Kesiapan Industri Pelayaran Memasuki Era ESG

Ilustrasi Foto: KM Nggapulu (Dok Pelni)

Oleh: Dayan Hakim NS*

Istilah ESG (Environmental, Social, and Governance) saat ini sedang ramai diperbincangkan di berbagai bidang keilmuan di seluruh dunia. Perhatian pada isu lingkungan, sosial, dan tata kelola menjadikan ESG bukan sekadar konsep, tetapi standar baru untuk mengukur keberlanjutan dan tanggung jawab perusahaan. ESG membantu memastikan bahwa bisnis tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memberikan manfaat bagi lingkungan, masyarakat, dan tata kelola pemerintahan yang baik

Di Indonesia, penerapan ESG semakin relevan. Melalui POJK No. 51/2017, perusahaan jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik sudah diwajibkan membuat laporan keberlanjutan, menjadikan transparansi ESG sevbagai bagian dari tata kelola korporasi.

Dorongan global semakin menegaskan pentingnya langkah ini. CSRD (Corporate Sustainability Reporting Directive) Uni Eropa mewaijbkan perusahaan-perusahaan di Eropa – termasuk yang mengimpor barang dari Indonesia – untuk melaporkan dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola mereka secara terstandard, termasuk emisi Scope 3 dari supply chain. Hal ini berarti emisi yang dihasilkan oleh transportasi laut akan ikut diperhitungkan.

Bagi eksportir Indonesia, tekanan ini diteruskan ke penyedia jasa pelayaran, yang akan diminta menyediakan data emisi dan bukti dekarbonisasi. Dengan kata lain, CSRD menciptakan permintaan langsung terhadap transparansi dan pengurangan emisi dalam pelayaran Indonesia. Di sinilah relevansi POJK No. 51 semakin nyata, regulasi ini menyediakan kerangka lokal untuk pelaporan keberlanjutan yang dapat membantu perusahaan pelayaran menyesuaikan diri dengan tuntutat pasar global.

Mulai 2025, pemerintah juga menyiapkan peta jalan dekarbonisasi, insentif energi hijau, dan penguatan kebijakan terkait keberlanjutan. Peta jalan ini mencakup langkah nyata seperti peningkatan energi kapal, peralihan ke bahan bakar rendah karbon (LNG, biofuel, e-methanol), pemanfaatan shore power, serta digitalisasi pemantauan emisi agar data dapat dilaporkan dan diverifikasi secara transparan.  Selain itu, penerapan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) oleh Uni Eropa menambah tekanan agar rantai pasok global, termasuk pelayaran, menurunkan emisi karbon. CBAM mengenakan tarif karbon pada produk yang masuk ke pasar Eropa berdasarkan emisi yang tertanam (embedded emissions) dalam proses produksinya. Walaupun CBAM tidak secara langsung mengenakan tarif pada emisi dari kapal, emisi transportasi laut tetap memperbesar jejak karbon total produk. Akibatnya, importir Eropa bisa menghadapi biaya karbon yang lebih tinggi jika logistiknya tidak efisien.

Bagi industri pelayaran Indonesia — tulang punggung logistik nasional dan perdagangan internasional — hal ini berarti kewajiban untuk beradaptasi lebih cepat. Operator kapal yang mampu menunjukkan efisiensi energi dan emisi rendah akan lebih dipilih oleh eksportir karena membantu menurunkan jejak karbon produk dan biaya CBAM.

Sebaliknya, jika Indonesia gagal menyediakan data emisi yang transparan atau layanan pelayaran rendah karbon, maka biaya rantai pasok akan naik karena importir Eropa harus membayar tarif karbon lebih tinggi. Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi persoalan bisnis dan daya saing harga. Perusahaan Eropa, atau perusahaan global yang menjual ke pasar Eropa, akan lebih memilih mitra dari negara lain dengan rantai pasok rendah karbon untuk menjaga harga produk tetap kompetitif dan memenuhi kewajiban pelaporan di bawah CSRD.

Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia bisa menjadi kurang menarik sebagai bagian dari rantai pasok global, dan produk-produk Indonesia berisiko kehilangan akses atau menjadi terlalu mahal di pasar Eropa. Dengan demikian, kepatuhan ESG bagi industri pelayaran bukan sekadar CSR, tetapi strategi dagang untuk mempertahankan posisi Indonesia dalam perdagangan internasional.

