Published On: Mon, Feb 8th, 2016

Mengupas Jalur Sutera Maritim Tiongkok bagi Indonesia

UntitledJalur Sutera Maritim abad 21 (Maritime Silkroad 21st) yang dicanangkan oleh Tiongkok untuk menjadikan negara maritim yang besar memunculkan sebuah paradigma baru bagi pemerintah Indonesia akan sebuah tantangan atau potensi. Pasalnya, lawatan Presiden Joko Widodo dalam forum Kerjasama Tingkat Tinggi Ekonomi Asia Pasific (APEC), di Beijing, Tiongkok, Selasa, 11 November 2014 menunjukan suatu kerjasama serius untuk mensinergiskan antara Jalur Sutera Maritim dengan tol laut.

Setahun sebelumnya, pada Oktober 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinping meluncurkan inisiatif Jalur Sutera Maritim Abad ke-21 di Gedung DPD, Jakarta. Maknanya, memang sudah sejak lama Indonesia diincar oleh Tiongkok untuk dapat berkolaborasi mengenai pembangunan Jalur Sutera Maritim.

Gayung bersambut kata  terjawab, Pemilu 2014 lalu dimenangkan oleh Joko Widodo yang mengusung visi poros maritim dunia dengan tol laut sebagai turunannya. Otomatis Presiden Jokowi merespons total tawaran Tiongkok yang telah dilakukan jauh hari sebelmnya. Membangun tol laut memerlukan anggaran yang tidak sedikit, maka merapat ke Tiongkok menjadi suatu solusi yang dapat diandalkan dalam memuluskan konsep tersebut.

Landasan Historis

Jalur Sutra atau sī chóu zhī lù, atau dalam Bahasa Persia Râh-e Abrisham adalah sebuah jalur perdagangan melalui Asia Selatan yang dilalui oleh karavan dan kapal laut, dan menghubungkan Chang’an, Republik Rakyat Tiongkok, dengan Antiokhia, Suriah, dan juga tempat lainnya. Sekalipun baru dibuka resmi pada Abad-3SM di masa Dinasti Han yang mulai mengirim utusan ke berbagai negara Asia Selatan dan Timur Tengah, namun Jalur Sutra sudah ada jauh sebelumnya.

Jalur Sutra sendiri terdiri dari banyak jalur yang bercabang-cabang, dan digunakan untuk perdagangan berbagai komoditi selain sutera seperti gading, tanaman, dan emas. Pada jalur utara perdagangan menghubungkan Tiongkok dengan Eropa hingga Laut Mati, melalui Urumqi dan Lembah Fergana. Jalur Tengah menghubungkan Tiongkok dengan Eropa hingga tepian Laut Mediterannia melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, hingga menuju Persia. Jalur Selatan menghubungkan Tiongkok dengan Afghanistan, Iran dan India, melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir.

Pada era modern seperti sekarang, saat volume perdagangan semakin meningkat maka jalur darat pun beralih pada jalur maritim sehingga digagas jalur sutera maritim yang menghubungkan Tiongkok dengan Timur Tengah serta Eropa.

Hubungan Indonesia – Tiongkok

Antara Indonesia (dulu Nusantara) dengan Tiongkok bukan hal baru ketika bicara hubungan bilateral. Sejak zaman Sriwijaya hingga masa Laksamana Cheng Ho dan kemudian Sunan Gunung Jati di Jawa keduanya kerap melakukan hubungan baik perdagangan maupun pertukaran budaya serta agama.

Ketika Republik Indonesia berdiri pada tahun 1945, tercatat beberapa hubungan bilateral pernah dilakukan keduanya. Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang mengakui berdirinya Tiongkok baru dibawah pemerintahan komunis. Indonesia secara resmi mengakui kedaulatan Tiongkok pada 15 Januari 1950.

Kemudian di 1953, Indonesia mengirim Arnold Manonutu sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Beijing, yang diikuti dengan penandatanganan nota kerjasama Indonesia dengan Tiongkok. Di awal tahun 1960 tercipta poros Jakarta-Peking yang berkembang menjadi poros Jakarta-Peking-Pyongyang.

Kemudian Indonesia pernah memperjuangkan mati-matian Tiongkok sebagai anggota Dewan Keamanan tetap di PBB yang berujung pada keluarnya Indonesia dari forum itu pada 7 Januari 1965. Di era Orde Baru, pada Oktober 1967 di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia melakukan pembekuan hubungan bilateral serta hubungan dagang dengan Tiongkok. Pasca naiknya Deng Xiaoping sebagai pemimpin baru Tiongkok, maka di tahun 1980-an normalisasi hubungan Jakarta-Beijing mulai disuarakan. Namun keinginan tersebut ditentang oleh berbagai kalangan, terutama Soeharto, Departemen Pertahanan dan Keamanan serta kelompok Islam.

