Nelayan Kecil Meradang, LPMUKP Hanya Dinikmati Pengusaha Besar
Jakarta (Maritimnews) – Modal Usaha Kelautan Perikanan (MUKP) merupakan dana modal usaha nelayan yang bersumber dari APBN yang sudah dirancang oleh pemerintah bersama Komisi IV DPR guna menunjang profesi nelayan.
Hal itu diatur dalam mekanisme realisasi dana dan sesuai dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan. Nomenklaturnya nelayan, namun, dalam realisasinya dana MUKP ini disalahartikan dan diberikan untuk banyak pengusaha.
Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI) Rusdianto Samawa membeberkan beberapa bukti bahwa 90 persen bergulirnya dana tersebut tidak diperuntukan untuk nelayan, melainkan untuk pengusaha-pengusaha besar.
“Jadi bukan buat modal usaha nelayan untuk melaut dan bukan pula untuk mengangkat derajat hidup nelayan. Walaupun banyak pengusaha kelautan perikanan memiliki nelayan dan kapal, namun tetap harus dibedakan antar pemodal dengan nelayan kecil yang belum meningkat kapasitasnya,” ujar Rusdianto kepada Maritimnews, Jumat (5/5/23).
Menurutnya, bagi paguyuban nelayan sangat sulit mendapatkan MUKP ini. Selain syarat yang memberatkan dan juga sistemnya seperti rentenir dan bank.
“Syarat-syarat pengajuan untuk mendapatkan dana MUKP seperti sertifikat tanah, dasar hukum kelompok, modal awal lembaga (koperasi) atau KUB serta syarat lainnya yang memberatkan,” bebernya.
Di lain sisi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) harus merealisasikan modal yang bersumber dari APBN tersebut dalam kurun waktu setahun. Dana itu harus habis sesuai target dengan jumlah yang dianggarkan.
“Maka berbagai terobosan program realisasi dana diluncurkan. Mulai dari program yang paling baik dan produktif hingga program pendanaan yang kurang baik. Bahkan, untuk mengambil keuntungan dari realisasi dana. Maka sistem pengelolaan dana seperti simpan pinjam. Kelompok nelayan (KUB) diberlakukan pengembalian modal sesuai jumlah kredit dalam kurun waktu sekian tahun,” ungkapnya.
“Masyarakat bertanya, apakah APBN memang diperuntukan untuk modal pinjaman kredit atau memberi bantuan modal kepada nelayan dengan menggemukan modal pengusaha. Lalu siapa yang mengambil untung dari bisnis dana MUKP simpan pinjam ini,” tegasnya.
Pria asal Sumbawa itu menyebut kalau modal dana MUKP ini juga kecenderungan dikuasai oleh kelompok tertentu, seperti partai politik, perusahaan, dan jaringan Kelompok Usaha Bersama (KUB) tertentu yang dibentuk oligarki.
:Hal ini sangat rentan terjadi masalah. Jaringan-jaringan kelompok yang menguasai ini sangat besar mengambil manfaat dari realisasi dana MUKP tersebut,” imbuhnya.
Maka, sambung dia, perlu perbaikan dalam tata kelola realisasi bantuan modal MUKP ini, jangan hanya menjual diksi untuk nelayan kecil. Supaya keterbukaan itu tetap diprioritaskan dalam pengelolaan keuangan MUKP.
Hal-hal yang perlu diperbaiki, jelas Rusdianto, terkait daftar penerima bantuan modal, sistem realisasi, verifikasi data, pengecekan jumlah realisasi permodalan, dan evaluasi hasil yang telah dilakukan selama 10 tahun sejak 2014 – 2023. LPMUKP memberikan modal dengan skema pinjaman/pembiayaan dengan tarif layanan yang rendah, yakni maksimal 4% per tahun.
“Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh KKP dalam merealisasikan dana tersebut, yakni pertama; pertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, wabil khusus pembudidaya dan nelayan. Bagi nelayan, tak ada pilihan lain selain berusaha beraktivitas di laut dengan segala keterbatasan yang dihadapinya,” terang dia.
Masih kata Rusdianto, modal tersebut bukan bersifat bantuan langsung ke ekonomi rumah tangga. Namun modal diberikan untuk menopang berkembangnya sistem penangkapan ikan, seperti alat tangkap, kapal, dan distribusi hasil nelayan maupun pembudidaya.
“LPMUKP harus kerja sama dengan paguyuban nelayan langsung secara terbuka, tanpa melalui perusahaan (oligarki) yang selama ini menilap dana tersebut. Lagi pula, proses dipermudah sehingga dapat membantu,” tegasnya lagi.
Rusdianto mengimbau agar LPMUKP seharusnya merubah metodenya, apalagi selama ini nelayan terkesan sangat sulit akses dana tersebut. Kalau terus terjadi sistem tidak transparan, maka diragukan pertanggungjawaban Badan Layanan Umum (BLU) kepada negara sebagai lembaga yang memberikan fasilitas pinjaman/pembiayaan bagi nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah dan pemasar hasil perikanan, hingga usaha masyarakat pesisir lainnya.
“LPMUKP kurang melihat kondisi usaha nelayan yang belum menguat dari permodalan. Kalau objektif, fasilitas MUKP belum begitu tinggi memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya nelayan-nelayan kecil di pedesaan,” pungkasnya. (*)