Published On: Mon, Oct 29th, 2018

Mengenang Sumpah Pemuda dalam Perspektif Maritim

Pembacaan Deklarasi Djuanda oleh PM Djuanda

MN, Jakarta – Sejak dimulainya peradaban maritim modern di dunia ini, turut muncul pula teori tentang aturan hukum laut  untuk mendefinisikan batasan-batasan ruang laut dalam kaitannya dengan eksistensi negara dan bangsa.

Pada tahun 1609, Hugo De Groot (Hugo Grotius), yang di anggap sebagai bapak hukum internasional modern, melahirkan konsep Mare Liberum, yang menyatakan bahwa laut tidak bisa dikuasai oleh suatu negara. Dengan demikian, ruang lautan sifatnya adalah bebas dengan tidak ada suatu negara yang memiliki kedaulatan atas laut

Namun demikian, jika dianalisis lebih jauh pemikiran Grotius ini sangat sarat akan kepentingan kolonialisme Belanda untuk membenarkan aktivitas ekspedisi yang kemudian bertransformasi menjadi ekspansi dan melakukan kolonisasi.

Maka dengan dasar pemikiran teori hukum tersebut, Belanda berhasil membenarkan perjalanannya melalui laut untuk masuk ke Nusantara dan melakukan praktek kolonialisme yang awalnya berbentuk kongsi dagang VOC.

Namun ironisnya, pada saat Belanda mulai menguasai jaringan pelayaran di Nusantara, mereka kemudian meninggalkan konsep lamanya, Mare Liberium (laut terbuka) dan membuat suatu konsep baru tentang ruang laut Mare Causum (laut tertutup) dan melarang bangsa lainnya selain bangsa Belanda untuk melakukan aktivitas pelayaran, termasuk untuk para pelaut pribumi karena Hindia Belanda adalah wilayah jajahannya.

Dengan konsep laut tertutup inilah VOC melakukan kontrol yang ketat atas ruang laut daerah koloninya dan berhasil melumpuhkan aktivitas pelayaran di Nusantara, yang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik diceritakan seperti ini:

“Kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah memecah ombak samudera damai ke utara, tetapi kemudian arus berbalik. Arus raksasa menggelombang dari utara menghempas nusantara mundur ke selatan, ke pedalaman yang bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke desa-desa kaki pegunungan.”

Dalam masa kolonialisme Belanda di Nusantara, terbitlah Undang-Undang Hukum Laut Nomor 42 tahun 1939 tentang Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim).

UU ini mengatur bahwa laut teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau, di luar dari tiga mil tersebut adalah laut internasional. Dengan demikian, laut berfungsi sebagai pemisah pulau-pulau di indonesia

Semangat sumpah pemuda

Momentum Sumpah pemuda tentu merupakan kristalisasi dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jika dimaknai dalam perspektif kemaritiman dan konsep negara kepualauan, maka ini adalah awal untuk mengembalikan eksitensi bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas yang menyatu satu sama lain dengan kata: “Bertanah Air Satu, Tanah air Indonesia”.

Ide mengenai pengintegrasian wilayah daratan dan lautan dapat dirunut melalui sejarah mengenai konsep “tanah air” oleh tokoh pergerakan nasional. Salah-satunya adalah Mohammad  Yamin di tahun 1920-an.

Konsep bertanah air satu jelas bukanlah bermakna sempit, yakni hanya tentang penyatuan wilayah (Nasionalisme Teritorial) tetapi juga menegaskan makna filosofis tentang kebangsaan seperti yang di jelaskan oleh Friederich Ratzel, bahwa “bangsa adalah kelompok manusia yang terbentuk karena adanya hasrat (kemauan) untuk bersatu yang timbul dari adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya.”

Dalam perjalanan sejarah, konsep kesatuan tanah air kembali diperjuangkan setelah Proklamasi Kemardekaan Indonesia. Konsepsi kewilayahan yang menyatukan antara wilayah daratan dan lautan sebagai suatu entitas melalui  deklarasi juanda tahun 1957.

Kembali Melaksanakan Visi Maritim

Presiden Soekarno dalam pidatonya saat peringatan Sumpah Pemuda di tahun 1963 menyerukan para generasi penerus bangsa dengan kalimat berikut: “Warisilah api sumpah pemuda, kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air.”

Pemerintahan Presiden Joko widodo dan Jusuf Kalla sendiri memiliki visi ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah satu poin dari Nawa Cita yang diusungnya adalah dengan membangun Indonesia dari pinggir dan menjadikan pulau di perbatasan sebagai halaman depan.

Diharapkan, gagasan-gagasan besar itu mampu menjadi titik balik untuk mewujudkan kembali semangat kesatuan tanah dan air sebagai aspek geografis dan filosofis, agar bangsa Indonesia tidak kembali dicerai beraikan dan terjajah seperti yang terjadi pada masa kolonialisme dahulu.

Karena tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dimulai dari aspek ketimpangan ekonomi, pemerataan pembangunan, penguasaan sumber daya alam oleh asing, serta kesejahteraan antar pulau yang belum terwujud, dan ini merupakan tugas mendesak untuk segara di atasi.

Memang tidaklah mudah untuk mengurai masalah yang sudah berlarut-larut, ditambah pada saat orde baru berkuasa juga terjadi sentralisasi pembangunan. Maka menjadi penting untuk kita kembali menyalakan api sumpah pemuda agar visi besar maritim dapat di selengarakan dengan gotong royong dan tidak  hanya menjadi jargon saja. Karena secara teknis, konsep bertanah air juga akan mempercepat mobilitas barang, manusia, serta ilmu pengetahuan

Di samping melakukan pembangunan nasional yang mandiri, penting pula untuk menyadari bahwa dalam perjalanan  sejarah nusantara ada faktor eksternal yang berkontribusi meluluhlantakan kejayaan maritim nusantara.

Menjadi relevan untuk saat ini, bahwa politik maritim luar negeri Indonesia harus melihat dinamika geopolitik internasional, untuk kita intervensi dengan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, baik di kawasan dan dunia internasional.

About the Author

- Redaktur

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com