Walaupun jadi Negara Persemakmuran, Bendera Malaysia tetap Terinspirasi oleh Majapahit
MN, Jakarta – Insiden terbaliknya bendera Indonesia di dalam buku panduan Sea Games 2017 di Malaysia menjadi trending topic beberapa hari lalu. Praktis, respons rakyat Indonesia terhadap panitia perhelatan ajang olah raga dua tahunan itu menjadi mengemuka.
Hujatan demi hujatan dilayangkan oleh anak negeri ini kepada Negeri Jiran itu, yang menambah daftar panjang sentimen konflik kedua negara sejak era Dwikora tahun 1963.
Ada yang berpendapat peristiwa itu merupakan kesengajaan untuk menurunkan mental para atlet-atlet kita. Kendati pihak pemerintah Malaysia secara resmi sudah meminta maaf kepada Indonesia atas kejadian itu, tetap saja kekecewaan mendalam dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia.
Perlu menjadi catatan untuk mengingatkan anak bangsa ini bahwa wilayah Malaysia yang membentang dari Semenanjung Malaya dan Kalimantan sebelah utara adalah wilayah Majapahit dahulunya.
Panji kebesaran Majapahit dengan warna merah bergaris-garis putih seperti yang sekarang digunakan menjadi ‘Panji Ular-Ular’ TNI Angkatan Laut banyak diadopsi oleh negara lain menjadi benderanya. Tak tanggung-tanggung, Negara Paman Sam pun dikabarkan mengadopsi warna itu untuk membangkitkan semangat kejayaannya.
Pateh Arya Gajah Mada II
Ternyata negara tetangga kita, Malaysia juga menggunakan warna itu di benderanya dengan ditambah Bintang Sabit sebagai simbol Islam dalam kotak warna biru. Bendera itu awalnya digunakan sebagai bendera Persekutuan Tanah Melayu.
Tentunya hal itu meruntut sejarah panjang di Semenanjung Malaya yang dihuni oleh berbagai kesultanan. Salah satunya Kesultanan Kelantan, di mana nama Ali Nurul Alam sebagai pendirinya, sering dikaitkan dengan Majapahit.
Dia adalah putra dari Sayyid Husain Jumadil Kubro, ulama besar keturunan Rasulullah yang merupakan penyebar Islam di Asia Tenggara dan dimakamkan di Mojokerto. Bahkan ia juga disebut-sebut sebagai Pateh Arya Gajah Mada. Perdana Mantri of Kelantan-Majapahit II 1432-1467.
Setelah fase imperium Majapahit, kesultanan-kesultanan yang ada di semenanjung ini pun pernah bersatu membantu Demak untuk mengusir Portugis dari Malaka. Namun upaya tersebut menemui kegagalan.
Hingga pembagian wilayah jajahan antara Belanda dengan Inggris pada tahun 1824.Perjanjian yang dikenal dengan Traktat London itu semakin melebarkan gap pemisah antara kepulauan Nusantara (kini Indonesia) dengan semenanjung Malaya (kini Malaysia).
Mengenal Ibrahim Yacoob
Memasuki era pergerakan di awal abad 20, kaum-kaum intelektual dari berbagai pulau di Indonesia mulai terbangun. Puncaknya pada pembacaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menyatukan seluruh kepulauan ini dengan nama Indonesia.
Kepala Lembaga Penyelamat Bangsa (LPB) Pejuang Tanpa Akhir, Agus Kodri menyatakan dalam pembacaan sumpah itu ternyata juga dihadiri beberapa tokoh dari Semenanjung Malaya yang pernah dididik oleh Perguruan Taman Siswa yang dibangun Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Para tokoh itu yang kemudian menginisiasi berdirinya Universitas Kebangsaan di Malaysia.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, muncul tokoh bernama Ibrahim Yacoob. Dia adalah pejuang kemerdekaan Malaya dari sebuah keluarga keturunan suku Bugis yang merantau ke Pahang di Semenanjung Malaya pada awal abad 19.
Dia merupakan presiden dan pendiri Kesatuan Melayu Muda (KMM) bersama Mustapha Hussain, dan merupakan tokoh politik Melayu yang menentang pemerintah kolonial Britania (Inggris) di Malaya. Ibrahim Yaacob merupakan pendukung gagasan “Indonesia Raya” yang menghendaki penyatuan Malaya dengan wilayah bekas Hindia Belanda (kini Indonesia).
Pertemuannya dengan Bung Karno dan Bung Hatta sewaktu transit kembali dari Dalat, Saigon, Vietnam pada 13 Agustus 1945 semakin menguatkan cita-cita penyatuan Semenanjung Malaya dalam lingkup Indonesia Raya.
Pada momentum itu, kedua tokoh pejuang Indonesia tersebut disambut oleh massa yang mengibarkan bendera merah putih, yang dipimpin oleh Ibrahim Yacoob dan Dr. Burhanuddin al-Hilmi, tokoh-tokoh KRIS (Kesatoean Ra’jat Indonesia Semenandjoeng). KRIS ini memang dibentuk untuk menyongsong rencana proklamasi kemerdekaan negara baru bernama Indonesia di tanah Semenanjung Malaya dan Singapura.
Dalam kesempatan itu, kedua tokoh puak Melayu Malaya tersebut menyampaikan aspirasi rakyat Malaya bahwa tanah Semenanjung bagian tak terpisahkan dari Indonesia Raya dan harus ikut dibicarakan dalam agenda pertemuan dengan penguasa militer Jepang di Dalat.
