MN, Jakarta – Setelah meratifikasi Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) atau Keanekanragaman Hayati di Luar Wilayah yurisdiksi Nasional pada Konferensi Kelautan ke-3 Perserikatan Bangsa-bangsa / PBB (UN Ocean Conference / UOC3) melalui Perpres 67/ 2025 yang dilanjutkan dengan penyampaian instrumen ratifikasi tersebut ke PBB, Indonesia secara langsung telah terikat secara hukum internasional untuk melaksanakannya. Pemerintah pun mulai sedikit demi sedikit mulai melakukan sosialisasi terkait hal ini dengan narasi Diplomasi Biru (Blue Diplomation) atau Diplomasi Ekonomi Biru (Blue Economic Diplomation).
Menyikapi visi pemerintah ini, pakar kemaritiman Laksda TNI (Purn) Surya Wiranto S.H., M.H., menekankan pentingnya keamanan maritim dalam diplomasi biru tersebut. Hal ini ia sampaikan dalam Focus Group Discussion bertajuk “Diplomasi Biru: Strategi Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Sektor Kelautan dan Perikanan” yang diselenggarakan oleh Center for Ocean Policy (CSOP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Senin (22/12).
Dalam diskusi tersebut, Surya mengungkapkan bahwa keamanan (security) merupakan hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas ekonomi. Sebagai aktivitas yang bertujuan meraih kemakmuran dan kesejahteraan, bila kita sekarang kita ikut mengusung visi Ekonomi Biru (Blue Economy), sudah seharusnya didampingi dengan Keamanan Biru (Blue Security).
“Bila ada Blue Economy, mestinya ada Blue Security. Ekonomi itu kan tujuannya kesejahteraan yang dengan Security itu ibarat dua sisi mata uang yang saling memerlukan,” ungkapnya.
Senior Advisory Group IKAHAN ini juga menjelaskan dengan meratifikasi BBNJ, negara ini mau tak mau dituntut harus memiliki kemampuan mengamankan laut kita sendiri yang bahkan harus juga sampai keluar dari wilayah yurisdiksi kita.
“Kita tidak akan bisa beranjak dari wilayah yurisdiksi kita, apalagi kalau bicara BBNJ itu kan Out of Power Yuridiction. Kalau kita tidak punya kemampuan mengamankan laut kita sendiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Surya memaparkan terkait permasalahan kemananan maritim yang menurutnya masih terus berulang hingga saat ini, di mana dalam struktur pengamanan laut kita terdapat enam unsur yang bertugas melakukan patroli di wilayah perairan kita, yang pada dasarnya juga terbagi menjadi Perairan Indonesia dan Perairan yurisdiksi Indonesia, namun tidak semua unsur tersebut mampu dan berwenang di kedua bagian tersebut. Sementara dengan ratifikasi BBNJ ini tuntutan kita juga harus mampu melakukan penjagaan hingga keluar yurisdiksi kita.
“Mungkin yang perlu saya tekankan bahwa keamanan maritim itu perlu sekali. Kita lihat saja di dalam wilayah kita, ada Wilayah Perairan Indonesia dan ada Wilayah Perairan Yurisdiksi Indonesia, dan ini jelas berbeda. Kalau kita bicara Peraiaran Indonesia konteksnya hanya teritorial, peraiaran kepulauan, dan laut kedalaman. Kemudian kalau kita bicara Yurisdiksi itu mulai dari zona tambahan, ZTE, dan landas kontinen. Ini di dalam yang perlu kita amankan,” lanjutnya.
Sebagai pengamat dengan pengalaman puluhan tahun di dunia kemaritiman, dengan luas dan kompleksnya potensi masalah yang akan dihadapi, ia sedikit skeptis akan kemampuan unsur-unsur keamanan maritim kita saat ini.
“Nah, permasalahannya kita ini pengamanan di dalam ini juga belum optimal. Bagaimana menjaga Blue Food dan Blue Energy? Kita ada enam struktur patroli di laut. Ada KKP, ada Polair, Bea Cukai, dan sebagainya. Juga belum mampu. Ini menurut pendapat saya yah, karena saya ngamati terus,” ujanya.
Lebih jauh, pria yang menjadi Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) ini mengurai permasalahan tersebut yang ternyata juga beririsan dengan Perpres no 6 tahun 2025 sebagai instrumen ratifikasi BBNJ ke dalam sistem kita. Bagaimana operasionalnya nanti dan apakah memang kita sudah memiliki keamanan maritim yang layak dan mumpuni dalam penjagaan wilayah laut kita setelah ratifikasi ini, serta apakah unsur – unsur pengaman laut kita mampu untuk itu.
“Nah kembali saya sampaikan, kemamapuan kita untuk menjaga perairan Indonesia dan yuridiksi itu hanya sampai di landas kontinen. Kecuali Angkatan Laut karena tugasnya pertahanan, bukan keamanan laut. Dalam konteks ini kan kita bicara Blue Diplomacy dan Blue Economy, kita masih bicara tentang internal yah, belum eksternal . Kita kan baru meratifikasi BBNJ ke dalam Perpres 6 tahun 2025, kira – kira bagaimana nanti kita mengaplikasikan Perpres itu di dalam pelaksanaan sehari – hari. Sekarang apakah Kementerian Kelautan dan Perikanan punya kemampuan untuk sampai di luar yurisdiksi kita?” ujarnya.
Terkait pertanyaan ini, mantan Kadispotmar TNI AL ini menjelaskan bahwa hanya ada dua unsur keamanan maritim kita yang bisa sampai ke wilayah perairan yurisdiksi kita, tiga lainnya hanya mampu pada wilayah perairan kita saja. Sementara satu unsur lagi, yaitu TNI AL yang selama ini turut melakukan tugas keamanan maritim, sejatinya merupakan unsur pertahanan laut bukan keamanan laut yang sedang kita bahas.
“Dan tadi kita dikemukakan banyak ancaman- ancaman di laut, itu kan yang mengatasi dari Security. Jadi ini perlu kita bahas bersama. Kedaulatan itu sama-sama kita jaga,” pungkasnya.






