Peta LCS

Oleh: Laksda TNI Dr Surya Wiranto SH MH*

MN – Menanggapi isu hangat soal Laut China Selatan yang merupakan hal paling krusial saat ini, karena menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Terlebih lagi Laut China Selatan memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar dari berbagai macam sektor, seperti perikanan, minyak dan gas bumi, maka tak ayal Tiongkok mengklaim bahwa Laut Natuna sebagai daerah tradisional tangkapan nelayan Tiongkok (traditional fishing grounds) yang jelas-jelas itu merupakan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat NKRI.

Meskipun Indonesia tidak terlibat secara langsung dalam sengketa Laut China Selatan, namun mempunyai kepentingan vital nasional berupa kedaulatan dan hak berdaulat di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Klaim Tiongkok atas perairan Kepulauan Natuna sebagai daerah tradisional nelayannya merupakan pelanggaran berat karena Tiongkok berupaya mengekspansi wilayah maritimnya ke dalam wilayah berdaulat NKRI.

RI-Tiongkok

Padahal secara jelas berdasarkan undang-undang nasional, internasional termasuk UNCLOS tahun 1982, wilayah tersebut merupakan bagian integral dari wilayah NKRI, dan negara lain tidak berhak untuk memasuki wilayah tersebut apalagi mengeksplorasi hasil alamnya, sebagaimana dilakukan oleh nelayan-nelayan China yang dikawal oleh aparat Coast Guard-nya. Tindakan kapal ikan dan kapal Coast Guard China tersebut seolah ingin menekan Indonesia mengakui wilayah klaim 9 dashed lines China.

Hal tersebut sudah tertuang jelas dalam berbagai macam undang undang yang menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari klaim Indonesia atas perairan Indonesia & perairan yurisdiksi Indonesia di Utara Natuna, berdasarkan; (1)Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, (2) Pasal 33 UNCLOS 1982, yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS tahun 1982, (3) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dinyatakan Laut teritorial yg diukur 12 Nm dari garis pangkal. (4) Klaim Unilateral ZEEI, sesuai pasal 55 UNCLOS 1982, dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEEI. Klaim Unilateral ZEE Indonesia 200 Nm. (5) Batas Landasan Kontinental Indonesia di Utara Natuna, sesuai pasal 76 UNCLOS Tahun 1982, UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, dan Perjanjian Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia dan Indonesia dengan Vietnam

Atas dasar hukum tersebut secara jelas Natuna memang menjadi bagian kepentingan vital nasional dan menjadi bagian integral wilayah NKRI yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, dan klaim Tiongkok atas wilayah Natuna sebagai traditional fishing ground hanya berlandaskan sejarah dan artefak kuno yang dimilikinya, dan itu tidak bisa menjadi acuan dasar sebuah pengakuan wilayah yang berdaulat.

Selain itu perairan yurisdiksi ZEEI yang tumpang tindih dengan klaim 9 DL China. Seluas 83.315,62 km2 atau seluas 6 kali pulau Bali, wilayah Indonesia terkooptasi oleh klaim 9DL China harus dipertahankan kedaulatannya, karena di perairan yurisdiksi tersebut telah ditetapkan melalui perjanjian landas kontinen 2 (dua) negara antara Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Vietnam. Perjanjian itu sudah menjadi hukum positif Indonesia, serta sebagai penguatan terhadap klaim unilateral ZEEI sepanjang 200 Nm dari titik dasar Kepulauan Natuna.

Klaim unilateral tersebut dibuat secara sepihak oleh Pemerintah RI dan digambarkan di peta NKRI dan peta Hidrografi Dishidros (tanpa koordinat) yang belum di-deposit ke Sekjen PBB sehingga belum diketahui oleh masyarakat internasional.

