Published On: Tue, Jan 17th, 2017

USS Renvile, Saksi Bisu Failed Diplomacy Indonesia – Belanda

USS Renvile saksi bisu perundingan Indonesia dengan Belanda 17 Januari 1948

MN – Pada 17 Januari 1948 di Pelabuhan Tanjung Priok atau 69 tahun silam merupakan hari penandatanganan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda di sebuah kapal perang milik US Navy, USS Renvile. Penandatanganan kesepakatan yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Renvile itu merupakan respon antar kedua negara menyusul pecahnya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947.

Perjanjian ini juga hasil inisiasi dari Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian yang dimulai pada 8 Desember 1947 itu, pihak Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo. Sedangkan Delegasi Amerika Serikat sebagai pihak penengah dipimpin oleh Frank Porter Graham.

Perundingan yang cukup alot tersebut akhirnya menghasilkan suatu keputusan yakni (1) Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia, (2) Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, dan (3) TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Tentang USS Renvile

USS Renville (APA-227) adalah kapal perang angkut-serbu kelas Haskell yang digunakan US Navy pada Perang Dunia II, Perang Korea dan Perang Vietnam.

Kapal ini dinamai Renville mengikuti nama daerah-daerah administratif di negara bagian Minnesota dan North Dakota. Kapal ini mulai dibuat pada 19 Agustus 1944 sebagai MCV hull 673 oleh galangan kapal Kaiser di Vancouver, Washington, dan diluncurkan 25 Oktober 1944. Kemudian resmi digunakan pada 15 November 1944.

Kapal ini memiliki tugas pertamanya dalam pendaratan Pasukan US Marine dan Amfibi dalam penyerbuan Okinawa 1 April 1945. Kapal ini memiliki peran penting dalam memenangkan AS pada kancah Perang Dunia II, terutama sebagai alat angkut logistik dan suplai di kawasan Pasifik.

Pasca Perang Dunia II, Kapal ini lebih berfungsi sebagai kapal perdamaian yang bersifat non militer. Pada tahun 1946, kapal ini pernah mengangkut 1.436 Tentara Jepang dari Filipina serta Tentara Amerika  Serikat dari Kepulauan Pasifik kembali ke negaranya.

Sejak tahun 1947, kapal ini aktif mengikuti misi perdamaian PBB di mana AS sebagai negara pemenang perang, rajin mengawal perdamian dari negara-negara yang bertikai. Misalnya seperti Indonesia dengan Belanda yang kembali memanas setelah NICA membonceng Sekutu dalam masa peralihan. Niatan Belanda untuk menduduki kembali Indonesia banyak mendapat perlawanan di berbagai daerah di Indonesia.

Pra dan Pasca Perjanjian Renvile

Pada Maret 1947, Indonesia dengan Belanda telah menandatangani Perjanjian Linggarjati yang antara lain berisi, pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia di Sumatera, Jawa dan Madura serta pembentukan Uni Indonesia Belanda di bawah Kerajaan Belanda. Isi perjanjian itu bukan saja semakin menyempitkan kedaulatan Indonesia yang digagas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke melainkan membawa memanasnya situasi politik dalam negeri.

Pasca penculikan PM Sjahrir pada 3 Juli 1946, beberapa kelompok seperti Tan Malaka dan kubu TKR berkeberatan dengan adanya perundingan dengan Belanda. Mereka menganggap seperti berunding dengan maling di rumah sendiri.

Pasca perundingan itu, PM Sjahrir pun harus diberhentikan dari jabatannya dan diganti oleh Amir Syarifudin Harahap yang juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan.

Di waktu yang sama, Belanda terus membangun negara-negara boneka untuk memecah belah NKRI. Akhirnya pendirian Negara Boneka itu seakan mendapat legitimasi lewat Perjanjian Linggarjati.

Tidak hanya itu, 3 bulan kemudian, tepatnya 21 Juli 1947, Belanda melanggar perjanjian itu dengan melancarkan agresi ke Jawa dan Sumatera.

TKR dibawah pimpinan Jenderal Soedirman tahu betul tabiat Negeri Kicir Angin itu dengan segala tipu daya dan kelicikannya. TKR yang kemudian menjadi TNI bersama rakyat menyambut serangan itu dengan gigih dan semangat juang yang tinggi.

