Mengenang Pidato Bung Karno 30 September 1960, To Build The World A New
Oleh: Letkol Laut (P) Salim*
Pada 30 September 56 tahun silam di Gedung PBB, New York, Amerika Serikat terjadi peristiwa penting yang bukan saja dialami oleh Indonesia tetapi juga oleh dunia. Pada hari itu, Presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno atau yang biasa akrab disapa Bung Karno berkesempatan menyampaikan gagasan di depan para pemimpin-pemimpin negara di PBB. Pidato yang berjudul To Buid The World A New (Membangun Dunia Kembali) dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia.
Pasalnya, isi pidato yang disampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api itu menelanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh barat selama berabad-abad serta dampaknya pada keberlangsungan dunia.
To Build The World A New Vs To Build a New World
Penyampaian pidato yang diawali dengan mengutip ayat-ayat dalam kitab suci itu mengisyaratkan mengenai arti pentingnya pertemuan antar bangsa dalam bingkai perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan wadah yang tepat sebagai ajang pertemuan itu yang dihadiri oleh berbagai macam bangsa.
Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur’an berkata: “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”. Dan juga Kitab Injil agama Nasrani beramanat pada kita. “Segala kemuliaan bagi Allah ditempat yang Mahatinggi, dan sejahtera diatas bumi diantara orang yang diperkenanNya”.
Saya sungguh-sungguh merasa sangat terharu melepaskan pandangan saya atas Majelis ini. Di sinilah buktinya akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi. Di sinilah buktinya, bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Di sinilah buktinya, bahwa keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan besar sudah dapat disingkirkan. Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan suatu kegirangan yang besar dan hebat. Dengan jelas tampak di mata saya menyingsingnya suatu hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari yang sudah lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika. (Kutipan Pidato Sukarno di PBB tahun 1960, Departemen Penerangan RI)
Paragraf awal pidato tersebut menerangkan dalam Hukum Tuhan dijelaskan manusia terdiri dari berbangsa-bangsa dan bersuku-suku kemudian yang membedakan kemuliaan dari setiap manusia hanya ketakwaannya kepada Tuhan. Sehingga dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia sudah menjadi sunatullah jika ada bangsa yang membuat kerusakan dan ada yang membuat perbaikan. Keduanya akan senantiasa berjalan bersamaan sampai akhir zaman.
Namun Indonesia dengan konsepsi Pancasila-nya memberikan pandangan dan arah kepada dunia yang diawali dengan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Di mana konferensi itu menghasilkan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang kemudian disebutkan sebagai matahari yang sudah lama diimpikan.
Pancasila vs Zionisme
Sejak abad 15, bangsa –bangsa barat dengan semboyan Gold, Glory, dan Gospel (3G) telah mengarungi samudera untuk mencari daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Alih-alih ingin berdagang, akhirnya mereka menguasai satu per satu hingga menanamkan suatu sistem atau konsepsi yang membuat ketidak teraturan dunia bahkan sampai dengan hari ini. Dengan konsepsi yang ditanamkan itu, pembentukan negara yang kuat dan perang ekonomi menjadi tujuan akhir untuk penguasaan dunia di bawah satu kendali kaum yang sudah lama terusir dari kampung halamannya.
Sistem yang bernama To Build The New World atau To Build The New Order sudah didengungkan selama berabad-abad yang kelak akan membawa titik nadir kehancuran bagi kehidupan manusia. Pada kesempatan 30 Sepetember 1960 itu, Sukarno yang merupakan jebolan perkumpulan Gang Peneleh (Rumah HOS Tjokroaminoto) di Surabaya sudah membaca konstelasi tersebut saat usianya masih relatif muda. Ketika tampil menjadi pemimpin bangsa Indonesia, Sukarno bersama para tokoh atau pemuka bangsa Indonesia mulai menelurkan gagasan untuk melakukan kontra terhadap konsepsi tersebut.
Alhasil, pada tahun 1945, konsepsi yang bernama Pancasila telah dimufakati oleh para pemuka-pemuka bangsa Indonesia dalam sidang BPUPKI dan PPKI menjelang kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pancasila yang tertuang kemudian di dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar terbentuknya Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945. Meskipun di dalam negeri, sejak awal kemerdekaan konsepsi tersebut cenderung ditinggalkan bahkan sempat berganti konstitusi pada tahun 1949 dan 1950, namun di kancah internasional tetap dijadikan simbol perlawanan kepada kolonialisme dan imperialisme bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Kepercayaan diri Sukarno semakin meningkat pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang berisikan kembali ke UUD 1945. Dalam kurun waktu setahun setelah dikeluarkannya dekrit, Sidang Umum PBB ke XV di New York tanggal 30 September 1960 segera diselenggarakan. Akhirnya Sukarno yang didaulat pula sebagai juru bicara dari negara-negara seperti Yugoslavia, Ghana, India, Persatuan Arab, dan Birma menjadi orator di hadapan pimpinan majelis Sidang Umum PBB.