Oleh karena, itu silang sengkarut sengketa di Laut China Selatan terus menerus dilakukan pemecahan masalahnya oleh pemerintah, praktisi hukum, akademisi dan praktisi geodesi serta diplomat Indonesia melalui berbagai forum nasional, regional, maupun internasional. Secara tegas pemerintah juga telah menyatakan sikapnya dalam memperjuangkan kedaulatan dan hak berdaulat NKRI di laut Tiongkok Selatan, khususnya di wilayah Natuna dan perairan sekitarnya.

Pemerintah RI menolak intimidasi, agresi dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah RRT, dan senantiasa  berpedoman pada Trisakti dalam menegakkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya guna menjaga keutuhan NKRI.

Overlapping Claim

Dalam upaya memecahkan silang sengkarut polemik Laut China Selatan tersebut telah dilaksanakan berbagai seminar, diskusi publik, FGD, hingga Rapat Koordinasi Tingkat Menteri di Kemenko Polhukam. Dari berbagai kegiatan tersebut terdapat 3 (tiga) perbedaan sudut pandang yang sangat mendasar.

Para Diplomat selalu berpandangan bahwa Indonesia dan RRT tidak ada overlapping claim di Laut China Selatan dan senantiasa mengedepankan solusi damai, dan cukup bangga menjadi mediator dan honest peace broker dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Pernyataan yang dipedomani hanya dari para pejabat tingkat tinggi, seperti Wapres, Menlu, Wamenlu RRT yang menyatakan bahwa antara RI dan RRT tidak ada masalah, tidak ada overlapping claim dan Natuna adalah milik RI. Perspektif ini tiba-tiba berubah setelah Menlu China dan juru bicaranya pada minggu yang lalu (17 Juni 2016) menyatakan dengan tegas bahwa antara RI dan RRT ada overlapping Claims.

Para Akademisi berpedoman pada pakem ilmu dan aturan hukum nasional maupun internasional, termasuk UNCLOS tahun 1982 yang juga tidak mengakui adanya klaim 9 dashed lines RRT, karena tidak berdasar hukum dan tidak sesuai dengan perhitungan klaim wilayah laut yg diperhitungkan dari daratan (pulau, karang, dangkalan, surut terendah, dll) sesuai teori “Land dominated the Seas”.

Kedua perspektif di atas sudah benar, namun pada umumnya hanya melihat persoalan dari “the yure” dan “das sein” dari dasar-dasar hukum dan dasar-dasar teori yang menjadi pedoman para diplomat dan para akademisi. Kedua sudut pandang tersebut kurang melihat pada kenyataan-kenyataan di lapangan, bahwa telah terjadi tindak pidana dan pelanggaran hukum berupa tindakan-tindakan penguasaan wilayah NKRI yang melanggar terhadap hukum nasional dan menyimpang dari hukum internasional. Serta dilakukan dengan terbuka oleh kapal-kapal ikan China yang dikawal oleh kapal Coast Guard China, termasuk pernyataan tegas dari pejabat-pejabat militer China tentang adanya overlapping claim antara RI dengan RRT.

Para penegak kedaulatan dan hukum di laut, di lain pihak, lebih melihat “the facto”, dan “das sollen” dari pada kejadian-kejadian dilapangan dan praktek hukum internasional, termasuk UNCLOS tahun 1982 yang disimpangkan. Penguasaan wilayah perairan yurisdiksi NKRI di Laut China sudah lama dilakukan oleh RRT sejak mereka menyatakan dengan tegas bahwa wilayah tersebut adalah wilayah teritorinya yang telah didepositkan ke Sekjen PBB. Dalam catatan penulis, sejak tahun 2008 dimana 8 kapal ikan China ditangkap di ZEEI Laut China Selatan dan diproses hukum di Pontianak, saat itu pemerintah RRT protes keras dan menyatakan “never happen again in the future”, artinya tidak boleh terjadi lagi hal semacam ini.

