Menguak Fakta Ilmiah Proyek Reklamasi
Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*
ISU abrasi di Teluk Jakarta kembali mencuat seiring dengan proyek reklamasi yang kontroversial. Sejumlah pihak mengklaim bahwa wilayah pesisir Jakarta mengalami abrasi sejak tahun 1982, yang mengharuskan adanya reklamasi untuk mengembalikan daratan yang hilang. Namun, fakta ilmiah berbicara lain: bukan abrasi yang terjadi, melainkan penurunan permukaan tanah yang terus berlanjut akibat eksploitasi sumber daya alam dan pembangunan masif.
Penulis ketika itu berpangkat letkol selaku Ketua Tim Penelitian yang tergabung dalam proyek kajian hidro-oseanografi pada tahun 2012 bersama Pusat Pendidikan Hidro Oseanografi (Pusdikhidros), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan tim ahli dari Korea, menjelaskan bahwa klaim abrasi di Teluk Jakarta tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Penelitian tersebut menggunakan teknologi “LiDAR” (Laser and Radar Integration System), sebuah sistem pemetaan geospasial canggih yang mampu mengukur perubahan elevasi tanah dengan akurasi tinggi.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa wilayah pesisir Jakarta, terutama Ancol, Pluit, dan Muara Baru, mengalami penurunan permukaan tanah (land subsidence) hingga 20 cm per tahun. Fenomena ini jauh lebih berbahaya daripada abrasi, karena tidak hanya mengancam infrastruktur, tetapi juga mempercepat potensi tenggelamnya Jakarta akibat kenaikan air laut.
Laut Jawa adalah laut tertutup dengan kedalaman rata-rata hanya 100 meter. Tidak ada energi gelombang yang cukup kuat untuk menyebabkan abrasi besar-besaran seperti yang diklaim oleh pihak tertentu. Justru, yang terjadi adalah land subsidence akibat eksploitasi air tanah dan beban infrastruktur berat.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan tanah di Jakarta. Pertama, penyedotan air tanah berlebihan. Penggunaan air tanah dalam jumlah besar menyebabkan tanah kehilangan daya dukungnya dan mengalami pemadatan. Seiring waktu, tanah terus turun dan memperparah banjir rob di pesisir Jakarta.
Kedua, dampak pemanasan global. Pemanasan global telah menyebabkan mencairnya es di kutub, yang mengakibatkan kenaikan permukaan air laut. Kombinasi antara naiknya air laut dan turunnya tanah membuat Jakarta semakin rentan terhadap banjir.
Ketiga, beban infrastruktur yang berat di atas tanah yang labil. Jakarta dibangun di atas tanah aluvial dan rawa yang tidak stabil. Dengan banyaknya gedung pencakar langit dan pembangunan masif, tekanan terhadap tanah semakin besar, mempercepat proses penurunan permukaan tanah.
Rekayasa Narasi untuk Justifikasi Reklamasi
Penulis juga menyoroti bahwa klaim “abrasi sejak 1982” yang digunakan untuk membenarkan reklamasi di PIK 2 tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat.
Jika memang terjadi abrasi sejak 1982, seharusnya ada bukti perubahan garis pantai yang signifikan. Namun, data satelit menunjukkan bahwa garis pantai Jakarta justru mengalami sedimentasi di beberapa titik, bukan abrasi.
Lebih jauh, PIK 2 bukanlah tanah alami yang hilang akibat abrasi, melainkan hasil reklamasi yang dilakukan secara sistematis. Pembangunan di atas wilayah yang secara geologi labil ini justru berpotensi memperburuk permasalahan lingkungan di masa depan.
Fakta Ilmiah Melawan Hoax dan Kepentingan Bisnis
Hasil penelitian ini memberikan peringatan keras kepada semua pihak untuk tidak menggunakan narasi yang menyesatkan demi kepentingan bisnis semata. Penurunan tanah di Jakarta adalah fakta ilmiah yang harus diatasi dengan kebijakan yang tepat, bukan justru dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu yang berpotensi merugikan masyarakat luas.
Dengan semakin cepatnya penurunan tanah dan naiknya permukaan air laut, Jakarta menghadapi ancaman nyata yang memerlukan solusi berbasis sains dan teknologi. Penelitian yang dilakukan penulis dan tim menjadi bukti bahwa keputusan strategis harus didasarkan pada data yang valid, bukan sekadar narasi yang direkayasa untuk kepentingan segelintir pihak.
Saatnya masyarakat lebih kritis terhadap informasi yang beredar. Masa depan Jakarta bukan hanya soal reklamasi, tetapi bagaimana mengelola lingkungan dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan berlandaskan ilmu pengetahuan. []
*Penulis adalah Surveyor Class “A” Hidro Oseanografi