Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo.
Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo.
Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo.

Oleh: Afan Arfandia

Tepat 2 tahun yang lalu pada Senin, 20 Oktober 2014 di gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta Pusat, Presiden RI Ir. H. Joko Widodo menyampaikan pidato pertamanya dengan memperjelas visinya dalam memperkuat kemaritiman Indonesia di masa depan;

Kita telah lama memunggungi Samudra, Laut, Selat dan Teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia

Kutipan dari pidato Ir. H. Joko Widodo tersebut sontak mengingatkan kembali kepada pidato Presiden pertama RI Ir.  Soekarno dalam pidatonya di tahun 1953 yang menegaskan;

Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Kata-kata Bung Karno ini seolah menjadi pemacu semangat pemerintahan baru untuk “kembali” ke laut.

Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup dan pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kekayaan dan kejayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu, Kerajaan Majapahit, Orang Laut dan Bone, dll. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui jasa pelayaran antar benua atau antar pulau.

Bahkan dengan modal kekayaan maritim itulah, Nusantara pernah berjaya saat era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Selama beratus-ratus tahun, keduanya menjaga dan memanfaatkan lautan Nusantara untuk berdagang dan mensejahterakan masyarakatnya. Pada puncak kejayaannya di abad ke-12, Sriwijaya meliputi seluruh wilayah lautan di sekeliling pesisir Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, pesisir timur Indocina, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Filipina sebelah selatan. Bahkan, dengan penguasaan atas perdagangan maritim di Lautan Indonesia. Namun, berabad-abad setelahnya, dimulai dari masa penjajahan, bangsa ini mengubah orientasinya, menjadikan daratan sebagai sumber kehidupan. Laut pun dipunggungi dan cenderung diabaikan. Hasilnya? Nusantara tak bisa lagi merengkuh kejayaan di dunia internasional seperti layaknya Sriwijaya dan Majapahit. Kebanggaan sebagai negeri maritim perlahan-lahan hilang. Bahkan, kedaulatan Indonesia di laut pun diinjak-injak oleh bangsa lain.

Melalui kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan, kami juga turut mengapresiasi atas upaya MKP dalam memerangi penjajahan di lautan, dijajah dalam arti dikuasai sumber dayanya, terutama ikan dan biota lain yang melimpa ruah di laut nusantara. Berpuluh-puluh tahun, kapal-kapal ikan dari negeri tetangga dengan bebasnya mencuri ikan di perairan Indonesia. Kekayaan laut Indonesia disedot habis oleh mereka sehingga hanya tertinggal sedikit ikan untuk para nelayan pribumi. Tak heran, meskipun berada di antara kekayaan laut yang melimpah ruah, sebagian besar nelayan Indonesia justru hidup miskin. Potensi tangkapan ikan lestari di perairan Indonesia mencapai sekitar Rp 3.000 triliun per tahun. Namun, yang benar-benar bisa dinikmati bangsa Indonesia tak lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Karena itulah, kontribusi produksi perikanan rata-rata hanya 3,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka yang sangat tidak wajar untuk sebuah negeri bahari.

Jika kita melihat sejarah dan kondisi geografis negara Indonesia, Visi Presiden RI Ir. H. Joko Widodo tersebut bukan hal yang mustahil untuk dicapai oleh negara kita, dengan di takdirkannya Indonesia sebagai negara kepulauan “archipelago state” terbesar didunia yang terdiri dari 18.000 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km atau sepadan dengan jarak London dan Siberia dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang 95.181  km dan sekitar 80% dari wilayah NKRI adalah laut. dengan bentang geografis tersebut, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu 1,937 Juta km persegi daratan dan 3,1 Juta km persegi laut teritorial, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km persegi.

Dengan keadaan wilayah yang sedemikian luas menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan (2014), nilai potensi dan kekayaan sumberdaya alam yang terdapat pada sektor kelautan dan perikanan diproyeksikan mencapai US$ 171 Miliar per tahun. Lebih terperinci nilai potensi tersebut meliputi Perikanan US$ 32 Miliar, Wilayah pesisir US$ 56 Miliar, Bioteknologi US$ 40 Miliar, Wisata Bahari US$2 Miliar, Minyak Bumi US$ 21 Miliar dan Transportasi laut sebesar US$ 20 Miliar. Selain itu, dengan wilayah NKRI yang diapit oleh benua Asia dan Australia serta samudra Hindia dan Pasifik menjadikan posisi geoekonomi dan geopolitik indonesia juga sangat stategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 Trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012). hal ini juga turut mendasari untuk menjadikan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia.