Namun secara the facto, pada tahun 2010, 2013, hingga beberapa kejadian di bulan Juni 2016 kapal PSDKP-KKP dan Kapal TNI AL (KRI) yang menangkap kapal ikan China di ZEEI Laut China Selatan selalu dipaksa melepaskan kapal ikan China dengan cara intimidasi lewat radio komunikasi dan menjamming radio komunikasi kapal KKP, hal ini merupakan tindakan ”hostile intent” atau niat bermusuhan dari kapal Coast Guard China. Di samping itu tindakan membayang-bayangi, manuver memotong haluan kapal KKP dan KRI serta menubruk kapal ikan yang sedang digandeng kapal KKP, berdasarkan analisis ancaman (dalam ilmu militer) merupakan tindakan yang kurang bersahabat dari hubungan kedua negara atau tindakan bermusuhan “hostile act” yang dilakukan aparat Coast Guard China.

Tindakan-tindakan semacam ini bagi aparat penegak kedaulatan dan hukum dianggap pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan hak berdaulat NKRI. Sebagaimana perspektif militer “kenali lawan sebelum berperang” (seni berperang gaya Sun Tzu) yang selalu menganalisa niat-niat dan tindakan-tindakan calon lawan, untuk dipersiapkan strategi dan taktik untuk menghadapinya. Dari hasil skenario simulasi tindakan-tindakan kapal-kapal China tersebut diperoleh beberapa alternatif cara bertindak yang dapat dilakukan oleh aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut. Alternatif terbaik merupakan course of action atau tindakan yang akan dilakukan aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut.

Penegakan Hukum di Laut

Tindakan berupa “henrikhan” atau penghentian, pemeriksaan dan penahanan terhadap kapal yang dicurigai melakukan tindakan pidana di laut sudah merupakan protap (prosedur tetap) yang dipedomani oleh setiap aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut, termasuk tindakan paksa dengan menembakkan senjata juga bagian dari “upaya paksa” yang dilakukan aparat bila kapal yang akan diperiksa melarikan diri, melakukan tindakan-tindakan berbahaya seperti manuver yang akan menabrakkan kapalnya ke kapal aparat, dan mengunci kemudi dengan tetap lari dengan kecepatan tinggi sebagaimana sering dilakukan oleh kapal-kapal pencuri ikan China.

Tindakan kapal aparat penegak kedaulatan dan hukum berupa penembakan terhadap kapal tersangka merupakan tindakan terakhir sebagai upaya paksa karena tahapan peringatan, seperti menaikkan bendera, lampu morse dan komunikasi radio sebagai isyarat berhenti tidak diindahkan, bahkan melarikan diri atau melakukan tindakan manuver kapal yang membahayakan keselamatan kapal aparat. Tembakan peringatan ke udara, ke depan haluan kapal dan kebelakang buritan kapal juga tidak diindahkan, maka dilakukan tindakan terakhir dengan menembak di anjungan kapal, dengan harapan kendali operasional kapal akan lumpuh dan aparat bisa melakukan tugas pemeriksaan kapal.

Dengan 2 (dua) bukti awal tindakan pidana yang dilakukan oleh kapal ikan ilegal sudah cukup bukti untuk melakukan tindakan paksa berupa penembakan atau penenggelaman kapal, sesuai pasal 69 Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Dengan demikian semua tindakan aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut telah sesuai prosedur dan undang-undang yang berlaku.

Bahwa ada pendapat beberapa orang yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan aparat penegak kedaulatan dan hukum Indonesia tidak benar karena tidak sesuai dengan pasal 73 dan pasal 111 UNCLOS tahun 1982 tidak perlu ditanggapi karena pasal 73 tidak mengatur dengan jelas masalah penghentian, pemeriksaan dan penahanan kapal, sedangkan pasal 111 hanya mengatur tentang “hot pursuit” atau pengejaran seketika yang locus-nya di perairan teritorial dan zona tambahan sehingga tidak ada kaitannya dengan masalah di atas.

