial untuk tetap mempertahankan eksistensinya dan kuasa akan daerah jajahannya, sepertihalnya Indonesia. Pandangan liberal mengenai “Freedom of the High Seas” merupakan hegemoni Blok Imperialis untuk mempertahankan dominasi ekonomi-politik di negara lain. Hal ini mendesak pihak Indonesia sebagai negara kepulauan seperti Indonesia untuk mengembalikan keseimbangan tatanan lautan internasional keadaan yang adil.
Dimuka sidang konferensi hukum laut internasional PBB, dikemukakan sejarah mengenai prinsip negara kepulauan. Pandangan serta tuntutan lahir dari negara-negara maritim lewat perjuangan Grotius dalam Mire liberum (1609). Kemudian, pertama kalinya hukum laut diajukan Sarjana Hukum Norwegia, yaitu Aubert pada sidang Institut du Droit International di Hamburg tahun 1889. Tapi nyatanya, institute tidak menaruh perhatian seperti diharapkan. Lalu pada tahun 1927, institute tersebut mulai kembali memperbincangkan dalam pertemuan-pertemuan perhimpunan hukum internasional.
Tercatat Panita Ahli Persiapan Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag pada tahun 1930 pernah mengajukan suatu rumus mengenai archipelago pada pasal 5 ayat (2), berbunyi:
“In the case of archipelagoes, the constituent islands are considered as forming a whole and the widths of the territorial sea shall be measured from the islands most distant from the centre of the archipelago” League of Nations
Naasnya, Konferensi Den Haag 1930 ini pun disingkirkan, dan dalam Konferensi Hukum Laut PBB dianggap sebagai “encroachment” atas the Freedom of the High Seas. Maka kemudian, delegasi Indonesia memberikan pembelaan-pembelaannya bahwa Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957, berdasarkan: (a) faktor etimologis, (b) faktor geografis, (c) faktor keutuhan yurisdiksi, (d) faktor interdependensi ekonomi pulau-pulaunya satu sama lain, (e) faktor keamanan dan kelestarian netralitas dalam keadaan perang, dan (f) faktor perlindungan kekayaan laut. Oleh karena itu, delegasi Pemerintah RI berketetapan mempertahankan asas archipelago dalam Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957.
Pertentangan-pertentangan dalam Konferensi Hukum Laut PBB mengenai asas negara kepulauan ini akhirnya menunda masalah tersebut. Dengan menyingkirkan masalah tersebut, akhirnya Konferensi Hukum Laut PBB 1958 di Jenewa menetapkan 4 konvensi yaitu: (1) Convention on the territorial sea and the Contiguous zone, (2) Convention on the High Seas, (3) Convention on Fishing and Conservation of the living resources of the high seas, and (4) Convention on the Continental Shelf.
Sekalipun Konferensi Hukum Laut PBB ke-1/1958 tidak mendapatkan hasil nyata, namun mendapatkan dukungan politik dari negara Asia-Afrika untuk terus melanjutkan perjuangan asas negara kepulauan. Desakan agar Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957 atau dikenal sebagai Deklarasi Djuanda untuk dijadikan dasar pembuatan Undang-Undang. Hal ini merupakan kebutuhan nasional yang akan membawa babak baru bagi perkembangan tata lautan Republik Indonesia maupun dunia. Perlawanan terhadap ketidak-adilan dan hegemoni politik negara Imperialis-Kolonialis adalah menjadi dasar perjuangan founding fathers Republik Indonesia yang menjadi bintang penunjuk bagi terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Lampiran: Deklarasi Djuanda atau Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957: DEKLARASI DJUANDA