Polemik STIP, Kementerian Perhubungan harus turut Bertanggung Jawab
MN, Jakarta – Kementerian Perhubungan sudah memporak-porandakan Pendidikan Perwira Pelayaran Niaga tertua di negeri ini lewat tangan BPSDM Perhubungan. Jika dahulu lulusan STIP selain mendapatkan ijazah ANT3 atau ATT3 juga mendapatkan ijazah diploma, maka sekarang ini seorang lulusan sekolah pelayaran seperti STIP atau yang setara hanya mendapatkan ijazah ANT3 atau ATT3 saja. Mereka harus berlayar 2 tahun baru bisa mengambil sekolah lagi untuk ijazah S1 atau D4 mereka.
Demikian pidato anggota Komisi V DPR RI Bidang Transportasi Capt. Anthon Sihombing dalam acara konsolidasi Alumni AIP/ PLAP/ STIP di Marunda pada Minggu 22 Januari 2017 lalu.
Pidatonya di hadapan ratusan alumni yang hadir di ruang auditorium STIP Marunda itu sesuai dilansir dari website www.emaritim.com, juga membahas seputar kegiatan STIP dan CAAIP.
Pasalnya, STIP selaku sekolah pelayaran tertua di negeri ini baru saja dihadapkan dengan kasus meninggalnya seorang siswa tingkat satu bernama Amirulloh Adityas Putra (18 tahun) setelah dianiaya oleh seniornya.
Politisi kawakan dari Partai Golkar ini, lebih lanjut mengatakan bagaimana di tahun 2016 ada 25 orang dosen-dosen dan pembina-pembina Taruna terbaik STIP dipindahkan secara eksodus dari STIP ke badan-badan pendidikan lainnya antara lain ke Padang, Aceh dan daerah lainnya tanpa pengganti.
“Ini tidak perlu terjadi karena di badan-badan tersebut ijazah S2 terlalu tinggi, sementara tempat yang memerlukan mereka seperti STIP malah tidak diberikan pengganti. Ini semua kebijakan dari kepala BPSDM Perhubungan (Wahyu Satrio Utomo-red) yang mulai tahun 2007 sudah menjabat menjadi Sekretaris Badan dan sekarang sudah 3 tahun menjadi Kepala BPSDM,” kata Capt. Sihombing.
Padahal zaman Presiden Soekarno AIP/PLAP/STIP itu didirikan setara dengan Kings Point Amerika dan merupakan Pendidikan Perwira Pelayaran termaju di Asia. Taruna yang meninggal sudah ke 3 kali di STIP dan di Semarang tahun 2015 sementara yang terakhir 2016 di Diklat GRATI Pasuruan meninggal 2 orang dan ini tidak diekspos.
“Sangat banyak langkah BPSDM dengan sengaja atau tidak men-down grade STIP, jadi dengan kasus di STIP setidaknya bukan hanya Direktur STIP yang diberikan sangsi tapi Kepala BPSDM juga harus di ganti,” imbuhnya.
“Kepala BPSDM yang selalu otoriter agar diganti karena dia juga bertanggung jawab juga atas kejadian di Marunda. Pembagian kurikulum untuk jurusan Ketatalaksanaan dibagi antara lain untuk pelajaran container dan konvensional dan lain sebagainya, sehingga lulusannya semakin terkotak-kotak. BPSDM selama ini bukan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia tapi Pengkerdilan SDM Perwira Pelayaran Niaga,” ujarnya dengan keras.
Ketua Dewan Pakar Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP) yang juga pernah menjadi Ketua Komisi Tinju Indonesia ini juga menyoroti soal KSOP yang ada di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Menurutnya KSOP harus diisi oleh orang orang berkualitas yang berkompeten.
“Kalau yang dilantik adalah orang-orang dengan back ground yang tidak qualified dan tidak kompeten, maka apa yang akan dipertanggung jawabkan mereka terhadap pekerjaan nya?” tandas dia.
Dirinya menghimbau agar Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran untuk menyurati Menteri Perhubungan agar memberikan tempat kepada Alumni AIP yang ada di militer selama ini.
“CAAIP harus surati Menteri Perhubungan untuk masalah ini,” pungkasnya.
Soal kekerasan yang terjadi di STIP turut menambah raport merah perjalanan kemaritiman Indonesia. Terlebih usai terjadinya kecelakaan KM Zahro Express yang menewaskan 23 orang dan 17 orang belum ditemukan.
Hal ini tentu menjadi sorotan beberapa kalangan terkait hulu dan hilirnya pembangunan kemaritiman Indonesia. Lembaga pendidikan seperti STIP merupakan hulu pembangunan SDM maritim yang berkwalitas dan berkompeten.
Manajer Senior di Divisi Asset PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Ir. Sjaifuddin Thahir, MSc menyatakan agar pola pendidikan di sekolah-sekolah maritim seperti STIP misalnya tidak menonjolkan aspek kekerasannya.
“Seharusnya orang yang ingin menjadi pelaut butuh kenyamanan semaksimal mungkin. Karena punya niat menjadi pelaut saja itu sudah suatu apresiasi yang luar biasa apalagi kita sebagai negara maritim,” ujar Thahir biasa akrab disapa.
Pria lulusan Perkapalan ITS ini melihat sekolah-sekolah pelayaran di berbagai negara yang menerapkan pola demikian. Artinya disiplin dan tegas itu bukan dengan melalui kekerasan.
“Kita jadi salah kaprah, kedisiplinan selalu dikaitkan dengan kekerasan sehingga ini bisa jadi ajang balas dendam dan perpeloncoan dari senior ke junior,” tambahnya.
Dalam hal ini, ia selaku pengamat maritim, sangat mendukung perbaikan-perbaikan pola yang ada di STIP saat ini. Salah satunya dengan mengikuti ketentuan-ketentuan berdasarkan aturan International Maritime Organization (IMO).
“Intinya kita harus taat dengan aturan-aturan yang berlaku baik nasional maupun internasional seperti IMO. Di mana ada Standards of Training, Certification and Watchkeeping (STCW) Amandemen Manila 2010. Karena ini berkaitan dengan citra Indonesia di dunia internasional,” imbuhnya. (Tan/MN)




