Momentum itulah yang dijadikan kesempatan untuk melawan konspirasi negara barat yang telah menguasai dunia dan membawa ketidak teraturan negara-negara di dunia dengan suasana konflik yang diciptakannya. Konflik yang berkepanjangan dari masa Perang Dunia I, Perang Dunia II, kemudian memasuki era Perang Dingin, yang sebenarnya hanyalah perang di antara mereka yang memperebutkan lahan ekonomi dan menanamkan pengaruh untuk ikut blok-blok yang bertikai.
Dengan kondisi demikian, pandangan Sukarno untuk menyerukan perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi tawaran yang dibalut dengan istilah To Build The World A New. Artinya, dengan istilah itu maka ada suatu rumusan bilamana dunia ingin damai maka hanya Pancasila yang dapat dijadikan konsepsi bukan konsepsi seperti Kolonialisme dan Imperialisme beserta turunannya yang sudah usang, serta telah terbukti terus membuat kerusakan di muka bumi selama berabad-abad. Oleh karena itu, Pancasila menjadi suatu kebenaran universal yang dapat diterima oleh setiap bangsa.
Hal itu membuktikan bahwa Pancasila sebagai Ubiquitous Factor yakni merupakan faktor yang berada di mana-mana. Artinya Pancasila merupakan kebenaran yang didasari dari nurani manusia atau Social Conscience of Man, maka dari naluri alamiah manusia itu sejatinya menuju ke arah 5 sila yang dicetuskan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945, yang kemudian disempurnakan lagi oleh Panitia 9 dalam Mukadimah UUD 1945. Hal itu kemudian diurai oleh Sukarno dari sila per sila di hadapan delegasi bangsa-bangsa di dunia secara detail dan seksama.
Jadi, dengan minta maaf kepada Lord RusselI yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua fihak seperti dikiranya. Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesekan kedua dokumen yang peting itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia.
“Sesuatu” itu kami namakan “Panca Sila”. Ya, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa karni. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. Jadi berbicara tentang Panca Sila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun. (Kutipan Pidato Sukarno di PBB tahun 1960, Departemen Penerangan RI).
Sukarno menyatakan nilai-nilai Pancasila yang dikandung baik oleh manusia Indonesia selama dua ribu tahun maupun oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditenggelamkan oleh imperialisme yang memaknakan sebagai desain pemikiran dari barat untuk merubah mindset tersebut, sehingga tergantikan dengan mindset barat. Hal demikian berdampak pada pola perilaku dan kehidupan manusia dari aspek budaya, hukum, sosial, politik, dan ekonomi-nya. Pada akhirnya, peperangan dan kerusakan lingkungan merupakan dampak yang tak dapat terbantahkan lagi dialami oleh seluruh penduduk bumi.
Usai pidato ini, pernah ada wartawan asing yang menulis judul pidato ini sebagai To Build a New World, Sukarno pun langsung somasi ke media tersebut untuk mengganti tulisan itu. Karena To Build a New World jelas berbeda arti dengan To Build The World A New, dan bisa menyesatkan pembacanya. Istilah To Build A New World pun sudah digunakan jadi tidak mungkin Sukarno menggunakan judul yang sama agar tidak dicap plagiator. Sepintas orang melihat ada kesamaan arti di antara kedua istilah tersebut, tetapi jika dilihat secara epistimologi, kedua istilah itu mengandung arti yang berbeda bahkan saling bertolak belakang.
To Build The World A New dimaknakan sebagai memebangun dunia kembali. sedangkan To Build a New World, membangun dunia yang baru. Membangun dunia kembali artinya membangun fitrah manusia di dunia yang sebelumnya berperilaku baik dan menjunjung tinggi akan Ketuhanan yang kemudian bergeser oleh arus kolonialisme dan imperialisme. Sehingga moral dan etikanya menjadi rusak, begitu pun dengan kehidupannya.
