Pelaut Senior Surati ITF terkait Polemik di Tubuh KPI
MN, Jakarta – Komunitas Pelaut Senior yang tidak ingin kemelut di organisasi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) terjadi secara berkepanjangan, telah menyurati International Transport Workers Federation (ITF). Hal itu dilakukan mengingat KPI telah berafiliasi kepada ITF sejak tahun 1981.
Sehingga terkait kemelut yang terjadi pasca Kongres VII KPI tahun 2009, ITF dianggap turut bertanggung jawab atas kisruh tersebut. Menurut Juru Bicara Pelaut Senior, Teddy Syamsuri, surat yang ditandatangani oleh ketua Pelau Senior Hasoloan Siregar itu meminta ITF mencabut hasil keputusan Kongres VII KPI tahun 2009.
“Kami juga mendorong agar ITF menyetujui diadakannya Kongres Luar Biasa KPI untuk menyelamatkan organisasi ini, terang Teddy dalam siaran persnya yang diterima oleh redaksi di Jakarta (20/9).
Surat tertanggal 17 September 2017 dengan nomor 017/PS/IX/201t itu juga meminta ITF untuk melihat lebih jauh soal penerapan MLC 2006 demi kesejahteraan pelaut. Mengingat organisasi kepelautan terbesarnya tak mampu memperjuangkan nasib pelaut, maka sudah selayaknya untuk diadakan KLB.
“Karena banyak terjadi polemik, maka KPI sekarang hanya ibarat ATM berjalan bagi oknum-oknum tertentu yang ingin memperkaya diri dengan mengatasnamakan pelaut,” pungkas Teddy.
Berikut uraian lengkap surat Pelaut Senior kepada ITF:
Jakarta, 17 September 2017.
Nomor : 017/PS/IX/2017.
Perihal : Keterangan Pelaut Senior Tentang Organisasi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI).
Kepada Yang Terhormat,-
Bapak Stephen Cotton
ITF House
Dengan hormat,-
Kami atas nama seorang pelaut anggota Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dan mewakili komunitas Pelaut Senior, memandang perlu untuk menyampaikan keterangan tentang organisasi serikat pekerja KPI yang telah berafiliasi dengan International Transport Workers Federation (ITF) sejak tahun 1981 dengan nomor urut 8151, pada masa Pengurus Pusat (PP) KPI periode 1976-1981 dengan Capt. Drs. S.Z. Pattinasarani sebagai Ketua Umum PP KPI.
Dengan merujuk Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja / buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dihubungkan dengan Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2000 yang berbunyi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan ITF mengakui hasil Kongres VII KPI tahun 2009 di Jakarta dengan mensahkan PP KPI periode 2009-2014 tanpa didukung oleh Surat Keputusan (SK) Pimpinan Kongres VII KPI yang diketuai Bapak John Kadiaman dan sekretaris Bapak Tonny Pangaribuan, yang dalam hal pemilihan PP KPI pengganti periode 2004-2009 dalam Kongres VII KPI tersebut dengan tegas Pimpinan Kongres VII KPI tidak ada SK karena kongres tersebut terjadi dead lock dan tidak terjadi pemilihan PP KPI untuk periode 2009-2014. Dengan demikian ITF telah diduga melanggar aturan Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2000 karena pengakuan hasil Kongres VII KPI dan pengesahan PP KPI periode 2009-2014 oleh ITF telah dengan jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000 itu sendiri. Organisasi KPI yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pelaut yang kemudian terjadi dead lock dalam Kongres VII KPI tahun 2009 tersebut telah ITF akui keabsahannya, adalah bentuk ikut campur dan / atau intervensi yang sangat idak terpuji.
Selanjutnya untuk ITF ketahui dan yang perlu kami, Pelaut Senior terangkan. Didapat informasi, jika PP KPI hasil Munaslub KPI tahun 2001 di Jakarta atau untuk periode 2001-2004, jabatan Bendahara dirangkap dengan jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) yang diinformasikan juga berlangsung sampai saat ini, tahun 2017, atau sepanjang 16 tahun. Di Indonesia, hal jabatan rangkap untuk pengurus inti (fungsionaris) tidak pernah diketemukan baik di organisasi kemasyarakatan (ormas) maupun organisasi serikat pekerja / serikat buruh yang rangkap jabatan terlebih lagi sampai begitu lamanya, 16 tahun.
Pada Munas VI KPI tahun 2004 yang kemudian berganti disebut Kongres VI KPI di Jakarta, SK Pimpinan Kongres VI KPI tentang Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) hasil sidang Komisi A dan dalam komposisi/struktur PP KPI untuk periode 2004-2009 tidak tertuang jabatan Wakil Presiden PP KPI. Setelah ditutupnya atau selesainya Kongres VI KPI dan dalam jedah waktu tertentu, kemudian komposisi/struktur PP KPI periode 2004-2009 terdapat tambahan jabatan Wakil Presiden PP KPI yang dalam SK Pimpinan Kongres VI KPI tentang AD/ART tidak pernah tertuang jabatan Wakil Presiden PP KPI tersebut. Adalah Capt Darul Makmur selaku peserta dalam Sidang Komisi A dan juga saksi hidup, dengan tegas tidak mengakui adanya jabatan Wakil Presiden PP KPI dalam Kongres VI KPI.