Dalam buku Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan pertemuannya dengan Ibrahim Yacoob. Bung Karno menyatakan mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
Namun sayang, beberapa hari kemudian dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), wilayah Indonesia hanya disepakati dari bekas jajahan Belanda, dari Sabang sampai Merauke. Bung Karno menyatakan nanti ada waktunya untuk diperjuangkan daerah-daeah yang berada di luar jajahan Belanda.
Banyak anggota KMM di Malaya yang kecewa. Di bulan Agustus juga, Ibrahim Yacoob dan sejumlah petinggi KMM terbang ke Jakarta untuk menemui Bung Karno dan para pemimpin Republik lainnya, menagih janji Bung Karno dan Bung Hatta yang mereka temui di Taiping, Perak, 13 Agustus 1945.
Karena kondisi yang belum menentu saat itu, Bung Karno Yacoob untuk tidak kembali ke Malaya. Ia pun bergabung ke TKR dengan pangkat Letnan Kolonel dan berganti nama menajdi Iskandar Kamel Agastja.
Oleh Bung Karno ia diberi tugas untuk membentuk Badan Intelijen SOI Seksi E (Luar Negeri). Tugas utamanya adalah membangun jaringan intelijen ke Malaya, membantu pergerakan nasionalis di Malaya; mengusahakan pengiriman senjata dari Malaya, Rangoon, dan Manila; melakukan combat inteligent di semua daerah pendudukan Belanda di Indonesia; membentuk dan memimpin GKR (Gerakan Revolusi Rakjat) di Solo menentang PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, Ibrahim bergerilya di daerah Karanganyar dan Merapi, hingga kembali ke Yogyakarta pada Agustus 1949. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Ibrahim alias Iskandar Kamel memutuskan mengundurkan diri dari ketentaraan dan bergabung ke Kementerian Luar Negeri hingga Maret 1951. Ia membentuk KEMAM (Kesatuan Malaya Merdeka) yang berjuang untuk kemerdekaan Malaya dari Indonesia.
Pada November 1955, tokoh Malaya Tunku Abdul Rahman berkunjung ke Jakarta atas undangan Bung Karno. Ketika itu, Tunku Abdul Rahman dipertemukan dengan Ibrahim Yacoob.
Namun ternyata kedua tokoh Malaya ini tetap tidak mau berkompromi, Tunku Abdul Rahman ingin Malaya merdeka di bawah naungan Persemakmuran Inggris/Commonwealth of Nations, sedangkan Ibrahim ingin Malaya bergabung dalam naungan Indonesia Raya.
Kemerdekaan Federasi Malaysia
Akhirnya pada 31 Agustus 1957, upacara penyerahan kedaulatan dari tangan Inggris ke pemerintahan Melayu digelar. Tunku Abdul Rahman, yang merupakan alumnus Universitas Cambridge didaulat menjadi Perdana Menteri pertama.
“Bahawasanya kerana telah tibalah masanya bagi umat Persekutuan Tanah Melayu ini mencapai taraf suatu bangsa yang merdeka lagi berdaulat sama setimpal kedudukannya dengan segala bangsa seluruh dunia”, begitulah bunyi pidato Tunku Abdul Rahman di hadapan ribuan warga Melayu di Stadion Merdeka, Kuala Lumpur, 31 Agustus 1957.
Sejak itu, secara de facto dan de jure, Malaysia bukan lagi jajahan Inggris. Pemasyhuran kemerdekaan itu dipersiapkan dengan matang. Pada pukul 24.00 tanggal 30 Agustus 1957, digelar upacara penurunan bendera Inggris, Union Jack, di Padang Kelab Selangor, Kuala Lumpur.
Ini untuk menandai berakhirnya penjajahan Inggris di Tanah Melayu, sekaligus menandai lahirnya Negara baru yang “berdaulat, setaraf dan setimpal dengan semua negara-negara yang berdaulat di dunia. Bendera Persekutuan Tanah Melayu yang memiliki corak bendera Majapahit pun dikibarkan.
Jakarta merespons deklarasi kemerndekaan itu tak ubahnya sebagai ‘Negara Boneka’ bentukan Kolonial Inggris. Namun sebelum fokus ke daerah itu, Iran Barat yang pada waktu itu masih dibawah cengkraman Belanda menjadi prioritas perjuangan Indonesia kala itu.
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963, barulah Indonesia fokus untuk menyelesaikan masalah Malaya. Konsep Maphilindo (Malaysia, Filipina, dan Indonesia) digagas untuk membendung arus kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara.
Namun lagi-lagi, Tunku Abdul Rahman akhirnya menolak gagasan itu. Daerah-daerah seperti Sabah, Sarawak dan Singapura pun diambilnya untuk masuk menjadi negara bagian Federasi Malaysia. Pemerintah Jakarta menyambutnya dengan operasi Dwikora.
Konfrontasi antara kedua negara secara urat saraf terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Dari sengketa perbatasan hingga masalah Sipadan dan Ligitan serta Ambalat terus menjadi dinamika yang berkembang di kawasan Indonesia-Malaysia.
Bahkan konfrontasi itu menjalar ke semua lini hingga olah raga. Pertemuan Tim Nasional Sepakbola kedua negara pun ibarat El Clasico di daratan Spanyol. Kita nantikan sampai dimana konfrontasi itu terus berkembang. Indonesia-Malaysia, bangsa serumpun bak anjing dan kucing.
Mungkinkah keduanya dapat bersatu layaknya Majapahit dahulu? Atau memang sengaja dibuat agar tak bisa bersatu? Semoga saja kebaikan bersama melingkupi kedua negara ini sebagai kekuatan baru dunia.
(Adit/MN)