Published On: Sun, Jun 12th, 2016

Save, Harta Karun Laut Halmahera

Oleh: Lestari Kurniawati1

Prof. Dr. Nadiroh²

Hemiscyllum halmahera, salah satu spesies hiu berjalan Sumber: kompas.com

Hemiscyllum halmahera, salah satu spesies hiu berjalan Sumber: kompas.com

MNOL – Degradasi keanekaragaman hayati di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Banyak species yang harus menghadapi ancaman kepunahan akibat kerusakan ekosistem. Meski pemerintah telah berinisiatif untuk memimpin upaya konservasi, sebagian besar ekosistem laut Indonesia yang luas ini masih berada dalam krisis yang amat parah.

Dengan 17.504 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Garis pantainya mencapai 95.181 km², terpanjang di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia. 65% dari total 467 kabupaten/kota yang ada di Indonesia berada di pesisir. Pada 2010, populasi penduduk Indonesia mencapai lebih dari 237 juta orang, dimana lebih dari 80% hidup di kawasan pesisir.

Kepulauan Indonesia terbentang antara terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 km² atau sekitar 18% dari total kawasan terumbu karang dunia. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia, di wilayah yang lazim disebut segitiga karang (coral triangle). Terumbu karang Indonesia di kawasan segitiga karang adalah salah satu yang terkaya dalam

keanekaragaman hayati di dunia, rumah bagi sekitar 590 spesies karang keras (www.greenpeace.or.id). Selain itu, Centre on Biological Biodiversity mencatat bahwa 10% dari spesies bunga di dunia berada di Indonesia, begitu pula dengan 12% mamalia, dan 16% reptil. Kemudian terdapat 1.592 spesies burung dan setidaknya 270 spesies amphibi hidup di Indonesia (http://www.kehati.or.id)

Indonesia seharusnya mampu menjadi sejahtera jika serius memanfaatkan dan mengelola keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Secara Internasional, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya pada 24 September 2013, di mana Pemerintah akhirnya meratifikasi UU No. 11 tahun 2013 mengenai Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai National Focal Point berfungsi sebagai koordinator dan penghubung ke Sekretariat Convention for Biological Diversity (CBD) di Montreal. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan SK Dirjen KP3K No. Kep.44/KP3K/2012 tanggal 9 Oktober 2012 tentang Pedoman Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai dasar untuk pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan.

Akan tetapi dalam perkembangannya, keanekaragaman hayati belum menjadi arus utama pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Bahkan kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung belum menjadikan keanekaragaman hayati sebagai isu utama. Di sisi lain, kerusakan lingkungan terus bermunculan, serta mempengaruhi laju kepunahan sehingga mengurangi kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity).

Manusia termasuk aktor utama yang mengubah semua bentangan alam, termasuk semua ekosistem alamiah. Sejumlah besar spesies sudah (dan sedang) punah, siklus hidrologi dan kimia terganggu, lapisan tanah paling atas hilang, keanekaragaman genetika berkurang dan iklim di bumi tengah terganggu. Tampaknya, ledakan populasi manusia yang demikian pesat telah menjadikan sumber daya planet bumi semakin sekarat.

Aktivitas dari 5,7 miliar penduduk dengan pertumbuhannya yang mencapai 96 juta/tahun (260.000/hari), telah menjadi ancaman bagi banyak sistem ekologi di planet bumi (Meffe et al., 1997 dalam http://tabloidjubi.com). Sebagai akibatnya, keanekaragaman hayati yang merupakan hasil penting dari sebuah proses evolusi yang berlangsung selama miliaran tahun akan menurun tajam. Salah satu dari sekian banyak species yang terkena imbasnya adalah  Hiu berjalan (Hemiscyllium sp.).