Di sinilah peran industri pelayaran menjadi krusial. Kepatuhan ESG bukan sekadar CSR, tetapi strategi dagang untuk mempertahankan posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Dan di atas semua itu, penerapan ESG harus berjalan seiring dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Dalam industri pelayaran, keselamatan bukanlah pilihan tetapi kebutuhan mutlak. Di tengah laut yang tak mengenal kompromi, K3 adalah garis hidup setiap pelaut. Namun, di era keberlanjutan saat ini, keselamatan kerja tidak dapat lagi dipisahkan dari tiga pilar strategis perusahaan modern: ESG.

“ESG dan K3 kini menjadi satu tarikan napas. Dan di industri pelayaran yang bersentuhan langsung dengan manusia, lingkungan, dan risiko kompleks, keduanya menjadi fondasi masa depan operasional yang bertanggung jawab,”Dr. Capt. Muhammad Irwansyah, Direktur Puspinebt ICMI Orwil Jawa Barat

Keterkaitan ini sangat relevan bagi bisnis. K3 yang kuat memastikan awak kapal bekerja dalam kondisi aman dan sehat, sehingga tingkat kecelakaan kerja menurun dan disiplin operasional meningkat. Kapal yang beroperasi dengan standar keselamatan tinggi cenderung mengalami lebih sedikit gangguan, baik berupa kecelakaan, perbaikan darurat, maupun keterlambatan akibat insiden. Minimnya gangguan membuat jadwal pelayaran lebih terjaga, konsumsi bahan bakar lebih efisien, dan emisi karbon dapat ditekan.

Dalam kerangka CSRD dan standar ESG global, indikator K3 seperti tingkat kecelakaan, jam kerja aman, dan program kesehatan kru merupakan elemen penting dari pilar “S” (Social) yang wajib dilaporkan. Dengan mengintegrasikan K3 dalam laporan keberlanjutan sesuai POJK No. 51/2017 dan standar internasional seperti GRI 403 (Occupational Health & Safety), perusahaan pelayaran tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga menunjukkan komitmen melindungi awak kapal, membangun kepercayaan investor, menarik mitra dagang global yang peduli ESG, dan memperkuat daya saing di pasar internasional yang semakin menuntut transparansi sosial.

Gambar 1:  Pilar ESG

Perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya akan mengintegrasikan dan menerapkan kebijakan perusahaan, memastikan kebijakan tersebut selaras dengan keberlanjutan ketiga konsep tersebut. ESG merupakan inisiatif sektor swasta yang merespons tuntutan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang terus meningkat. Konsep investasi hijau dan berkelanjutan, yang menggabungkan ESG, tidak hanya tentang keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan manfaat perusahaan bagi lingkungan, masyarakat, dan pemerintah, yang dapat meningkatkan nilai perusahaan secara signifikan dalam jangka panjang.

Terhadap hal tersebut maka Industri Pelayaran Indonesia telah menyiapkan berbagai infrastruktur dalam menghadapi tahun 2027 dimana ESG akan resmi diterapkan di Indonesia secara menyeluruh dalam sendi perekonomian Indonesia. Persiapan pada masing-masing kriteria dapat dijelaskan sebagai berikut:

Terkait kriteria lingkungan (environment) akan menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan untuk mencapai kinerja keuangan dan operasional yang tinggi sekaligus tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal-hal yang telah dilakukan antara lain:

  • Regulasi dan Standar Baru:Industri sudah mematuhi peraturan seperti EEXI (Energy Efficiency Existing Ship Index) dan CII (Carbon Intensity Indicator) yang mewajibkan pengukuran dan peningkatan efisiensi energi serta pengurangan emisi.
  • Teknologi Hijau:Investasi pada bahan bakar alternatif seperti LNG dan pengembangan kapal dengan desain hemat energi menjadi kunci, termasuk kapal multifungsi yang lebih efisien.
  • Inovasi Digital:Penggunaan perangkat lunak dan algoritma pembelajaran mesin untuk memantau kinerja kapal secara akurat membantu dalam mengelola dampak lingkungan dan menyusun laporan ESG.

E – Environmental: Keselamatan Kerja Dimulai dari Laut yang Aman

Capt. Muhammad Irwansyah mengungkapkan pelayaran menghadapi berbagai risiko lingkungan, dari tumpahan minyak, emisi gas buang, hingga polusi suara bawah laut. Tapi di balik itu, ada ancaman nyata terhadap kesehatan pelaut yakni paparan gas berbahaya di ruang mesin, udara tercemar, hingga kondisi kerja ekstrem akibat perubahan iklim.Dengan mengintegrasikan prinsip Environmental ESG, perusahaan pelayaran tidak hanya mencegah pencemaran laut, tapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat di atas kapal.