Pada Kongres VIII KPI tahun 2014 yang seharusnya berdasarkan hukum melanggar karena Kongres VII KPI tahun 2009 terjadi dead lock, dari SK Pimpinan Kongres VIII KPI tentang AD/ART tidak tertuang komposisi/struktur Presiden Eksekutif PP KPI periode 2014-2019 yang tentu tidak jelas tugas dan fungsinya karena jabatan Presiden PP KPI terpilih sudah ada. Namun di awal tahun 2015, komposisi / struktur PP KPI periode 2014-2019 kemudian tertuang jabatan Presiden Eksekutif PP KPI tersebut. Belakangan saat adanya pertemuan delegasi Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) dengan PP KPI di Kantor KPI Pusat Cikini tahun 2016, pejabat Presiden Eksekutif PP KPI memperkenalkannya sebagai Penasehat PP KPI yang bekerjanya akan menyelamatkan aset-aset organisasi KPI.
Dengan demikian sifat organisasi KPI yang seharusnya bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pelaut pada realitanya hal AD / ART saja diperlakukan sesuka-sukanya PP KPI yang berkuasa sejak tahun 2001 sampai saat ini, yang membuat organisasi KPI bersifat tidak bebas, tidak terbuka, tidak demokratis dan tidak bertanggungjawab. Semua ini diperlakukan dengan rekayasa yang sebenarnya untuk tujuan melanggengkan kekuasaannya di organisasi KPI, sekalipun sudah melewati dua periode yang mestinya berganti, tapi mampu bertahan sampai 16 tahun saat ini.
Yang sangat menyesatkan hasil rekayasa PP KPI tersebut terkait dengan eksistensi kami, Pelaut Senior, yang disebut sudah bukan anggota KPI lagi berdasarkan AD / ART hasil Kongres VIII KPI tertanggal 17 Desember 2014 dimana Pasal 5 angka 3 ART KPI hal Berakhirnya Keanggotaan berbunyi, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran anggota berturut-turut selama satu tahun. Padahal dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 yang berbunyi pekerja/buruh dapat berhenti sebagai anggota serikat pekerja / serikat buruh dengan pernyataan tertulis. Kami, Pelaut Senior dan yang berkontribusi sejak organisasi KPI masih bernama organisasi PPI (Persatuan Pelaut Indonesia), tidaklah mungkin minta berhenti dari keanggotaan organisasi KPI dan tidak pernah menyatakan berhenti dengan pernyataan tertulis.
Selanjutnya dengan merujuk pada Bab VIII Keuangan dan Harta Kekayaan UU No. 21 Tahun 2000. Dalam Pasal 32 disebutkan bahwa Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya. Pasal 33 yang disebut bahwa pemindahan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut AD / ART serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja / serikat buruh yang bersangkutan. Patut diduga dan dicurigai karena didapat informasi jika rekening bank organisasi KPI ada tiga bank. Satu rekening di bank BUMN (BNI 46), dan dua rekening di bank swasta (Bank Permata dan BCA).
Tentu saja akuntabilitasnya diragukan, terutama ketika perusahaan angkutan laut dan/atau pemilik dan/ atau operator kapal melalui Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Collective Bargaining Agreement (CBA) yang merupakan perjanjian kerja kolektif yang dibuat dan ditandatangani organisasi serikat pekerja / serikat buruh (dalam hal ini organisasi KPI) dengan pihak perusahaan dan yang diketahui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, dimana dalam KKB / CBA tertuang sebuah pasal perihal kontribusi berupa uang dolar Amerika yang disetor oleh pihak perusahaan ke organisasi KPI dan yang kegunaannya untuk kegiatan sosial seperti kesehatan atau pendidikan dan kesejahteraan pelaut dan keluarganya, sangatlah kuat diselewengkan.
Sebab dalam amanat di Pasal 34 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 yang disebutkan bahwa Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja / serikat buruh, serta ayat (2) Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepadaanggotanya menurut AD / ART serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan, tidak mungkin diperoleh bentuk wajar tanpa pengecualian (WTP). Apalagi sejak habisnya kepemimpinan Capt. Azwar Nadlar dengan bendahara PP KPI Ny. Retno Indah Sudijono, BA dalam periode 1992 -1997 yang tidak lagi menggunakan akuntan publik dari kantor A Thanok sebelumnya, maka keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI tidak pernah dilakukan audit lagi.
Pada konteks PP KPI yang seharusnya bertanggungjawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI serta PP KPI yang wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI dengan melaporkan secara berkala kepada pelaut anggotanya, pada realitanya sejak PP KPI periode 2001-2004 hasil Munaslub KPI sampai PP KPI periode 2014-2019 hasil Kongres VIII KPI dan / atau selama 16 tahun. Pada kenyataannya tidak pernah ada pertanggungjawabannya dalam hal penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI. Begitu pula tidak pernah ada hal pembukuan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI kepada pelaut anggotanya secara bersih, transparan, profesional dan bertanggungjawab.
Sekedar gambaran mengenai latarbelakang keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI yang kami, Pelaut Senior, perhitungkan sejak tahun 1999, adalah sebagai berikut :
- Jumlah pelaut anggota KPI yang bekerja di kapal-kapal asing yang beroperasi di luar negeri berdasarkan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Collective Bargaining Agreement (CBA) yang dibuat dan ditandatangani oleh perusahaan angkutan laut dan / atau pemilik dan / atau operator kapal dengan serikat pekerja pelaut (KPI) dan diketahui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla), sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, pada saat tahun 1999 bejumlah lebih dari 20.000 pelaut;
- Gaji pokok pelaut pemula di tahun 1999 rata-rata US$ 400 perbulan, oleh salah satu ketentuan dalam KKB/CBA yang menuangkan satu pasal perihal Kontribusi yang wajib disetorkan oleh pihak perusahaan kepada organisasi KPI,adalah 4% dari gaji pokok tersebut. Kewajiban setor kontribusi pihak perusahaan kepada organisasi KPI tanpa memotong gaji pelaut, oleh karena adanya alasanuntuk digunakan bagi kegiatan sosial dan peningkatan kesejahteraan pelaut anggota dan keluarganya;
- Jika dihitung secara mentah dan simpel :
a). Kontribusi 4% dari gaji pokok US$ 400 = US$ 16 perseorang pelaut
b). Jumlah pelaut 20.000 X US$ 16 = US$ 320.000 kontribusi diterima perbulan
c). Untuk perhitungan setahun US$ 32.000 X 12 bulan = US$ 3.840.000 pertahun
d) Diperhitungkan 16 tahun dari tahun 2001 sampai ke tahun 2017, maka US$ 3.840.000 X 16 = US$ 61.440.000 kontribusi masuk untuk 16 tahun
e) Jika kurs 1 US$ setara Rp. 13.000,- maka US$ 61.440.000 X Rp. 13.000,- = Rp. 798.720.000.000,- selama 16 tahun.
Jumlah keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI yang baru dihasilkan dari setoran kontribusi pihak perusahaan ke organisasi KPI selama 16 tahun saja hampir mencapai jumlah Rp. 800 milyar, adalah penerimaan bersih organisasi KPI setelah dipotong biaya operasional dan upah karyawan, termasuk honor bagi PP KPI selama 16 tahun. Jumlah yang begitu besar dan yang merupakan aset organisasi KPI yang terkaya dibandingkan dengan organisasi serikat pekerja lainnya yang ada di Indonesia. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh, pada kenyataannya kewajiban PP KPI untuk bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan yang menjadi aset organisasi KPI sebagaimana dimaksud oleh Pasal 34 ayat (1) tidak pernah ada, sehingga terjadilah pelanggaran terhadap UU No. 21 Tahun 2000 yang mendasar.
Sekiranya ITF berkenan menaruh perhatian yang sungguh-sungguh atas tidak adanya pertanggungjawaban PP KPI sejak tahun 2001 sampai tahun 2017, perihal penggunaan keuangan dan harta kekayaan organiasi KPI. Maka ITF lebih dulu harus mencabut pengakuan hasil Kongres VII KPI tahun 2009 sekaligus mencabut sahnya PP KPI periode 2009-2014, karena jelas tidak pernah ada pemilihan PP KPI pengganti periode 2004-2009 dalam Kongres VII KPI tersebut akibat terjadi dead lock. Kemudian merekomendasikan agar organisasi KPI segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) KPI. Sebab di forum KLB KPI akan didapat laporan pertanggungjawaban PP KPI selama 16 tahun itu.
Adalah benar jika Pasal 4 ayat (2) huruf d. UU No. 21 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Akan tetapi tidaklah benar jika organisasi KPI sejak Munaslub KPI tahun 2001 hal AD/ART. Sekali lagi kami menerangkan, jika pada realitanya selalu terselip isinya yang bermuatan rekayasa. Sehingga sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000 tidak pernahterjadi di organisasi serikat pekerjanya pelaut Indonesia, yakni KPI ini.
Demikian ini surat keterangan kami dari komunitas Pelaut Senior yang sangatlah mengharapkan ITF memperhatikan secara sungguh-sungguh eksistensi organisasi KPI. Sebab tanpa organisasi KPI dibenahi melalui KLB, mustahil hak-hak dasar Pelaut Indonesia yang diatur dalam MLC 2006 yang sudah diratifikasi ke dalam UU No. 15 Tahun 2016 dan disahkan oleh Pemerintah Indonesia pada 6 Oktober 2016 akan bisa berjalan sesuai yang ditentukan MLC 2006. Dan jika tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, tentunya nasib Pelaut Indonesia dalam kehidupan berorganisasi serikatnya di KPI akan tetap berjalan ditempat ditengah kompetisi global yang semakin menguat. Sehingga ITF lebih menitik beratkan atas perilaku organisasi KPI yang dikuasai oleh PP KPI selama 16 tahun, tentunya harus ikut bertanggungjawab. .
(Adit/MN)




