Ya, sejak NKRI berdiri pada 1945 dengan konsepsinya (Pancasila-red) maka dengan itu pula negara baru ini harus siap berperang dalam bentuk apapun, baik fisik maupun non fisik. Karena mempertahankan ajaran itu perlu dengan peperangangan bahkan pengorbanan yang tidak sedikit. Seperti itulah yang telah digariskan dalam Lahul Mahfudz, antara hak dan batil yang selalu berhadapan dalam suatu front hingga berakhirnya dunia.
Tinggal suatu pilihan, bagi Indonesia dan kita semua mau berada di front yang hak atau yang batil? Namun dalam suatu guratan sejarah, founding fathers kita telah tegaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya untuk bangsa Indoensia saja tetapi suatu perjuangan untuk umat manusia.
Maka dari itu sudah sewajarnya bila Indonesia selalu menjadi incaran dari negara-negara yang kerap membuat kerusakan di muka bumi. Tentunya dengan berbagai cara yang mereka lakukan untuk melemahkan bahkan menghncurkan kita.
Lihat saja dalam beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Indonesia sudah dibombardir oleh Sekutu, Agresi Militer Belanda I, dan Agresi Militer Belanda II. Setelah itu ganti peperangan asimetris yang digulirkan sejak pembentukan Negara Boneka oleh Van Mook, Perundingan Linggarjati, Renvile, hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang keseluruhannya tertuju pada hancurnya NKRI beserta hancurnya ajarannya, yakni Pancasila dan UUD 1945.
Dengan tegas, kejadian demi kejadian itu harus kita ladeni sampai benar-benar terjadinya kemenangan dari pihak kita. Sukarno pun berhasil membuka keran kemenangan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikumandangkan dan setahun kemudian melalui Politik Luar Negeri Bebas Aktif, Indonesia menggelegar di Sidang PBB XV dengan konsepsi Pancasila yang ditawarkan kepada dunia.
Praktis negara-negara yang terhimpun pada Old Emerging Forces (Oldefo) atau negara-negara dengan kekuatan dan konsepsi tua dibuat geram serta kebakaran jenggot. Ternyata ada negara yang baru berusia 15 tahun ingin meruntuhkan hegemoninya, namun anehnya bukan usianya yang belia melainkan ajaran yang dibawanya. Negara ini pun dianggap tengah mengetahui sepak terjang suatu kaum yang berada dibalik aktor terjadinya kekacauan dunia itu.
Tertutup G30S/PKI
Pasca Sukarno pidato dengan heroik di tanggal tersebut, akhirnya hanya ada 3 kata yang tersimpul dari negara-negara tersebut, yaitu Bunuh sukarno, Matikan Ajarannya, dan Miskinkan Rakyatnya. Tahun 1965 di hari yang sama (30 September-red), sang Designer melancarkan aksinya dan berhasil merubah makna hari itu menjadi negatif dengan sebutan G 30 S PKI atau Gestapu yang diambil dari nama Tentara Rahasia Nazi di era Perang Dunia II.
Akhirnya bangsa kita hanya tahu bahwa 30 September merupakan hari naas dan tragis yang dialami oleh bangsa Indonesia. Pada malam pergantian hari itu terjadi peristiwa diculiknya 6 Jenderal yang berbuntut pada pembubaran PKI dan pembantaian jutaan manusia. Sehingga pidato heroik Sukarno di Gedung PBB dalam rangka menggelorakan perang asimetris menghadapi pihak-pihak yang membuat kerusakan pada tatanan dunia harus berakhir dan menuai kekalahan pada 5 tahun setelah dikumandangkannya pidato tersebut.
Mulai hari ini, 30 September 2016 kita dapat mengganti istilah Gestapu yang sarat dengan makna negatif menjadi hari digelorakannya perang asimetris di PBB oleh Sukarno dalam rangka To Build The World A New versus To Build a New World. Tanpa dipungkiri, perang asimetris itu masih berjalan hingga hari ini. Saat ini dan ke depan kita semua menanggung amanah untuk melanjutkan perang asimetris yang telah dilancarkan oleh Founding Fathers kita. Peperangan yang akan menghasilkan antara hilang atau tidaknya Pancasila, dan antara hancur atau tidaknya NKRI. Andaikata kita kalah dan hancur itu lebih terhormat ketimbang diam atau balik menggerogoti Pancasila dan NKRI, yang tentunya perbuatan itu sangat hina di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Insya Allah kemenangan ada di pihak kita, NKRI kembali kepada Pancasila dan Tatanan Dunia kembali kepada Fitrahnya !!!!
*Penulis adalah Staf Asops Panglima TNI, Penulis Maritim dan Kebangsaan