Ramai Tagar #ValentineBukanBudayaKita, Tak Sedikit Pun Sentuh Budaya Maritim
Sulit rasanya bagi bangsa ini untuk serius menjadi bangsa maritim, tatkala untuk bergurau saja tak sedikit pun ingat maritim
MN, Jakarta – Beberapa hari sebelum tanggal 14 Februari 2019 ini, lini masa media sosial kita diramaikan dengan tagar #ValentineBukanBudayaKita yang diiringi dengan berbagai tulisan apa saja yang seharusnya diangap budaya kita. Mulai dari hal yang serius, relijius, hingga mayoritas diisi oleh hal-hal konyol muncul dalam berbagai tulisan tersebut.
Namun, ketika ada sisi budaya yang digugah dalam tagar yang mencuat akhir-akhir ini, sangat sedikit atau mungkin tidak ada sama sekali yang mengaitkannya dengan budaya maritim kita.
Hal ini merupakan suatu ironi bagi sebuah bangsa konektivitas antar wilayahnya bergantung dengan laut, dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia, yang 63% wilayahnya merupakan lautan, serta memiliki akar budaya yang sejatinya tumbuh dan berkembang seiring dengan budaya melaut orang-orang terdahulunya.
Menjadi semakin ironis ketika ternyata bangsa ini mengenal dan mengakui moto “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” yang banyak dikenal dan jamak dinyanyikan oleh anak bangsa itu sendiri sedari mereka belum pandai berkata.
Kita harus kembali mengingat bahwa dalam lima pilar poros maritim dunia yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo ketika resmi dilantik menjadi pemimpin negeri ini, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia menjadi pilar pertama yang disebutkan dalam lima pilar tersebut.
Tanpa perlu dianalisa lebih jauh oleh pakar sekalipun, kita seharusnya sudah memahami bahwa bila suatu hal disebutkan, diletakan, ataupun dimunculkan sebagai yang pertama, besar kemungkinan ia menjadi yang utama, atau setidaknya diprioritaskan terlebih dahulu.
Sejatinya, dalam bergurau sekalipun kita tentu akan mencari berbagai bahan gurauan yang memang lekat dengan budaya kita sehari-hari, dan sudah umum kita pun akan memilih materi gurauan yang juga dekat dengan budaya orang-orang tersebut.
Tagar #ValentineBukanBudayaKita yang sepi dari timpalan berbau maritime ini, merupakan indikasi kuat bahwa pembangunan kembali budaya maritime Indonesia belum bisa dikatakan berhasil. Terlebih tatkala visi besar menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia saja, boleh dikatakan sudah hampir jarang menggema secara massif belakangan ini.
Dalam ajang pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung bulan April 2019 nanti, visi dan misi pasangan capres dan cawapres kita saja sepi dari topik maritim. Bahkan pasangan capres dan cawapres nomor urut satu, yang di tahun 2014 lalu menggaungkan visi poros maritim dunia ini saja, sama sekali tak terlihat memasukan kata maritim dalam visi dan misinya untuk pilpres mendatang.
Jadi, boleh kita anggap wajar apabila munculnya tren tagar #ValentineBukanBudayaKita ini sepi dari hal-hal berbau maritim. Karena di saat visi ini masih jauh dari terwujud, sudah menghilang dari kertas baru yang menumpuk di atasnya.
Gusdur dan banyak ulama yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) terkenal suka bergurau pun ketika menyampaikan ceramah. “Guyon” atau gurau merupakan budaya yang terkenal sudah melekat pada NU sedari dulu yang menjadi ciri khasnya. Gurau atau “guyon” itu sendiri juga merupakan budaya yang juga cukup melekat pada bangsa ini, utamanya saat ini turut melekat pada penggiat media sosial kita.
Budaya maritim yang coba dibangun dan tertuang dalam pilar poros maritim dunia ini sendiri, sejatinya merupakan budaya yang pernah melekat pada bangsa ini. Ketika salah satunya (gurau) muncul ke permukaan seharusnya ada sedikit dari lainnya (maritim) turut terbawa di dalamnya.
Bila ternyata yang lainnya tersebut tidak muncul, mungkin ia sudah bukan lagi budaya kita, atau bila kembali pada pilar pertama poros maritim dunia tersebut, pembangunan kembalinya belum berhasil atau sementara waktu masih “gagal”.
Sulit rasanya bagi bangsa ini untuk serius menjadi bangsa maritim, tatkala untuk bergurau saja tak sedikit pun ingat maritim.