Namun pada tahun 1990, di era Soeharto pula upaya normalisasi kembali dilakukan yang ditujukan untuk menggalakkan ekspor non-migas yang tidak hanya memasuki pasar Jepang dan Barat namun China sebagai negara dengan populasi terpadat juga memiliki potensi pasar yang besar bagi produk Indonesia.

Pasca reformasi, seiring proses perubahan arah kebijakan, Indonesia melihat Tiongkok sebagai sebuah harapan. Naiknya Presiden BJ Habibie merupakan sebuah transisi proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri Indonesia, namun masa pemerintahannya sebagian besar masih terfokus perihal peningkatan citra Indonesia di lingkup internasional.

Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan saat dimana Tiongkok mendapat kedudukan istimewa dalam politik luar negeri Indonesia yang bukan hanya mengarah pada politik dan ekonomi, namun budaya turut menjadi prioritas. Pada masa ini, pertama kali Hari Raya Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional.

Hubungan itu terus berlanjut pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo, apalagi dalam menyambut era maritim seperti saat ini. Seakan mengulang sejarah, Presiden Joko Widodo mempererat dirinya dengan Tiongkok guna menuju pencapaian yang besar.

Tinjauan Jalur Sutera Maritim

Menyoroti pemanfaatan Jalur Sutera Maritim Tiongkok oleh Indonesia, analis Pertahanan Universitas Indonesia (UI) Dr Connie Rahakundini Bakrie menilai langkah tersebut tidak seharusnya dilihat sebagai suatu ancaman.

“Jika hal ini dapat mendorong kita membangun kekuatan maritim yang mandiri karena secara geografis, Tuhan telah menganugerahkan suatu posisi yang sangat strategis sebagai poros atau sumbu jalur pelayaran dan perdagangan dunia. Bagaimana posisi strategis tersebut dapat dimanfaatkan Tiongkok atau negeri lain pengguna laut, maka PR (Pekerjaan Rumah-red)  kita adalah bagaimana kita dapat serta merta memperoleh manfaat sebesar-besarnya, didukung oleh kemampuan yang harus dibangun dan peluang yang ada,” ungkap Connie.

Menurutnya, dalam memanfaatkan peluang tersebut, pemerintah telah menggunakan dua pendekatan sekaligus, yakni inward looking dengan konsep tol lautnya dan outward looking dengan konsep poros maritimnya yang  menekankan pada kekuatan pembangunan Sea dan Air Power berkelas 1st Class.

Mengingat negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan dan mengelola laut baik ruangnya maupun kekayaan alamnya serta letaknya yang strategis dengan kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan peralatan yang dimilikinya, maka Connie mengacu pada Alfred Thayer Mahan yang mengatakan “If a country be imagined having a long seaboard, but entirely without  a harbor, such a country can have no sea trade of its own, no shipping, no navy.….. Numerous and deep harbors are a source of strength and wealth.”.

“Tantangan kita terkait pada upaya dan memperkuat status ke arah negara maritim yang harus didukung oleh kemampuan kita dalam merancang dan membangun kemampuan untuk dapat mengelola maritim dan wilayah dirgantara untuk kepentingan nasional. Untuk itu dituntut masyarakat yang sadar dan peduli akan berbagai permasalahan keamanan maritim dan dirgantara yang mengancam kepentingan nasional, stabilitas kawasan serta dunia, karena saat ini kita sudah memasuki  generasi perang modern maka kebutuhan informasi yang semakin luas dan realtime semakin tak terelakan,” cetusnya.

Dr Connie Rahakundini Bakrie (kedua dari kiri)

Dr Connie Rahakundini Bakrie (kedua dari kiri)

Selanjutnya, Wakil Ketua ILUNI itu menghendaki agar pemerintah memiliki keberpihakan pada industri bahari melalui akses modal untuk modernisasi, pendidikan sumber daya manusia, dan investasi infrastruktur mandiri.

“Seluruh kemampuan sebenarnya sudah kita kuasai. Perubahan kebijakan dan regulasi hingga ke daerah dalam kerangka otonomi harus dilakukan terlebih dahulu agar terjadi sinergi dan kekompakan untuk mewujudkan cita-cita bersama, yang terpenting adalah bahwa keuntungan terbesar itu harus bersirkulasi di daerah bukan lari ke pusat seperti selama ini terjadi,” paparnya.

