Oleh: Laksda TNI Dr Surya Wiranto SH, MH*
MN – Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selain menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta batas batasnya, juga memberikan informasi spasial bagi publik tentang wilayahnya dan menggambarkan pencapaian hasil berbagai perundingan bilateral, trilateral maupun multilateral sejak Deklarasi Djuanda sampai sekarang. Peta NKRI mencantumkan nama-nama geografis pulau-pulau terluar milik Indonesia yang berada di sebelah dalam garis pangkal kepulauan Indonesia, serta menggambarkan letak Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peta NKRI bersifat dinamis dan harus selalu di-update sesuai dengan perkembangan.
Perundang-undangan nasional terkait dengan penetapan koordinat batas wilayah NKRI adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang telah diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2008, yang merupakan tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982. Hal itu diawali dengan penerbitan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dilanjutkan penguatan hukum dengan UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dan UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Landasan hukum tersebut telah memagari wilayah perairan Indonesia. Sehingga bagi Indonesia, UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah digagas sejak tahun 1957.
Permasalahan yang akhir-akhir ini muncul terkait pencantuman daftar koordinat geografis wilayah laut adalah pada sengketa Laut China Selatan (LCS) yang semakin hari kian memanas, di mana negara Republik Rakyat China (RRC) beranggapan bahwa LCS merupakan wilayah kedaulatannya. Klaim atas wilayah darat dan laut di LCS disampaikan secara eksplisit oleh China dengan mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan LCS.
Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena merupakan sembilan sekmen garis putus-putus. China mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan yang konon menurut sejarah China merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi China (Traditional Fishing Ground). Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Dari uraian di atas nampak bahwa pemerintah RRC telah mengoptimalkan klaim wilayah maritimnya menggunakan “The Power of Map”. Peta dan klaim sembilan garis putus ini tidak saja digambarkan di peta kartografinya, namun diperkuat juga dengan membuat perundang-undangan nasionalnya (Order of the President of the People Republic of China Nomor 55 Tahun 1992 tentang “Law of the People’s Republic of China on the Territorial Sea and the Contiguous Zone), dan mendepositkannya ke Sekjen PBB pada tahun 2009.
Peta tersebut juga dicetak pada paspor RRC sebagai penegasan tentang penguasaan wilayahnya di LCS. Pada saat sidang di Permanent Court of Arbitrase Den Haag, Belanda, peta wilayah sengketa yang digunakan masih peta lama yang menggambarkan Perairan Natuna hingga ke Selat Karimata masih menjadi bagian dari LCS. Kekuatan peta inilah yang dipertahankan oleh RRC hingga saat ini dalam menghadapi Claimant State lainnya.
Langkah RRC yang menerbitkan peta pada tahun 1947 dan memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan LCS tersebut telah menimbulkan protes keras negara-negara pengklaim lainnya (Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei). Indonesia walaupun bukan negara pengklaim, turut melayangkan protes dengan Nota Diplomatik Pemerintah Indonesia pada tahun 1993, 2009 dan 2010, karena klaim tersebut telah memotong sebagian perairan yurisdiksi Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) di Utara Kepulauan Natuna seluas 83.315,62 km2.
Namun semua protes tersebut tidak satu pun yang ditanggapi. Pemerintah RRC bahkan unjuk kekuatan dengan menggelar kapal-kapal ikan (China’s Maritime Militia/Komponen Pendukung Kekuatan Pertahanan RRC) yang menjaga batas terluar klaim sembilan garis putus tersebut, sambil mengeksplorasi ikan di laut.
Kapal-kapal ikan tersebut dikawal oleh Coast Guard China (Komponen Cadangan Kekuatan Pertahanan RRC). Apabila aparat keamanan Indonesia akan menangkap kapal ikan tersebut, maka kapal Coast Guard tersebut segera datang membantu dengan melakukan tindakan hostile intent dan hostile act terhadap aparat keamanan laut RI.
Mengingat perairan yurisdiksi ZEEI merupakan bagian dari kepentingan nasional Indonesia (“the vital national interest of the state”) yang harus dijaga dan dipertahankan, maka beberapa tindakan perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:
Ke Luar:
Ke Dalam:
Kesimpulan
Klaim ZEEI bersifat unilateral sehingga kurang dipahami dan tidak diakui oleh publik Internasional. Karena sifatnya unilateral dan belum dicatat atau dibukukan/dilegalkan secara resmi, maka dapat dikatakan belum berlaku sebagai hukum positif nasional maupun internasional. Hal ini membuat ragu aparat kamla dalam melakukan tindakan law enforcement di wilayah ini.
Penggunaan upaya paksa berupa penembakan terhadap kapal-kapal asing yang menangkap ikan di wilayah tersebut juga perlu dipertimbangkan kembali.
*Penulis adalah Staf Ahli Menko Polhukam Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman
Bali (Maritimnews) - Anggota Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih mendukung upaya PT Pelabuhan…
Jakarta (Maritimnews) - Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 7 Tahun…
Gresik (Maritimnews) - Pelabuhan Petrokimia Gresik sah berpredikat sebagai pelabuhan Sehat sesuai dengan Peraturan Menteri…
Jakarta (Maritimnews) - Kementerian Perhubungan resmi resmi menutup Posko Angkutan Laut Lebaran Tahun 2024, Jumat…
Jakarta (Maritimnews) - Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan resmi menutup Posko Angkutan Laut Lebaran Tahun 2024,…
Teluk Bayur (Maritimnews) - Pelabuhan Teluk Bayur telah melakukan berbagai kesiapan dalam menyambut libur Idul…