Upaya Atasi Perompak di Perairan Perbatasan Indonesia-Filipina (Bagian I)
Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH.
MN – Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) Negara, satu diantaranya berbatasan dengan Filipina . Di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina ini intensitas ancaman kejahatan lintas negara bervariasi dan dapat digolongkan menjadi 8 jenis kejahatan lintas negara yaitu: perdagangan Narkoba, perdagangan manusia, Perompakan/Sea Robbery, penyelundupan senjata, pencucian uang/money laundry, terorisme, kejahatan ekonomi internasional, dan kejahatan siber. Untuk mengatasi kejahatan lintas negara tersebut perlu kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
Secara geografi posisi Indonesia sangat strategis dan memiliki wilayah perairan yang berbatasan dengan negara lainnya, seperti Alur Pelayaran Sibutu yang merupakan Selat perbatasan antara Filipina dan Malaysia namun berdekatan dengan perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina serta merupakan alur pelayaran yang menuju atau dari Selat Makasar (ALKI 2). Alur Pelayaran Sibutu selain dilewati kapal-kapal yang berlayar dari atau menuju ALKI 2, juga posisi selat tersebut berada di sekitar Kepulauan Sulu yaitu Pulau Tawi-Tawi, Pulau Jolo dan Pulau Basilan yang merupakan basis kelompok Abu Sayyaf.
Tindakan perompakan kapal-kapal yang melewati perbatasan Indonesia-Filipina yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf Grup (ASG) akan terus dilakukan karena selain sebagai upaya pengumpulan dana dengan meminta tebusan kepada negara-negara asing apabila kelompok Abu Sayyaf tersebut melakukan penyanderaan dan pemenggalan terhadap warga negaranya (Anak Buah Kapal-ABK, wisatawan, pekerja asing, dll). Bila permintaan mereka tidak terpenuhi, juga sebagai upaya menekan pemerintah Filipina dan dunia internasional bahwa keberadaan kelompok Abu Sayyaf perlu diperhitungkan untuk mendirikan negara Islam di Kepulauan Sulu.
Dengan adanya perompakan dan penyanderaan tersebut maka sangat mengganggu keamanan pelayaran bagi kapal-kapal yang melewati perbatasan ketiga negara serta mengganggu stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Dalam mengatasi masalah perompakan dan penyanderaan di perairan Sulu terutama perompakan dan penyanderaan terhadap kapal dan ABK berbendera Indonesia maka diperlukan kerjasama antara Indonesia dan Filipina yang melibatkan militer kedua negara. Beberapa kerjasama yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dalam penanggulangan perompakan antara Indonesia-Filipina adalah Patroli Terkoordinasi Filipina–Indonesia (Patkor Philindo) yang dilaksanakan oleh TNI AL dan Republic Philipine Navy/RPN di perairan perbatasan laut kedua negara yang bertujuan untuk mengamankan perbatasan laut masing-masing negara.
Patkor ini dilaksanakan secara temporer dan hanya 1 (satu) kali dalam setahun dengan durasi waktu selama 20 hari serta belum memiliki Standart Operating Prosedures (SOP) sebagai pedoman bagi unsur di lapangan dalam melaksanakan Patkor. Salah satu yang mendasari kerjasama Patkor ini adalah Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2007 tanggal 10 April tentang pengesahan persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Filipina tentang kegiatan kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan.
Situasi Perbatasan Indonesia–Filipina
Situasi perbatasan kedua negara sangat rawan, khususnya di Kepulauan Sulu (Pulau Tawi-Tawi, Pulau Jolo dan Pulau Basilan) merupakan basis Abu Sayyaf yang merupakan kelompok radikal Islam Filipina. Ancaman teror yang dihadapi oleh pemerintah Filipina tidak hanya berasal dari kelompok Abu Sayyaf, tetapi juga ancaman dari kelompok Islam Radikal lainnya yaitu MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan MNLF (Moro National Liberation Front).
Menyikapi rawannya situasi keamanan di perbatasan maritim kedua Negara, khususnya di P. Miangas, P. Marore dan pulau terluar sekitarnya dan Mindanao maka TNI/TNI AL bekerja sama dengan RP Navy untuk menggelar patroli terkoordinasi guna mewujudkan keamanan di wilayah perairan yurisdiksi Nasional perbatasan wilayah laut kedua negara. Terutama terhadap setiap pelanggaran wilayah dan tindak kejahatan yang terjadi di kawasan tersebut.