Adanya anggapan bahwa ketika Indonesia memasuki lingkaran Jalur Sutera Maritim Tiongkok maka akan menjadi poros maritim dunia-nya Tiongkok. Hal itu dibantah oleh wanita yang aktif mengajar di Sekolah Staf Komando AL dan AU ini.

“Wah… jadi negara sedemikian strategis ditempatkan Tuhan kok tidak punya PD (Percaya Diri-red) sama sekali? Dibalik dong cara berfikirnya, bagaimana dengan adanya jalur tersebut maka sekarang semakin  jelas bahwa kita memerlukan kemampuan maritim yaitu kemampuan ekonomi, politik, dan militer yang dapat diwujudkan pada pengaruhnya dalam menggunakan laut untuk kepentingan nasional serta mencegah penggunaan laut oleh pihak lain yang merugikan,” tandasnya.

Pembangunan Infrastruktur

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif pada Institute For Defense and Security Studies ini menegaskan perlunya merumuskan peluang-peluang yang pada dasarnya diorientasikan pada kepentingan para pengguna poros maritim dunia, antara lain penyediaan pelabuhan yang mumpuni.

“Pembangunan pelabuhan beserta sarananya merupakan peluang yang dapat digali agar para pengguna laut lebih memilih berhenti sementara waktu di lndonesia untuk memenuhi kepentingannya atau bahkan menjadikan lndonesia sebagai tempat transit barang muatan utama. Jika Singapura dan Port Klang Malaysia saja bisa kenapa kita tidak?” pungkas Connie.

Senada dengan Connie, mantan Kasal tahun 2002-2005 Laksamana (Purn) Bernard Kent Shondakh berpandangan bahwa Jalur Sutera Maritim merupakan peluang yang sangat baik dalam membangun kemaritiman Indonesia.

“Tiongkok dia mau bergerak dengan siapa pun juga pasti dia lewat Indonesia, apalagi sumber energi dia ada dari Timur Tengah, kalau dia mau muter lewat Pasifik bisa saja tapi mahal. Kita harus manfaatkan benar-benar itu, karena memang saat ini merupakan moment yang tepat,” kata Bernard.

Namun, dibalik itu pria kelahiran Tobelo 68 tahun silam ini mengingatkan pemerintah menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan-permasalahan maritim kita saat ini. “Bagus itu pemikiran mengenai bagaimana memadukan antara Julur Sutera Maritim Tiongkok dengan poros maritim Indonesia. tetapi tidak semudah itu, kita masih ada masalah di laut dan itu harus disiapkan benar dan diselesaikan segera,” cetusnya.

Laksamana Purn-Bernard Kent Shondakh

Laksamana Purn-Bernard Kent Shondakh

Menurutnya, diantara permasalahan-permasalahan maritim yang masih menyelimuti negara kita antara lain masalah infrastruktur, regulasi, buruknya birokrasi, dan hal-hal lain yang menghambat laju pembangunan maritim nasional.

“Sebenarnya memang semuanya sudah kacau, misalnya dalam hukum laut internasional hanya ada dua instansi yang berwenang di laut yaitu navy dan coast guard. Dan kita sudah mengenal coast guard sejak zaman belanda seharusnya tidak perlu lagi ada Bakamla. Seharusnya kita memperkuat KPLP dan bukan dibawah Kementerian perhubungan. Kalau negara pemilik atau negara pantai tidak mampu mengurusi keamanan maritimnya maka kita harus menyerahkan kepada negara lain dan itu jangan sampai terjadi,” tegas Kasal zaman Megawati ini.

Sementara itu dalam pembangunan industri jasa maritim, Indonesia masih memiliki banyak kelemahan diantaranya masalah kredit. “Kalau kita gak punya galangan kapal dan hanya beli-beli tok pecuma kita sebagai negara maritim. Kita juga harus punya lembaga financial-nya sendiri dan jangan disamakan dengan bank, dengan bunga antara 13%-17%, ya bangkrut kalau seperti itu. Harusnya pemerintah yang pegang itu, Bunga ideal sekitar 3,5%. Di Tiongkok hanya 1,5% maka dari itu industri jasa maritimnya berjalan dengan pesat,” tandasnya.

Maka dari itu penulis menunggu perkembangan lebih lanjut dari sinergisitas kedua program ini. Tentunya kita melihat bahwa kepentingan nasional merupakan hal yang utama. Jangan sampai dalam hubungan bilateral yang kian mesra itu saat ini terjadi lebih besar pasak dari pada tiang.

* Oleh: Adityo Nugroho

*Redaksi Maritimnews.com, Penulis Kemaritiman Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Displaying 1 Comments
Have Your Say
  1. irjan says:

    artikel yang sangat menarik..

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

alterntif text
Connect with us on social networks
Recommend on Google
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com