Published On: Sun, Jan 14th, 2018

PPI Layangkan Surat Terbuka kepada Presiden soal Kondisi Pelaut

Ketua Umum PPI Andriyani Sanusi telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden

MN, Jakarta – Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki visi Poros Maritim Dunia di era Pemerintahan Jokowi-JK, namun masih ironi dengan nasib para pelautnya. Hal itu disampaikan oleh Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) yang melayangkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi.

Melalui ketuanya, Andriyani Sanusi, PPI mengungkapkan bahwa pelaut di Indoensia hidupnya masih jauh di bawah rata-rata dan selalu terpinggirkan. Maka dari itu ia kecewa dengan pemerintahan Jokowi yang dahulu didukungnya saat Pilpres 2014.

“Saat deklarasi pencalonannya kami yakin bahwa Pak Jokowi adalah sosok yang tepat menahkodai bangsa maritim. Bangsa ini adalah bangsa maritim yang lahir dari rahim maritim, yang mana nenek moyang Kita konon ceritanya adalah pelaut yang tangguh hampir sepertiga dunia mereka jelajahi,” ujar Andri kepada kepada maritimnews, di Jakarta (14/1).

Ia melanjutkan, pihaknya juga tidak tahu kebenarannya. Kalaupun kisah itu benar sangat disayangkan, Indonesia sebagai bangsa pelaut  tidak mengakui kebenaran itu, mengingat tidak adanya Hari Pelaut Indonesia yang harus kita peringati setiap tahun.

“Sangat disayangkan Bangsa yang besar tidak menghargai leluhur mereka. Sesuai Nawacita dengan Tol Laut dan Indonesia Poros Maritim Dunia, kami menganggap hanya sebatas angin segar dan mimpi yang indah. 3 Tahun Pak Jokowi memimpin bangsa ini, kejelasan nasib para cicit moyang pelaut jauh dari perhatian,” ungkapnya.

Pria berdarah Minangkabau ini membeberkan beberapa bukti soal nasib pelaut yang sebagian besar telah ditulis dalam isi surat terbukanya. Antara lain tidak adanya kepastian hukum tentang regulasi yang mengatur hidup pelaut dan berakibat pada tidak ada kejelasan standar pengupahan pelaut lokal Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya perbudakan di laut.

“Ribuan Pelaut Indonesia diupah di bawah 1 juta rupiah. Puluhan ribu pelaut Indonesia diupah di bawah UMP. Menjamurnya broker-broker ilegal yang bebas membuka praktik melakukan penipuan kepada pelaut Indonesia tentang penempatan awak kapal tanpa tersentuh hukum,” tandas dia.

Selain itu, ratusan ribu ijazah dan sertifikat palsu bebas diperjualbelikan oleh oknum oknum Kementerian dan tidak ada upaya melakukan penangkapan terhadap oknum tersebut.

Masih kata Andry, banyaknya kapal yang tenggelam tidak dipublikasikan dan luput dari media elektronik dan cetak. Perusahaan pemilik kapal pun cenderung menutup-nutupi yang mengakibatkan keluarga ABK dirundung kecemasan

“Pesangon yang diberikan oleh Perusahaan hanya jutaan rupiah tanpa mengikuti aturan Perundang-undangan yang berlaku.

Tak hanya itu, PPI juga mencium adanya beberapa kasus soal kapal tenggelam terdadapat unsur kesengajaan. Penenggelaman Kapal tua oleh pemilik kapal bertujuan untuk mendapatkan klaim asuransi kapal dan muatan oleh pemilik. Tentunya hal itu mengorbankan nyawa crew kapal,

“Ini juga membuktikan ketidakjelasan aturan standar klaim asuransi dan keselamatan transportasi laut serta usia maksimal kapal di negara kita,” tegasnya.

Banyaknya kapal-kapal yang tidak standar Laik Laut bisa berlayar dan tanpa kelengkapan alat alat keselamatan kapal dan crew juga menjadi sorotannya. Ini membuktikan lemahnya pengawasan dari regulator dan asal memberikan Surat Persetujuan Berlayar kepada kapal-kapal tersebut.

Kemudian seringnya intimidasi dari perusahaan kepada crew kapal agar tetap berlayar tanpa berlindung jika cuaca buruk juga menjadi isi suratnya kepada presiden. “Padahal dari pihak BMKG telah memberikan peringatan cuaca buruk dan berakibat banyaknya kapal yang tenggelam karena crew menuruti perintah dari Perusahaan dan jika crew kapal tidak mengikuti perintah, di pelabuhan berikutnya crew kapal diancam akan diberhentikan,” bebernya.
PPI mencatat, diperkirakan 80-90% perusahaan pelayaran tidak melindungi crew kapalnya dengan asuransi yang telah diatur oleh Pemerintah. Bahkan ada perusahaan yang memotong upah crew dengan alasan asuransi, tapi kenyataannya adalah fiktif.

Andry menyatakan pihaknya sering mendapat laporan soal pemecatan sepihak oleh perusahaan pelayaran tanpa didasari kesalahan fatal oleh crew kapal. Begitu juga kondisi crew kapal di luar negeri yang hidupnya tak pasti.

“Ratusan crew tiap tahunnya yang bekerja di luar negeri dipulangkan tanpa upah kerja. Ribuan tenaga kerja pelaut, ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri juga mendapatkan intimidasi dan ada unsur kerja paksa,” ungkapnya lagi.

Menurut dia, penyebab ini semua adalah lemahnya pengawasan dari pemerintah dan adanya unsur-unsur kesengajaan. Pelaut sebagai pekerja yang menjadi korban, semestinya diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan armadanya dibawah pengawasan Kementerian Perhubungan.

“Sebagai Anggota Dewan Kehormatan IMO (International Maritime Organization-red), Indonesia semestinya malu dengan predikat tersebut, mengingat karut marutnya keadaan transportasi laut Indonesia dan yang menyangkut pelautnya,” jelasnya.

PPI berharap peran dari ILO di Indonesia diberikan keleluasaan terhadap Pelaut Indonesia. “Sebagai Pelaut kewajiban telah dipenuhi yaitu sertifikat standar IMO, tapi banyak hak-hak yang semestinya belum kami dapati,” tegasnya lagi.

ILO telah meratifikasi MLC tapi bentuk penerapannya di Indonesia belum dilaksanakan, walaupun MLC sudah diratifikasi oleh Pemerintah dan DPR RI menjadi UU No. 15/2016, nasib pelaut tak kunjung membaik.

“Besar harapan kami kepada Bapak Presiden untuk memberikan rasa keadilan kepada Pelaut Indonesia yang selalu terzolimi atau terlupakan,” pungkasnya.

 

(Anug/MN)

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com