Seperti biasa, ketika berbulan-bulan berperang dan kemudian logistik Belanda kembali menipis, mereka mengajukan perundingan. PM Amir Syarifudin merespon ajakan itu yang selanjutnya langsung menggelar rapat rabinet di akhir November 1947.

Sama halnya dengan Linggarjati, TNI kembali menolak segala bentuk perundingan apapun. Sardiman, Dosen Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menulis pada masa perundingan itu Soedirman pernah menyatakan jika ingin berunding silahkan di laut!

Mungkin pernyataan dari seorang Panglima ini yang menyebabkan perundingan bukan di darat melainkan di atas kapal yang tengah bersandar. Pada masa itu belum dikenal wawasan Nusantara yang mencakup kedaulatan antara darat dan laut sebagai satu kesatuan.

Bahkan di masa itu, PM Amir Sjarifudin kembali menjadi incaran dari kubu oposisinya. Sebelumnya di masa kepemimpinannya juga pernah membuat kebijakan yang cukup kontroversi yakni dikenal dengan nama Rekonstruksi dan Rasionalisasi (Re-Ra) TNI yang kemudian dilanjutkan pada masa Bung Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri.

Suasana Perjanjian Renvile

Pasca Perjanjian Renvile, giliran PM Amir Sjarifudin diberhentikan dari jabatannya. Isi Perjanjian Renvile yang dibilang lebih merugikan ketimbang isi Perjanjian Linggarjati itu akhirnya harus diterima oleh Pemerintah Indonesia sebagai suatu konsekwensi logis.

Akibatnya, Pasukan Siliwangi di Jawa Barat harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kendati berat tetapi semua harus dijalankan demi kepatuhan Indonesia terhadap perjanjian internasional. Laskar-laskar seperti Hizbullah dan Bambu Runcing dibawah SM Kartosuwiryo yang sebelumnya juga sudah terkena dampak Re-Ra menolak hijrah dan lebih memlih menetap di Jawa Barat yang kemudian mendirikan DI/TII.

TNI yang sebenarnya sudah tahu bahwa Belanda di kemudian hari akan menyerang Indonesia juga mempersiapkan diri dengan memperbanyak latihan dan perapihan organisasi. Namun di tengah upaya itu, terjadi Peristiwa Madiun bulan September 1948 yang juga sebagai buntut adanya kebijakan Re-Ra.

Laskar-laskar rakyat yang digalang oleh Amir Sjarifudin yang kecewa terhadap pemerintahan bertransformasi menjadi Tentara Merah. Mereka menyambut kedatangan Muso dari Uni Soviet untuk mendirikan Pemerintahan Soviet Indonesia di Madiun.

Setelah TNI dan rakyat menumpas pemberontakan itu, kembali Belanda melancarkan Agresinya yang kedua di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Untuk kedua kalinya Belanda mencampakan perundingan yang telah ditandatanganinya sendiri di hadapan PBB di atas USS Renvile.

Kenangan USS Renvile

Loggo USS Renvile

Alhasil, USS Renvile tetap menjadi kapal bersejarah dalam Perang Dunia II bagi AS yang juga sebagai saksi dari sebuah failed diplomacy antara Indonesia dengan Belanda. Di kapal itu pula tersimpan kenangan perjuangan diplomasi Indonesia menghadapi Belanda dengan segala kelicikannya.

Kini di AS, bekas USS Renvile pun tidak diketahui. Setelah diserahkan ke Adminstrasi maritim (MARAD) pada tahun 1967, Farrell Lines Inc., dan C.W. Enterprises and Investments Inc. menandatangani perjanjian pada tanggal 19 Februari 1982, Renville (APA-227) termasuk kapal yang akan dipreteli di Taiwan dan Korea Selatan.

Kenangan failed diplomacy Indonesia dengan Belanda pun turut sirna bersama kapal itu. Peristiwa Renvile 17 Januari 1948 tinggal menyisakan hikmah dan pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia dalam menjaga kedaulatan atas tanah airnya.

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com