Perbatasan wilayah maritim antara Indonesia dan Filipina di Laut Sulawesi dan Perairan Talaud sampai saat ini masih belum seluruhnya mencapai kesepakatan. Hal ini merupakan salah satu kendala penegakan hukum terhadap beberapa bentuk pelanggaran di kawasan tersebut seperti illegal fishing.
Di samping faktor utama yaitu kekayaan sumber daya alam (perikanan) di laut Sulawesi yang terdapat dalam jumlah yang melimpah. Selanjutnya ada illegal entry baik oleh penduduk biasa maupun oleh sindikat teroris yang memanfaatkan kapal-kapal yang rutin menyeberangi kedua negara di wilayah tersebut.
Data Perompakan di Perairan Filipina yang berbatasan dengan perairan Indonesia
Abu Sayyaf merupakan kelompok militan Islam yang telah meneror Filipina Selatan dengan perompakan sejak tahun 1990-an namun dampak dari kejadian-kejadian tersebut sangat mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara. Data dari berbagai sumber menyebutkan beberapa kejahatan dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh kelompok ini antara lain:
- Tanggal 20 Maret 2016 terhadap TB. Brahma 12 dan TK. Anand 12 berbendera Indonesia dengan penyanderaan 10 ABK WNI.
- 1 April 2016 terhadap TB. Massive 6 berbendera Malaysia dibajak di Perairan Pulau Ligitan Semporna Sabah Malaysia didekat wilayah Fhilipina Selatan dan ABK disandera.
- 15 April 2016 terjadi perompakan TB Henry dan kapal TK Christy berbendera indonesia di Perairan perbatasan Malaysia-Filipina. kapal tersebut dalam perjalan dari Cebu Filipina menuju Tarakan.
- 18 Juni 2016 TB. Charles dan TK. Robby 152 berbendera Indonesia dibajak saat perjalanan dari Jagayan Gracia Port Filipina menuju Samarinda, dengan melakukan penyanderaan 7 ABK WNI.
- 09 Juli 2016 terjadi penyanderaan 3 ABK WNI yang bekerja di kapal ikan LD/113/5/F bendera Malaysia di Per. Felda Sahabat Malaysia.
Kerjasama patroli terkoordinasi Philindo
Kerjasama Patkor Philindo yang dilaksanakan selama ini dapat berjalan dengan baik, namun ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Selama ini, Patkor Philindo dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan perencanaan. Untuk mewujudkan sasaran yang ingin dicapai, maka pelaksanaan Patkor tersebut terus dievaluasi dan dikomunikasikan dengan Angkatan Laut Filipina.
Pelaksanaan Patkor selama ini berjalan sesuai dengan kesepakatan RI-PHBC (Republic Indonesia–Philpina Border Committee), dalam hal ini berjalan baik dan meningkatkan hubungan kerjasama antara RI dan Filipina terutama navy to navy.
Meskipun masih perlu ditingkatkan baik dalam hal waktu operasi, daerah operasi yang menjangkau sepanjang perbatasan laut kedua negara serta peningkatan gelar unsur–unsur Patkor Philindo. Perlu melibatkan 2 Komando Militer Filipina yaitu Western Mindanao Command (Mengingat Patkor Philindo yang sekarang hanya melibatkan Eastmincom saja).
Patkor Philindo dilaksanakan setiap tahun. Selain untuk menanggulangi berbagai pelanggaran di laut mulai dari illegal fishing, illegal entry, penyeleundupan senjata dan pelanggaran di laut lainnya juga untuk meningkatkan persahabatan kedua negara. Patkor Philindo belum bisa melaksanakan penanggulangan perompakan di sekitar perairan Kepulauan Sulu karena selain area operasinya tidak mencakup perairan kepulauan Sulu yang merupakan wilayah kedaulatan Filipina. Selain itu juga belum ada payung hukumnya untuk menanggulangi perompakan secara bersama di sekitar perairan tersebut.
Bersambung ke Bagian II dan III
*Penulis adalah lulusan AAL tahun 1982, pernah menjabat sebagai Wadanseskoal dan Kadispotmar Mabesal, kini Dosen Universitas Pertahanan