Sikap Tegas Indonesia

Ada beberapa upaya dalam penguatan hukum kepemilikan wilayah perairan dan yurisdiksi RI di Utara Natuna. Hal tersebut diperlukan guna penguatan hukum terhadap klaim unilateral ZEEI, antara lain; perlu dilakukan pendepositan peta NKRI yang dilengkapi dengan titik titik koordinatnya ke UN DOALOS dan Sekjen PBB, dan perlunya merevisi Undang-Undang nomor 5 tahun 1983 tentang ZEEI serta Undang-Undang nomor 1 tahun 1973 tentang landasan kontinen sesuai UNCLOS 1982 dan menambahkan koordinat titik titik zonasi perairan NKRI. Upaya hukum ini sesuai semangat Nawacita yang ingin membangun NKRI dari pinggiran (kawasan perbatasan), khususnya pembangunan infrastruktur non fisik berupa hukum laut untuk memperkuat batas maritim NKRI.

Melalui pesan singkat Presiden Jokowi diatas KRI Imam Bonjol-388 di perairan Natuna pada tanggal 23 Juni 2016 yang merupakan momentum bersejarah dan sekaligus menegaskan adanya upaya serius dari pemerintah untuk mempertahankan Natuna sebagai wilayah kedaulatan NKRI. Pesan yang disampaikan Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI (“Jaga… Pertahankan NKRI”), untuk menjaga wilayah negara dan perairan yurisdiksi sebagai bagian kepentingan vital NKRI. Tidak ada kompromi dengan Kedaulatan NKRI, jangan ada sejengkal tanah dan air NKRI yang dikuasai negara asing, harus dipertahankan !!!

Instruksi dari Presiden Jokowi pun secara langsung menjadi semangat juang punggawa TNI AL sebagai penegak kedaulatan dan aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugasnya sebagai tulang punggung negara di wilayah kemaritiman NKRI. Visi presiden yang serius dalam bidang kemaritiman tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia memang sudah teruji sebagai negara maritim. Karena ciri dari negara maritim itu adalah adanya upaya serius dari Pemerintah yang menjadi penentu kebijakan suatu negara yang berbasis maritim.

Oleh karena itu kita sebagai anak bangsa mari sama sama menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman apapun, karena laut merupakan masa depan rakyat Indonesia. Jalesveva Jayamahe !!!

Overlapping Claim China

Dari gambar tesebut nampak “the facto overlapping claims antara 9 dashed lines RRT dengan klaim unilateral ZEEI dan landas kontinen Indonesia di Laut China Selatan. Wilayah ZEEI yang terkooptasi oleh klaim 9 dashed lines seluas 83.315,62 km2 atau seluas 6 kali pulau Bali dan landas kontinen seluas 33.392,20 km2.

Dari keterangan gambar di atas nampak bahwa penangkapan ikan yang sering dilakukan oleh nelayan RRT selalu berada di wilayah “de factooverlapping claims antara klaim unilateral ZEEI dengan klaim 9 dashed lines China. Hal ini menunjukkan bahwa RRT secara konsisten menjaga wilayah terorinya baik dengan pembuatan hukum maupun deposit ke Sekjen PBB, di lapangan senantiasa menjaganya dengan kapal nelayan (yang diduga para militer /komponen pendukung China), yang dikawal oleh kapal Coast Guard nya.

Tindakan-tindakan tersebut merupakan bagian dari upaya state practice untuk menunjukkan kepada dunia terhadap positif occupation China tehadap penguasaan wilayah maritim di Laut China Selatan. Kegigihan 2 (dua) kapal pengawal (Coast Guard China) nampak terlihat dari olah gerak kapal tersebut (warna merah), yang terus menerus mengejar KRI Imam Bonjol-388 yang menggandeng kapal ikan tangkaan Han Tan Cou-19038 hingga menjelang masuk ke laut teritorial Indonesia. Tindakan intimidasi lewat radio komunikasi (hostile intent) serta manuver berbahaya (hostile act) juga dilakukan kapal Coast Guard kedua (bawah) dengan memotong haluan KRI.

 

“Penulis adalah Staf Ahli Menko Polhukam Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *