Peringatan Hari Lingkungan dan Laut Sedunia, Ini Pesan Masyarakat Baduy
Oleh: Mad Haer*
Gunung teu beunang dilebur
Lebak teu beunang dirakrak
Buyut teu beunang dirobah
Larangan aya di darat di cai
Gunung aya maungan, lebak aya badakan
Lembur aya kokolota, leuwi aya buayaan
Kutipan di atas adalah sepenggal pikukuh (petunjuk yang tidak dapat diubah/diganggu gugat lagi) bagi masyarakat adat Kanekes di Banten Selatan, atau yang lebih familiar dengan sebutan Urang Baduy. Kalimat-kalimat di atas berarti: Pendek tak bisa disambung. Panjang tak boleh dipotong. Gunung tak boleh dihancurkan. Lembah tak boleh dirusak. Bagi orang Baduy, manusia dan alam adalah satu kesatuan.
Ambil seperlunya dari alam dan jaga dengan segenap tenaga, adalah prinsip yang terus dirawat sampai ratusan tahun lamanya. Namun upaya yang sama tidak dilakukan oleh manusia modern saat ini. Banyak wilayah-wilayah adat yang dirusak dengan berbagai alasan, umumnya atas nama pembangunan atau keserakahan manusia.
Wilayah Suku Baduy memang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Lebak pada tahun 1990. Hal ini memberikan jaminan adanya perlindungan wilayah hutan adat. Namun kita menyadari bahwa implementasinya masih terbata-bata. Kecepatannya berbanding terbalik dengan pengalokasian tanah untuk korporasi berskala besar. Di satu sisi masyarakat kesulitan menetapkan mana saja yang seharusnya menjadi wilayah adat, namun di sisi lain pemerintah yang juga “bergegas” menetapkan wilayah-wilayah untuk kemudian dipetakan sebagai proyek pembangunan—dengan segala potensi bencana yang mengikutinya.
Tentu kita masih ingat tentang tangisan Aki Pulung ketika menceritakan adanya kerusakan di hutan larangan di Gunung Liman. Kerusakan ini karena adanya aktivitas penambangan liar oleh oknum pengusaha. Apa yang disampaikan oleh Aki Pulung harusnya menjadi “peringatan tanda bahaya” bagi kita semua.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pengerusakan hutan Kawasan tersebut sama dengan upaya penindasan dan peniadaan kehidupan masyarakat adat Baduy. Padahal masyarakat adat Baduy punya peran yang sangat krusial sebagai Penjaga Bumi. Kerusakan yang terjadi di wilayah adat Baduy akan berdampak bukan hanya diwilayah tersebut, tetapi seluruh wilayah Banten hingga Jawa Barat. Jika penambangan liar terus-terusan terjadi di wilayah Adat, akibatnya akan terjadi bencana longsor, banjir dan juga pencemaran lingkungan. Bukan hanya wilayah hulu (gunung dan sungai) tetapi akan berdampak juga ke wilayah hilir (laut).
Selain Baduy di Banten juga terdapat suku Lampung yang bermukim di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang. Mayoritas suku ini bekerja sebagai nelayan. Keberadaan suku Lampung menjadi bukti sejarah persahabatan Kerajaan Banten dan Kerajaan Lampung. Pada abad ke-16 terjadi kesepakatan bersama antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari Kerajaan Lampung. Ikrar untuk saling menjaga kedaulatan dan syiar agama Islam ini terpatri pada Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) dalam Babat Kuripan.
Berbeda dengan Masyarakat Adat Baduy, Masyarakat Pulau Sangiang hari ini sedang menghadapi masalah, di mana ketiga warganya dikriminalisasi oleh pihak perusahaan yang menyatakan bahwa masyarakat tinggal di lahan milik perusahaan. Padahal secara fakta sejarah yang dahulu bermukim di Pulau Sangiang Desa Cikoneng adalah warga asli keturunan Lampung yang sudah lama bermukim di Desa Cikoneng sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Belum lagi ketetapan wilayah Taman Wisata Alam yang ditetapkan pada tahun 1991 oleh pemerintah pusat. Di mana pemerintah tidak mengakui adanya masyarakat yang berada di Pulau Sangiang.
Dengan disahkannya Omnibus Law saat ini, menjadi pintu masuk berkembangnya industri ekstraktif, dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) “12 juta hektare luas daratan pulau-pulau kecil di Indonesia sebanyak 43% berstatus hutan produksi (terbatas, tetap, dan konversi), dan sekitar 28% daratan tersebut sudah dikuasai korporasi.
Seluas 315 ribu hektare dikavling untuk pertambangan, sekitar 742 ribu hektare dikavling untuk perkebunan, sekitar 1,69 juta hektare dikavling untuk HPH dan HTI, dan 680 ribu hektare dalam tumpang tindih konsesi, dan dimana wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah adat.
Hal yang sama yang sedang terjadi hari ini, masyarakat Padarincang sedang melakukan penolakan terhadap pembangunan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi) – Geotermal. Munculkan keinginan pemerintah untuk membangun EBT (Energi Baru Terbarukan) di Padarincang, bisa menjadi ancaman baru terhadap kerusakan ekosistem peenghidupan masyarakat Padarincang.
Di mana hampir 6000 hektare lahan persawahan terancam akibat sumber mata airnya akan hilang. Karena wilayah tersebut sudah ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), dan juga akan berdampak kepada wilayah di sekitarnya seperti G.Tukung Gede, G.Asepan, G.Pulo Sari dan juga gunung terbesar di wilayah Banten yaitu Gunung Karang. Selain alam, ternyata pembangunan geotermal ini akan berdampak juga kepada kultur budaya yang ada di masyarakat Padarincang akan hilangnya tradisi keagamaan seperti Muludan, Sapar, dan bercocok tanam. Belum lagi permasalahan-permasalahan baru yang muncul jika Pembangunan PLTPB terus dipaksakan oleh pihak Pemerintah dan swasta. Karena daerah Padarincang merupakan paru-paru Kabupaten Serang, tetapi saat ini terancam dihancurkan.
Dengan banyak bermunculannya aturan baru seperti Undang-Undang (Revisi)/Perubahan serta Peraturan Pemerintah (PP) sampai ke Peraturan Daerah (Perda) dan belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Sejak dideklarasikan pada Sidang Umum PBB 13 September 2007. Sudah hampir 13 tahun sejak United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) disahkan, Indonesia belum juga memiliki UU Masyarakat Adat. Pena Masyarakat mengajak untuk kembali mengapresiasi masyarakat adat Baduy dan masyarakat adat lainnya yang ada di Banten untuk memegang teguh prinsip dan praktik pelestarian lingkungan hidup.
Salah satu bentuknya mendorong agar segera disahkannya RUU Masyarakat Adat sehingga adanya jaminan hukum dari negara, agar mereka bisa menjalankan perannya secara optimal, yaitu menjaga bumi dari ancaman bencana yang tidak diinginkan.
*Penulis adalah Direktur Pena Masyarakat Banten