Sudah saatnya menjadikan laut sebagi pondasi ekonomi, sosial serta budaya yang benar benar mensejahterahkan rakyat. Melalui sektor Perikanan tangkap membekali nelayan dengan teknologi serta menyediakan fasilitas pelabuhan, alat tangkap serta menjamin keberlangsungan industri perikanan dalam negeri yang kompetitif tanpa sibuk untuk mengundang investor asing sehingga dapat menjadikan nelayan sebagai kekuatan ekonomi negara serta menjamin keberlangsungan sektor perikanan hulu hingga hilir, karena bagaimanapun industri akan menjamin nelayan untuk tetap berproduksi. Dalam deklarasi Djuanda telah terkandung suatu konsepsi negara maritim “nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintahan dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankan hingga mendapat pengakuan Internasional. deklarasi Djuanda sendiri merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.

Sudah 2 (dua) tahun pemerinthan Presiden RI Ir. H. Joko Widodo, 16 (enam belas) tahun keberadaan Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan 6 (enam) pergantian Menteri yang menahkodainya belum kunjung menjadikan Negara ini sejahtera melalui potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki. Parahnya lagi dari total masyarakat miskin di Indonesia 25,14% diantaranya merupakan Nelayan, kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan sejak 2014 yang seakan menjadikan sektor perikanan terpuruk. Sebagai contoh, mengutip dari (Tim Agro Maritim, Dr. Nimmi Z) dampak yang ditimbulkan dari PERMEN No. 02 Tahun 2015 saja, 1.885 kapal cantrang terancam tidak beroperasi, 66.621 Nelayan terancam menganggur, 35 UPI dan 36 TPI terancam tutup, 1.474 orang memilih beralih menjadi peternak itik, 290 pedagang kelontong dan 150 penjual sayur kehilangan pekerjaan. Dampak ekonomi dari semua itu mencapai 1,9 Trilyun/tahun serta dampak sosial yang ditimbulkan mencapai 1,465 Trilyun/tahun. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang lain, yang berdampak pada nilai ekspor hasil perikanan yang semakin menurun dari tahun 2014-2015 dengan laju penurunan ekspor sebesar 15,5%, serapan tenaga kerja yang menurun serta banyaknya demonstrasi dan mogok operasional dimana-mana akibat kebijakan yang muncul secara tiba-tiba dengan kurangnya sosialisai dan tanpa di imbangi dengan solusi yang tepat.

Beberapa pekan lalu sektor Perikanan diramaikan dengan aksi mogok nasional operasional pabrik dan kapal perikanan, hal ini dilatar belakangi oleh adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Perum Perindo. Adapun dampak yang diinginkan dari hal tersebut adalah kekosongan stok ikan sehingga menarik simpati Presiden RI Ir. H. Joko Widodo agar dapat meninjau kembali kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Perum Perindo. Lalu bila kita pelajari lebih lanjut terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, untuk siapa sebenaranya kebijakan tersebut? dan untuk apa kebijakan tersebut dibuat? Kalau nyatanya memberikan banyak dampak yang malah memperpuruk sektor perikanan beberapa tahun belakangan ini.

Dari beberapa hal tersebut, kami masih berharap banyak dengan waktu 3 tahun mendatang dibawah kepemimpinan Presiden RI Ir. H. Joko Widodo visi Poros Maritim Dunia (PMD) benar-benar terwujud dan memberikan dampak sosial dan ekomoni untuk menunjang kesejahteraan nasional, menuntaskan masalah pengangguran dan kemiskinan serta mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin.

Melalui berbagai peran kita di Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). kami pun sadar masih minim pengalaman, oleh karena itu kami tidak menawarkan masa lalu untuk bangsa tapi menawarkan masa depan untuk bangsa.

 

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *