KKP Akan Tindak Tegas, Terkait Ikan Predator Yang Dilepas Ke Sungai Brantas
MN, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera menindaklanjuti pemberitaan di media sosial terkait adanya pelepasan ikan Arapaima gigas di perairan Sungai Brantas, Mojokerto, Jawa Timur. Pasalnya, pelepasan predator berbahaya tersebut tersebar melalui akun facebook Firman Smiledevils Noor yang mendapat rekaman video dari Instagram seseorang bernama @angelrtanzil, pada tanggal 25 Juni 2018 lalu.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam video conference, Kamis (28/6) bersama Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina dan Plt. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo, menyampaikan sikap tegas KKP dalam menanggulangi pelepasliaran Arapaima ke perairan darat Indonesia.
KKP telah bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Jawa Timur – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Perikanan Kabupaten Mojokerto, saat ini tengah melakukan pengumpulan bahan keterangan di lokasi kejadian.
Berdasarkan penyidikan sementara, ikan Arapaima tersebut merupakan milik H. Pursetyo warga Surabaya. Setidaknya ada 30 ekor Arapaima yang tersebar di Surabaya dan Sidoarjo, dengan rincian 18 ekor pada penampungan pemilik di Surabaya; 4 ekor diserahkan kepada masyarakat dan sedang dalam proses pencarian; 8 ekor dilepaskan ke Sungai Brantas, di mana 7 ekor sudah ditangkap kembali dengan 1 ekor dalam keadaan mati dan 6 ekor dikonsumsi masyarakat, sedangkan 1 ekor lagi masih dalam proses penangkapan.
Sebagaimana diketahui, Arapaima gigas telah ditetapkan sebagai ikan asing invasif yang dilarang pemasukannya ke wilayah Republik Indonesia. Arapaima termasuk dalam 152 jenis ikan berbahaya yang dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Menteri Susi berpendapat, hal ini harus ditanggulangi secara serius dan tuntas karena keberadaan predator ini di perairan dapat membahayakan lingkungan dan ekologi. Ia meminta seluruh jajaran KKP bersama instansi terkait, termasuk Bea Cukai dan Avsec Bandara menyosialisasikan peraturan dan sanksi hukum yang bisa didapat pelaku pelanggaran.
“Peristiwa ini (regulasi dan sanksi pelepasan Arapaima) harus kita sosialisasikan, kita kampanyekan kepada masyarakat karena banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu ikan Arapaima dan kenapa tidak boleh dilepas hidup ke perairan Indonesia, di perairan sungaikah atau danaukah,” ungkap Menteri Susi.
Ia berpendapat hal ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. “Kalau kesadaran ini tidak ada, saya khawatirkan hobi-hobi (memelihara ikan invasif) begini, (ketika) nanti (pemilik) malas memelihara, malas ngasih makan karena makannya rakus (big appetite), mereka akhirnya melepas. Mungkin sepele karena enggak tega bunuh,” lanjut dia.
Namun jika dibiarkan, Arapaima yang memiliki panjang tubuh 1 – 2 meter ini dilepas ke sungai dangkal, ia dapat menghabiskan semua jenis ikan lokal yang ada di sana. Menurutnya, pelanggaran ini harus ditindak tegas.
“Kita minta BKSDA bersama BKIPM, aturan apa yang bisa dipakai untuk menjerat para pelaku seperti ini, karena kalau tidak, sumber daya sungai bisa habis karena ikan Arapaima,” imbuhnya.
Ia khawatir, keberadaan Arapaima di sungai Brantas dapat merugikan ribuan orang yang hidup dari memancing dan menjala di sungai tersebut. Keberadaannya juga dikhawatirkan dapat mengubah ekologi Indonesia.
Menteri Susi mengimbau agar barang bukti yang telah memiliki ketetapan hukum segera dimusnahkan dengan pendampingan dan pengawasan agar tidak berpindah tangan.
“Pastikan yang belum tertangkap dan masih dipelihara diambil alih KKP untuk dimusnahkan. Tidak boleh lagi dipelihara. Takut berpindah tangan dan diperjualbelikan lagi,” tutur Menteri Susi.
Sementara itu, Plt. Dirjen PSDKP Nilanto Perbowo mengatakan, KKP bersama KLHK akan memastikan pencegahan pembudidayaan Arapaima gigas melalui artificial breeding dan lolos ke perairan umum. “Jika benih yang dibudidayakan lepas ke perairan, akan sangat sulit untuk mengendalikannya,” ungkap Nilanto.
Ia mengimbau dan memaksa seluruh pemilik Arapaima gigas dan seluruh jenis ikan yang dilarang masuk untuk menyerahkan secara suka rela ikan yang merupakan top tropic level di perairan umum daratan tersebut.
Ia meminta masyarakat ikut menginformasikan dan melaporkan jika masih ada yang memelihara atau membudidayakan ikan invasif.
Adapun Kepala BKIPM Rina mengatakan, KKP saat ini juga tengah mencegah kemungkinan masuknya Aligator dan Piranha ke perairan Indonesia. Guna memberikan pemahaman yang lebih terhadap rekan media dan masyarakat, ia mengundang untuk datang ke Galeri Karantina KKP yang terdapat di Gedung Mina Bahari IV Kantor KKP, Jakarta Pusat. “Kami telah memasang beberapa display ikan yang dilarang yang berhasil didapatkan dari beberapa penggagalan sebagai edukasi bagi masyarakat,” tuturnya.
Rina mengungkapkan, aturan mengenai larangan kepemilikan ikan invasif yang dapat merusak lingkungan ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan yaitu pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) dan Pasal 86 ayat (1) dan (2).
“Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004, Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah),” tandasnya.