Mengulas Penegakan Hukum pada Illegal Fishing di Perairan Indonesia
MNOL, Jakarta – Beragam pendapat soal penegakan hukum pada llegal fishing menjadi perbincangan hangat pasca Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) bersama instansi lainnya melakukan penenggelaman kapal ikan asing. Polemik tersebut kian hangat saat diulas dari berbagai aspek menyangkut keamanan maritim pada visi Poros Maritim Dunia.
Staf ahli Menko Polhukam bidang Maritim dan Kedaulatan Wilayah Laksda TNI Dr Surya Wiranto SH, MH dalam sebuah kuliah umum di Universitas Indonesia (UI), Depok, (1/4/17) menyatakan penegakan hukum pada kasus illegal fishing merupakan bentuk kedaulatan negara atas wilayah perairannya.
Lulusan AAL tahun 1982 ini memulai pembahasannya dengan meninjau peranan aparat penegak hokum di laut berdasarkan hukum nasional yang berlaku. Kemudian kaitannya dengan hokum internasional dalam sudut pandang geopolitik dan kepentingan nasional Indonesia.
“Laut yang bebas dari segala macam ancaman baik oleh state actor maupun non state actor untuk menjamin keutuhan wilayah, kedaulatan negara dan kehormatan serta keselamatan bangsa yang berujung pada terciptanya masyarakat yang adil dan makmur,” terang Surya.
Dalam konteks keamanan laut, Pati TNI AL Bintang Dua ini menuturkan bahwa illegal fishing merupakan bentuk ancaman dan pelanggaran hukum yang harus diberantas oleh negara. Sehingga diperlukan peranan ekstra dari para penegak hukum di laut seperti TNI AL, Polair, Bakamla, dan PSDKP.
“Kesemua unsur itu saat ini dihimpun di bawah satu koordinasi yang bernama Satuan Tugas 115 yang dipimpin oleh Bu Susi selaku Menteri kelautan dan Perikanan. Itu sesuai perintah presiden,” ujarnya.
Dalam kaca mata hukum terkait tindak pidana, kasus ini pun dibagi atas dasar hukum material dan hukum formal. Mantan Kadispotmar itu menjelaskan yang termasuk dalam kaidah hukum material atas tindak pidana di laut menyangkut beberapa undang-undang, di antaranya UU tentang ZEEI, KSDA, Perairan, Perikanan dan sebagainya.
“Dalam kasus illegal fishing jelas disebutkan dalam UU Perikanan yang mengatur bagaimana peranan KKP dan instansi lainnya dalam menjaga perairan yurisdiksi nasional,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Pati TNI AL yang dikenal low profile dan murah senyum ini menyebutkan illegal fishing yang termasuk tindak pidana di laut merupakan tindak pidana tertentu yang berlaku khusus sesuai azas Lex Specialis Derogat Leg Generalis
Dalam penanganan tindak pidana di laut, berawal dari operasi baik oleh TNI AL maupun institusi lainnya yang mengenal prinsip deteksi dan pengenalan terhadap objek yang dicurigai (kapal) berdasarkan optik visual elektrik. Selanjutnya, aparat dapat melakukan pengejaran dan pemeriksaan pada objek yang dicurigai.
“Jika terbukti tanpa izin, kapal tersebut sebagai barang bukti dan dapat ditahan sementara beserta para awaknya di pangkalan, untuk selanjutnya diserahkan kepada pengadilan setempat,” ulas Surya.
Sambungnya, yang menjadi bahan perdebatan dalam kasus illegal fishing antara lain soal penenggelaman langsung oleh aparat atau melalui proses peradilan. Dalam Pasal 76 UU Perikanan disebutkan setelah kapal dibawa ke pangkalan maka diserahkan kepada pengadilan untuk diproses.
Menurut Surya, proses tersebut cenderung memiliki ketidakpastian hukum, karena keputusan ada pada hakim. Hal ini yang memungkinkan timbul mafia hukum sehingga para pelaku tidak mendapat efek jera.
“Proses yang disebut sebagai cara pertama ini lebih boros baik dana operasional maupun tenaga karena kapal harus dikawal ke pangkalan dan prosesnya lebih berbelit-belit,” katanya.
Selanjutnya, di cara kedua yang diatur dalam Pasal 69 UU Perikanan, ketika terjadi pemeriksaan kapal telah terbukti tidak mengantongi izin, maka kapal itu langsung ditenggelamkan dan ABK-nya dipulangkan ke negara asal.
Tegas pria yang juga pernah menjabat sebagai Wadanseskoal itu, efek jera dan efisiensi biaya operasional lebih cepat dan minim. “Yang paling penting dari cara ini ialah adanya kebanggaan pada korps kapal patroli, L’esprit de corps,” tandasnya.
Di akhir penjelasannya, Surya mengingatkan agar para penegak hukum di laut lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan instansinya. Pasalnya, permasalahan yang saat ini masih kerap terjadi ialah adanya ego sektoral di antara institusi.
Sehingga hal tersebut menghambat optimalisasi penegakan hukum di laut. Masalah itu merupakan turunan dari adanya tumpang tindih peraturan yang merembet kepada masalah kewenangan.
“Dalam pengelolaan keamanan laut harus ada operasi kamla terpadu lintas sektoral yang efektif dan efisien. Intinya agar bagaimana laut Indonesia menjadi aman dan terkendali,” pungkasnya.
Usai memberi kuliah umum, para mahasiswa pun aktif bertanya untuk merespons ulasan yang disampaikan olehnya. Berbagai pertanyaan kritis yang berguna sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pun terjadi dalam forum ini.
(Adit/MN)