Hemiscyllium halmahera (H. halmahera) adalah sebuah spesies hiu bambu yang ditemukan di Indonesia. Spesies ini pertama kali dilaporkan ketika ditemukan dua spesimen tersebut di dekat Pulau Halmahera, Kepulauan Maluku. Spesies ini cukup mirip dengan Hemiscyllium galei yang ditemukan di Papua Barat. H. halmahera berjalan di dasar laut dan memiliki banyak bintik berwarna kegelapan menyelubungi kulitnya (http://www.biologi.lipi.go.id).

Ukuran tubuhnya relatif kecil, dan ini terbukti pada spesimen yang pernah tertangkap, yaitu berukuran 70 cm. Hiu ini bergerak dengan “berjalan” di dasar laut menggunakan sirip pektoral dan sirip pelvis mereka. Secara umum, warna kulit hewan tersebut adalah coklat dengan kulit dihiasi oleh bintik-bintik poligonal berwarna gelap. Bintik-bintik berwarna putih juga ditemukan dengan jumlah yang relatif sedikit (lebih kecil dari 10), pada jarak antara bintik poligonal berwarna gelap.

Pada hiu ini, ditemukan bintik hitam berukuran relatif besar pada daerah moncong, sepasang tanda gelap pada bagian ventral (bagian bawah) kepala, dan belang berbentuk huruf “U” pada bagian atas (dorsal). Ditemukan juga tanda horizontal berwarna gelap berjumlah 7 hingga 8, di antara abdomen (perut) dan dasar sirip kaudal (caudal-fin base). Pada seekor H. halmahera, biasanya ditemukan 25 buah bintik hitam pada permukaan atas kepala.

Penamaan hiu berjalan didasarkan pada gerakannya yang lebih mirip gerakan berjalan yang dilakukan oleh satwa darat. Hiu ini berjalan dengan meliukkan keempat siripnya yang sekilas nampak seperti kaki berjalan.

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Upakelas: Elasmobranchii
Ordo: Orectolobiformes
Famili: Hemiscylliidae
Genus: Hemiscyllium
Spesies: H. halmahera
Nama binomial
Hemiscyllium halmahera
Allen, G.R., Erdmann, M.V. & Dudgeon, C.L., 2013

Meskipun bisa berenang, tetapi kemampuan berenangnya hanya digunakan sesekali untuk menghindarkan diri dari predator. Hiu berjalan tergolong hiu yang jinak dengan makanan utamanya adalah udang, kepiting, dan hewan-hewan kecil laut lainnya. Untuk membantu menggerus makanan bercangkang, hiu ini dilengkapi gigi khusus. Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal. Istilah hiu berjalan sendiri tergolong baru. Dahulu, ilmuwan biasa menyebutnya hiu tokek.

Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah H. ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H. freycineti), Australia pada tahun 1843 (H. trispeculare), dan Papua Nugini pada tahun 1967 (H. hallstromi dan H. strahani). Dalam satu dekade terakhir sebelum temuan kali ini, ditemukan tiga spesies hiu berjalan baru, di Kaimana (H. henryi) dan Cendrawasih (H. galei) tahun 2008, seta Papua Nugini (H. michaeli) tahun 2010. Adapun taksonomi dari hiu berjalan yang berasal dari Halmahera disajikan sebagai berikut:

Hingga saat ini baru diketahui 9 spesies hiu berjalan. Dari 9 spesies tersebut, 6 diantaranya hidup di wilayah perairan laut dangkal Indonesia. Jenis daerah sebaran dan status konservasi masing-masing jenis, yaitu:

  • Hemiscyllium freycineti(Indonesian speckled carpetshark); hidup di Perairan Raja Ampat, Papua Barat dengan status konservasi Near Threatened.
  • Hemiscyllium galei; hidup di teluk Cenderawasih, Papua Barat dengan status konservasi Data Deficient.
  • Hemiscyllium halmahera; hidup di perairan Halmahera, Maluku Utara.
  • Hemiscyllium henryi; hidup di Teluk Triton, Kaimana, Papua Barat dengan status konservasi Data Deficient.
  • Hemiscyllium ocellatum (Epaulette shark); hidup tersebar di perairan utara Australia, dan selatan perairan Papua (Indonesia) dan Papua Nugini. Status konservasinya Least Concern.
  • Hemiscyllium trispeculare(Speckled carpetshark); hidup tersebar di perairan utara Australia, dan dimungkinkan terdapat di perairan Maluku Utara (Indonesia) dan Papua Nugini bagian timur. Status konservasinya Least Concern.
  • Hemiscyllium michaeli(Milne Bay epaulette shark); Papua Nugini dengan status konservasi Near Threatened.
  • Hemiscyllium hallstromi(Papuan epaulette shark); hidup di Papua Nugini dengan status Vulnerable.
  • Hemiscyllium strahani(Hooded carpetshark); hidup di sepanjang perairan timur Papua Nugini dengan status Vulnerable.

 

Hiu berjalan akan mampu menjadi daya tarik wisata di perairan laut dangkal. Dengan sifatnya yang cenderung ‘jinak’ ketimbang jenis hiu pada umumnya serta keunikan pola warna tubuh dan cara bergeraknya di dasar laut yang mirip berjalan bisa menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi para penyelam. Menurut Agus Dermawan (Direktur Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan) mengatakan bahwa harta karun laut seperti hiu berjalan, memiliki nilai ekonomi besar bila dipelihara kelestariannya.

Hiu yang dibiarkan hidup menjadi obyek wisata bahari memberi sumbangan devisa Rp 300 juta hingga Rp 1,8 miliar per tahun. Sedangkan jika dibunuh untuk mendapatkan siripnya, nilainya hanya Rp 1,3 juta per ekor. Banyak spesies hiu dan jenis ikan lainnya di perairan Indonesia timur terancam oleh praktek perikanan yang tak ramah lingkungan, seperti pengeboman ikan dan penangkapan hiu untuk mendapatkan siripnya.

Dalam publikasi penemuan di Journal of Ichtyology, Juli 2013, Erdmann mengungkapkan bahwa hiu berjalan mungkin tidak sanggup mengatasi banyak hambatan di lautan. Dengan keterbatasan tersebut, pertanyaan tentang keberadaan hiu berjalan di Halmahera muncul. Bagaimana bisa spesies yang semula tersebar hanya di Papua dan Australia bagian utara itu bisa terdapat juga di Halmahera yang berjarak 300 kilometer ke barat?

Publikasi menyebutkan bahwa sangat mungkin spesies H. halmahera yang ada kini merupakan keturunan dari moyangnya yang hidup di salah satu fragmen wilayah Halmahera yang dulu masih berdekatan dengan Papua. Salah satu teori mengungkapkan, ada fragmen wilayah Halmahera dahulu berdekatan dengan Papua.

Namun, pada masa Miocene dan Pleistocene, fragmen itu bergerak menjauh ke barat, mencapai wilayahnya kini pada beberapa juta tahun lalu. Akibat proses tersebut, moyang H. halmahera seperti terseret ke wilayahnya sekarang, sedemikian sehingga jenis itu terus berkembang dan bisa eksis di perairan Halmahera hingga saat ini.

Pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengungkapkan bahwa skenario geologi yang kemudian mempengaruhi biodiversitas Halmahera itu “sangat mungkin.” Menurutnya, Halmahera setidaknya dipengaruhi oleh lempeng Filipina dan subduksi ganda yang berada di tengah wilayahnya. Subduksi ganda adalah pertemuan antar dua lempeng yang saling mendorong satu sama lain. Subduksi ganda seperti di Halmahera hanya sedikit keberadaannya di dunia (http://staff-site.umm.ac.id).

of Ichtyology Penyebaran hiu genus Hemiscyllum. H. freycineti (lingkaran kuning), H. galei (tanda bintang putih), H. henryi (tanda bintang kuning), H. hallstromi (kotak putih), H. halmahera (lingkaran hijau), H. strahani (kotak merah), and H. michaeli (lingkaran merah).

of Ichtyology Penyebaran hiu genus Hemiscyllum. H. freycineti (lingkaran kuning), H. galei (tanda bintang putih), H. henryi (tanda bintang kuning), H. hallstromi (kotak putih), H. halmahera (lingkaran hijau), H. strahani (kotak merah), and H. michaeli (lingkaran merah).