Manajemen risiko lingkungan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem manajemen K3—karena laut yang bersih adalah tempat kerja yang aman.

Selanjutnya, terkait kriteria sosial (social) akan berupaya mengeksplorasi hubungan positif antara komunitas eksternal dan perusahaan, serta antara pekerja, pemasok produk, pelanggan, komunitas, dan sebagainya. Hal-hal yang telah dilakukan antara lain:

  • Kesejahteraan Pelaut:Perhatian pada hak-hak pelaut, jam kerja yang adil, layanan kesehatan, serta kondisi kerja yang layak dan aman menjadi fokus utama untuk menarik dan mempertahankan talenta.
  • Keanekaragaman dan Inklusi: Perusahaan didorong untuk mempromosikan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dalam tenaga kerja mereka.

S – Social: Kesejahteraan Pelaut adalah Ukuran Keberhasilan ESG

Kapal bisa bernilai jutaan dolar, tapi tanpa awak yang sehat, terlatih, dan sejahtera, hanyalah besi yang terombang-ambing. Pilar Social dalam ESG menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, hak-hak pelaut, jam kerja yang adil, tempat tinggal yang layak di atas kapal, serta akses terhadap layanan kesehatan fisik dan mental.

“Dalam konteks K3, ini berarti perusahaan harus melampaui standar minimum dan berinvestasi dalam keselamatan kerja sebagai bagian dari kepedulian sosial. Sebab menjaga pelaut berarti menjaga keberlangsungan operasional,” ujar Capt. Muhammad Irwansyah.

Terakhir terkait Kriteria Tata Kelola (Governance):

  • Transparansi dan Pelaporan:Implementasi sistem pelaporan insiden yang transparan, evaluasi risiko yang jujur, dan kepatuhan terhadap standar pelaporan ESG seperti GRI dan SASB sangat krusial.
  • Etika Bisnis: Perusahaan perlu memiliki kebijakan internal yang mencegah konflik kepentingan dan perilaku tidak etis, serta memastikan transparansi dalam praktik perpajakan.

G – Governance: Transparansi dan Tanggung Jawab dalam K3

Kriteria tata kelola perusahaan (governance) membahas kapasitas dan legitimasi perusahaan, hubungan internal, pengendalian internal, hak investor, dan sebagainya. Tata kelola (Governance) dalam industri pelayaran bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan IMO atau ISM Code. Lebih dari itu, ESG menuntut adanya sistem pelaporan insiden kerja yang transparan, pelatihan yang terstruktur, serta evaluasi risiko yang jujur dan konsisten.

Penerapan K3 yang baik mencerminkan integritas tata kelola perusahaan. Tidak cukup hanya memiliki prosedur; yang dibutuhkan adalah komitmen manajerial yang berani mengambil tindakan nyata, bukan sekadar administratif.

Pada dasarnya, implementasi ESG merupakan jenis pendekatan investasi yang dapat diadopsi di berbagai kegiatan dan entitas. Hal ini tidak terbatas pada investor; para pemangku kepentingan, aktivis masyarakat, dan pembuat kebijakan dapat menggunakan kriteria Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola sebagai model manajemen. Investasi berbasis Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG) dapat dipermudah dengan mengeliminasi perusahaan yang memiliki sentimen negatif dan memilih perusahaan yang memiliki nilai lingkungan dan sosial yang positif.

Dalam menerapkan konsep ESG pada industry pelayaran Indonesia menghadapi beberapa tantangan antara lain Biaya Investasi dan Kompleksitas. Terkait biaya investasi maka Transisi ke teknologi hijau membutuhkan investasi modal yang besar, terutama bagi industri padat modal seperti pelayaran. Sedangkan terkait kompleksitas dikemukakan bahwa Penerapan prinsip-prinsip ESG yang dinamis dan kompleks memerlukan pendekatan gabungan dari berbagai teori untuk memastikan keselarasan antar pemangku kepentingan.