Kawasan Maluku dan Papua adalah surga biodiversitas. Dengan kekhasan dan endemisitasnya, hiu berjalan ini layak mendapatkan perlindungan khusus. Perlindungan tersebut tidak hanya memberikan manfaat bagi eksistensi spesies itu sendiri. Bak harta karun yang bila ditemukan akan memperkaya pemiliknya, demikian pula halnya dengan hiu berjalan di Halmahera ini.

Perilaku hiu berjalan meliuk dengan siripnya selama ini banyak menarik perhatian penyelam, karena terlihat lucu, menggemaskan dan unik. Bila dipelihara kelestariannya, Pemerintah Provinsi Maluku bisa memanfaatkan spesies H. halmahera sebagai aset pariwisata bawah laut. Paket wisata, seperti walking shark sighting akan jadi pilihan wisata yang bernilai jual tinggi.

Namun, biodiversitas itu kini menghadapi ancaman, tidak hanya oleh aktivitas di laut, tetapi juga di daratan. Aktivitas, seperti: program reklamasi pantai, pembangunan di kawasan pesisir, pembuangan limbah dari berbagai aktivitas di darat maupun di laut terutama sampah plastik, sedimentasi akibat rusaknya wilayah hulu dan daerah aliran sungai, pertambangan, penangkapan ikan merusak yang menggunakan sianida dan alat tangkap terlarang, pemutihan karang akibat perubahan iklim, serta penambangan terumbu karang, telah mengakibatkan kerusakan ekosistem laut yang sangat tinggi.

Secara umum, faktor yang paling banyak mempengaruhi habitatnya adalah faktor manusia, yang banyak melakukan pembangunan tidak ramah lingkungan di beberapa tahun terakhir ini. Hiu Halmahera, si harta laut yang langka, bisa menyejahterakan atau bahkan dapat hilang sia-sia. Semua itu tergantung bagaimana kita memperlakukannya.

Sebagaimana Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa “Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini, saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita pada masa lalu bisa kembali membahana.”

Satu hal yang perlu diingat bahwa belum semua harta karun laut timur Indonesia yang terungkap. Bila Hiu Halmahera yang berasal dari kawasan Segitiga Terumbu Karang ini sampai hilang, maka boleh jadi, Indonesia juga akan kehilangan harta lainnya yang belum diketahui. Karena itu, seharusnya pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah harus lebih sensitif terhadap ekologi laut.

Konsep pembangunan berkelanjutan dirumuskan untuk mengkritisi krisis ekonomi, termasuk pangan, air, dan energi. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan sendiri.

Konsepnya dirancang agar tidak merusak sistem alam, seperti; atmosfer, air, tanah, dan makhluk hidup. Selain itu, mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, mengendalikan eksploitasi sumber daya alam, dan berkeadilan, sehingga semboyan “Blue Sky Blue Ocean” yang berarti ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap biru dapat terealisasi. “Pembangunan infrastruktur yang ‘sustainable development’ ini akan menjaga habitat biota laut, dalam arti tidak merusak ekosistem laut”. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka generasi mendatang masih akan dapat merasakan kekayaan laut negeri kita tercinta.

So, save “harta karun laut Halmahera”!!!

 

1Penulis adalah Staf Pengajar Sains di 245 Junior High School (Jakarta Selatan) dan Mahasiswa Pasca Sarjana (S3) Program Studi Manajemen Lingkungan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

²Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Dosen Pengampu Mata Kuliah: Analisis Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya Alam, pembimbing penulis.

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

alterntif text
Connect with us on social networks
Recommend on Google
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com