Meski demikian penerapan konsep ESG pada industry pelayaran Indonesia memiliki peluang bagus dalam pengembangannya. Hal ini disebabkan adanya peluang baru yang dapat dimanfaatkan antara lain:

  • Akses Modal:Perusahaan yang proaktif dalam menerapkan ESG lebih menarik bagi investor dan mampu mengumpulkan modal untuk investasi berkelanjutan.
  • Ketahanan Rantai Pasok: ESG berperan dalam membangun rantai pasok maritim yang tangguh dan berkelanjutan untuk jangka panjang.
  • Kemitraan:Pelaporan ESG membantu menunjukkan integritas perusahaan, serta membangun kepercayaan dan keselarasan dengan harapan pemangku kepentingan.

Lebih lanjut, investor telah menerapkan strategi Investasi Tema Keberlanjutan (sustainability). Melalui strategi ini, investor tidak perlu lagi menargetkan berbagai perusahaan dan menilai keseluruhan aspek lingkungan dan sosial mereka. Calon investor hanya perlu membidik perusahaan-perusahaan di sektor tertentu yang menunjukkan sentimen lingkungan dan sosial yang positif.

Di tengah tekanan global terhadap industri pelayaran untuk menjadi lebih hijau, lebih manusiawi, dan lebih transparan, integrasi ESG dan K3 bukan sekadar tuntutan regulator, tapi panggilan etis. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa setiap pelayaran bukan hanya aman untuk laut, tetapi juga aman untuk orang-orang yang bekerja di atasnya.

Perusahaan pelayaran yang visioner akan menempatkan ESG dan K3 sebagai satu paket strategi. Karena hanya dengan budaya kerja yang selamat, sehat, dan berkelanjutan, industri ini bisa terus menavigasi dunia tanpa meninggalkan luka bagi lingkungan dan manusia.

“Pelayaran masa depan adalah pelayaran yang tidak hanya cepat dan efisien, tetapi juga bertanggung jawab terhadap manusia dan laut. ESG dan K3 adalah arah kompas kita,” kata Direktur Puspinebt ICMI Orwil Jawa Barat Dr.Capt. Muhammad Irwansyah.

Proses ini melibatkan beberapa langkah untuk menyediakan data ESG yang relevan kepada investor. Investor akan melacak metrik ESG internal, yang dapat bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya berdasarkan industri, struktur bisnis, dan prioritas. Mereka kemudian dapat menggunakan berbagai kerangka kerja pelaporan ESG untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan hasilnya. Selanjutnya, berbagai lembaga pemeringkat ESG menganalisis laporan-laporan ini dan memberikan skor ESG kepada perusahaan.

Hal ini secara bertahap akan menggeser dan memperdalam perilaku bisnis menuju ketiga konsep ESG tersebut. Diharapkan kode etik bisnis juga akan bergeser ke arah investasi hijau dan berkelanjutan. []

 

*Penulis adalah Dosen Tetap Program MM Universitas Jayabaya

 

maritimnew

Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Share
Published by
maritimnew
Tags: ESGpelayaran

Recent Posts

Digitalisasi IPC TPK Jadi Perhatian Denmark

Jakarta (Maritimnews) - Kunjungan kehormatan dari Head of Trade, Embassy of Denmark, Morten Kruse didampingi…

1 week ago

Strategi Memperbaiki LPI 2026

Oleh: Dr Dayan Hakim NS* Logistics Performance Index (LPI) adalah alat ukur penting kinerja suatu negara…

2 weeks ago

Ujang Darmen – Lukman Nurhakim Pegang Tongkat Estafet SP TPK Koja Periode 2025 – 2028

Jakarta (Maritimnews) - Setelah beberapa tahapan, tongkat Estafet kepemimpinan Serikat Pekerja (SP) TPK Koja diterima…

2 weeks ago

Pelindo Group Tanjung Priok Gelar Media Partner di Jimbaran Ancol

Jakarta (Maritimnews) - Dalam rangka meningkatkan kolaborasi antara PT Pelindo (Persero) dan Media, PT Pelindo…

2 weeks ago

Sinergi Kemendagri, OJK dan TPKAD Dorong Perekonomian Daerah

Jakarta (Maritimnews) - Langkah sinergitas dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina…

2 weeks ago

Tahun 2025, KSTKBM Pelabuhan Priok Gencar Tingkatkan Profesionalisme Pekerja

Jakarta (Maritimnews) - Manajemen Koperasi Karya Sejahtera Tenaga Kerja Bongkar Muat (KS TKBM) Pelabuhan Tanjung…

2 weeks ago